14 | Hayi-hati, Dia Buaya

1224 Kata
Ditrisya berdecih melihat Ahyar menurunkan rangkulan tangannya di pinggang ramping perempuan yang datang bersamanya. Wajahnya merekahkan senyum seolah-olah dia senang dengan perjumpaan tidak terduga ini. "Lisa, Didi, mereka ini teman gue. Ini Sisil, dan ini Ahyar," Vinno memperkenalkan. "Hai, Lisa." Lisa memperkenalkan diri lebih dulu, sembari menyalami mereka bergantian. Demi sebuah kepantasan, dengan terpaksa Ditrisya melakukan hal sama. Ditrisya menyalami Ahyar lebih dulu karena dia yang lebih dekat dari posisinya. "Halo, Di--" "Ditrisya." Sahutan itu sontak membuat semua kepala tertoleh kaget ke arah Ahyar. Kaget Ahyar bisa tahu nama lengkap Ditrisya, sedangkan tadi Vinno memanggil Ditrisya dengan nama panggilannya di SMA. "Kenal Ditrisya?" tanya Lisa aneh. "Kenal di mana?" Mengingat sempitnya pergaulan Ditrisya, wajar Lisa heran ada laki-laki trendy kenal Ditrisya. Mulai dari sepatu hingga bau parfum, jelas lelaki ini bukan orang yang bisa betah berteman dengan Ditrisya. "Kenal nggak sengaja di bengkel tambal ban." Ditrisya mendahului menjawab agar Ahyar tidak kerepotan mencari alasan. Bayangkan apa yany akan dipikirkan pacar Ahyar jika tahu Ditrisya dan Ahyar saling kenal lewat dating app. "Oh..." Ditrisya lanjut memperkenalkan diri ke perempuan cantik di sebelah Ahyar. "Ditrisya," ucapnya menjabat tangan Sisil. "Banyak orang bilang nama saya ribet. Kamu bisa panggil Didi, Trisya, terserah." Ditrisya sempat memindai penampilan Sisil. Tidak jauh beda dengan Lisa, dia memakai pakaian semi formal. Tampaknya Ditrisya satu-satunya yang kostumnya terlalu kasual. "Benar. Kalau disebut lengkap, namanya suka bikin lidah keserimpet. Panggil Tri lebih gampang." "Silakan, ayo duduk." Ajak Ditrisya tanpa menghiraukan Ahyar. Dia tidak mau bersikap seolah kenal baik, sebab faktanya Ditrisya tidak tahu apa-apa tentang Ahyar. Salah Ditrisya sendiri yang dengan mudahnya terbawa perasaan. "Lisa, lo pindah ke sebelah gue, biar Ahyar duduk sama pacarnya." "Sejak kapan kalian jadian?" tanya Vinno mengonfirmasi informasi baru. Sisil tertawa kecil, sementara Ahyar senyum-senyum melirik Ditrisya. "Kita nggak pacaran. Lo kayak baru kenal Ahyar kemarin sore aja, Vin. Cowok ini nggak suka terikat biar bisa bebas kesana kesini." Vinno tertawa. "Makanya gue kaget." Walaupun dugaan pacaran terbantah, kalimat terakhir Sisil menunjukkan sisi lebih buruk dari seorang Ahyar. Saat Lisa hendak pindah tempat duduk, Ahyar mencegahnya. Alasannya biar tidak repot pindah-pindah, padahal siapa pun tahu, apa repotnya berjalan beberapa langkah ke kursi lain. Vinno menyuruh mereka kembali duduk selagi ia pamit karena ada banyak orang yang harus dia layani. "Ini dunia yang sempit atau kita yang berjodoh?" Ahyar mengambil duduk di kursi sebelah Ditrisya. Uhuk! Buru-buru Ditrisya membekap mulut agar air dalam mulutnya tidak menyembur mengenai wajah Lisa yang duduk tepat di seberangnya dengan wajah penasaran setengah mati. Jangan lupakan juga Sisil yang menatap wajah Ahyar dan Ditrisya bergantian. "Kenal Vinno di mana? Teman kampusnya, ya?" Ditrisya berusaha mengalihkan topik dengan bertanya pada Sisil. "Kalau aku sama Lisa kenal Vinno sejak SMA." "Hm, kenal lewat teman, sih. Dia temannya teman. Gitu lah," jawab Sisil sekenanya. "Kamu sama Ahyar kayaknya kenal dekat." "Oh--" "Cuma sekadar kenal aja. Dia kan memang usil, kalau ngomong suka sembarangan." Kernyitan Sisil mengandung curiga. "Ahyar nggak usil sama sembarang orang. Kalau cuma sama kenalan biasanya dia jaim kayak ingin terlihat keren." Ditrisya perlahan melirik Lisa, dan langsung panik memikirkan jawaban begitu mendapati ujung mata Lisa makin meruncing seperti elang. "Gu--" "Dia percuma mau jaim di depan aku, karena dari pertama ketemu aku langsung bisa lihat wajah asli dia." Ahyar menyandarkan punggung di kursi, karena sepertinya Ditrisya tidak akan membiarkannya buka mulut. "Oh, ya?" Alih-alih seperti pertanyaan memastikan, Ditrisya menangap itu sebagai ungkapan meragukan. Ditrisya mengangguk pasti. "Tapi aku nggak mungkin dong, bongkar wajah asli dia kayak gimana." "Oh, nggak perlu. Aku udah kenal Ahyar lagi, dari baiknya sampai buruknya, aku udah hafal semua." "Oh, gitu ...," gumam Ditrisya memutar matanya melirik Ahyar. "Lo ternyata cukup terbuka, ya, orangnya." Ahyar mengendikkan bahu enteng. "Beberapa hal belum gue buka sampai nemu orang yang tepat, kok." Makanan Ditrisya dan Lisa datang lebih dulu, Sisil mempersilahkan mereka makan tanpa sungkan. Sebagai seseorang yang mencintai dan bekerja di bidang kuliner, Sisil tahu waktu santap dari makanan terhidang merupakan salah satu faktor penentu cita rasa. Ditrisya menatap makanan di piringnya tanpa gairah, berkebalikan dengan Lisa yang tampak tidak sabar menyicipi. Salahnya sendiri asal sebut menu andalan tanpa tanya makanan apa itu. "Gue kayaknya nggak bisa makan ini," ujarnya pelan pada Lisa. "Kenapa? Ini steak sapi, kok." Iya, Ditrisya tahu ini daging sapi yang halal dimakan. Ia hanya tidak yakin dengan rasa makanan ini. Terakhir kali ia makan steak, kebetulan orang yang makan dengannya ada di sebelahnya, Ditrisya sudah bersumpah bahwa steak adalah makanan paling tidak enak sedunia. Ia masih terbayang-bayang rasa perih saat telunjuknya memencet enam digit nomor PIN kartu debit di mesin p********n. Sejurus makanan Ahyar dan Sisil datang juga. "Tumben banget lo pemilih makanan gratisan," komentar Lisa. "Ditrisya punya trauma sama steak." Dengan santai Ahyar menukar piringnya dengan piring Ditrisya. Tanpa peduli dengan tiga pasang mata perempuan yang menatapnya, Ahyar berkata pada Ditrisya, "lo bisa makan itu aja." Bibir Ditrisya menipis geram, normalnya kalau hubungan hanya sekadar kenalan tidak saling bertukar makanan. Ditrisya menginjak kaki Ahyar di bawah meja. Namun, tampaknya itu tidak memberi efek menyakitkan sama sekali, terhalang oleh sepatu yang dikenakan Ahyar cukup kuat untuk menahan tekanan sandal teplek Ditrisya. Ahyar tersenyum pada Ditrisya, lalu pada Lisa dan Sisil bergantian. "Selamat makan," ujarnya seolah bangga berhasil menciptakan tanda tanya di kening Lisa dan Sisil. *** Ditrisya menendang-nendang kerikil di bawah kakinya, sama sekali tidak berani mendongak karena tepat di hadapannya, Lisa menatapnya tajam. "Itu cowok yang bikin lo galau?" "Bukan ...." "Nggak usah bohong." Ditrisya mengembuskan napas pasrah. Kalau dari awal punya penilaian sendiri, untuk apa Lisa masih tanya segala. "Menurut lo dia gimana?" "Lo harus hati-hati." Ditrisya tadinya tidak sungguh-sungguh ingin tahu pendapat Lisa, tapi intonasi suara Lisa membuat perkataannya barusan terdengar seperti peringatan serius. "Kalian nggak cocok. Kalau lo mau udah siap mulai hubungan, nanti gue kenalin cowok yang lebih baik dari dia. Lo tuh cocoknya sama cowok mateng yang sama nggak neko-neko orangnya." Dalam hati Ditrisya setuju, lelaki seperti itu lah yang selama ini ia jadikan patokan pasangan ideal. Namun, siapa sangka hatinya ternyata punya standar idealnya sendiri. Lisa menambahkan, "sedangkan cowok itu, penampilannya kayak mahasiswa anak orang kaya yang suka flirting ke semua cewek. Masih mending kalau dia beneran anak orang kaya, nggak kerja nggak masalah. Lah dia?" "Ahyar tadi kan bilang kerjaan dia freelance." Ditrisya mengingatkan sedikit bagian obrolan mereka di meja tadi, barangkali Lisa lupa. "Semua orang bisa aja ngaku freelance. Barusan gue sempat tanya Vinno, kata dia, dia kenal Ahyar di tempat kursus barista. Setau Vinno, si Ahyar kadang jadi model catwalk, selain itu nganggur. Jangan bilang lo nggak tahu soal itu." "Gue tahu," gumam Ditrisya merasa dipojokkan. "Lo udah tahu, dan lo tetap baper, Di?" Lisa berkacak pinggang, tinggi tubuhnya membuat Dia tampak mengintimidasi. "Coba, dia ngegombal aja sampai Ditrisya Devaski yang gue kenal sangat berprinsip jadi goyah begini." "Lo nggak bisa men-judge begitu? Maksud gue, lo belum kenal Ahyar." "Udah kelihatan banget kali, Di. Dari cara dia natap lo, kelihatan banget kalau dia buaya. Apalagi perlakuan dia ke lo, pas dia tukar makanan kalian, itu enggak banget. Wajar, sih, kalau banyak yang kebaperan, emang itu tujuan dia." Ditrisya mendecakkan lidah sebal. "Ya udah, sih, lo marah-marah kayak gue udah jadian aja sama Ahyar." Ditrisya menghentakkan kaki dan masuk ke dalam mobil Lisa. Ia bersumpah tidak akan cerita masalah asmaranya ke siapa-siapa lagi setelah ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN