03 Kesan Sebenarnya di Pertemuan Kedua

1883 Kata
Seorang pemuda dikil bersantai di bawah pohon Kersen yang tumbuh tanpa sengaja di depan bengkel, sembari kipas-kipas menggunakan brosur cicilan kreditan barang elektronik. Nampaknya Doni sangat kelelahan. Bahkan keringatnya belum hilang, Doni sudah mendengar teriakan Bos Bambang dari dalam bengkel. Doni pura-pura tak dengar, sementara Bos Bambang yang tak sabaran keluar melabraknya. "Mana si Ahyar? Belum pulang juga dia?" "Ini lagi ditungguin, Bos." Gigi kuning Bos Bambang gemelatuk menahan emosi. Dia sudah siap mematahkan leher Ahyar saat pulang nanti. Sekali saja, apa Ahyar tidak bisa cuti berbuat onar? Seorang gadis yang tak lain adalah Ditrisya berjalan lunglai turun dari angkot dan menghampiri Bos Bambang. Bos Bambang bersikap siaga. "Sore sore masih cantik aja, Neng," sapanya kelewat ramah. "Motor saya sudah selesai, kan?" tanya Ditrisya ketus. "Iya, sudah selesai. Ayo duduk dulu," tawar Bos Bambang menunjuk ke arah kursi yang menghitam karena usapan oli. Sebagai seorang gadis yang tinggal di perkotaan, wajib bagi Ditrisya untuk berhati-hati pada pria tak dikenal. Tidak semua orang punya hati bersih dan mata suci. "Tidak, terima kasih. Saya mau ambil motor saya." "Iya, Neng. Don, ambilkan motor Neng ini." "Ambil dimana, Bos?" Doni menengadahkan kepala tak mengerti. Sebelah sandal jepit berlogo burung terbang mendarat mulus di kepala Doni. Bos Bambang menggeram tertahan, dengan mata melotot. "Cari di dalam, Bocah." Seketika Doni tergopoh-gopoh Doni masuk ke dalam, menghindari tendangan Bos Bambang mendarat di bokongnya yang tepos. Ditrisya menyipitkan mata. Pasti ada yang tidak beres ini. "Ada apa ini? Sebenarnya motor saya ada, tidak?" "Ada, Neng. Ada. Neng cantik tenang saja. Ayo duduk dulu." "Ya sekarang mana motor saya." "Itu, tadi kan saya baru suruh ambil motornya. Aman kok, Neng." Sabar sebentar lagi, Ditrisya berusaha menenangkan diri sendiri. Entah mengapa firasatnya buruk. Bukan hanya setan di telinga kiri, makaikat di telinga kanan pun berbisik agar Ditrisya jangan percaya. Beberapa saat menunggu, akhirnya Ditrisya merasa tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi. Ditrisya menghentakkan kaki keras. "Pak, Bapak sedang coba mempermainkan saya, ya? Saya sudah menunggu. Mana motor saya." "Ad - " "Ada ada. Tapi mana?" Ditrisya tak lagi peduli dengan yang namanya sopan santun pada orang yang lebih tua. "Bapak bicara kesana kemari, memangnya saya peduli. Saya cuma mau motor saya!" Tepat setelah Ditrisya menyelesaikan seruannya, sebuah motor direm secara mendadak. Menimbulkan suara decitan yang nyeri di telinga. Kedua orang itu menoleh cepat, menampilkan reaksi berbeda. Ditrisya melongo, sementara Bos Bambang mendesah lega, "akhirnya..." Bos Bambang sekaligus siap mematahkan leher Ahyar yang membawa pergi motor milik gadis berambut pendek pemarah itu. "Pahala?" Seringaian di wajah Ahyar seketika berganti terkejut melihat Ditrisya. Tidak mungkin dia berlagak tidak kenal, belum baru kurang 100 menit lalu mereka makan saling hadap-hadapan. "Pahala?" "Money slave?" Tunjuk mereka kompak, dalam waktu bersamaan. *** "Hah, pengusaha? lucu sekali." "Money slave, hobi belanja? Tapi ban motor aja tambalannya sudah lima." Ditrisya balik badan cepat, berkacak pinggang di hadapan Ahyar si penipu, walau sadar dirinya juga menipu. "Berlagak menawarkan tumpangan, eh ternyata bajak motor orang." "Cuma motor butut, bukan mobil mewah ini." "Dan situ nggak malu setelah ngaku-ngaku naik Lamborghini?" "Setelah lo ngaku malu sama semua kebohongan lo." Ditrisya terbelalak heran. "Hey, Tuan. Yang berbohong disini bukan cuma gue, tapi lo juga. Sok-sokan bilang dompet ketinggalan di kantor, bengkel ini kantor yang lo maksud kantor? Cih, padahal aslinya lo nggak punya uang, kan?" "Gue cuma mau ngetes kali. Penampilan sama profil lo nggak singkron. Eh ternyata benar dugaan gue, ya udah sekalian aja gue kerjain." Ahyar menambahkan tawa pada ujung kalimatnya. "Dasar cowok kere." "Dasar cewek matre." "Kalian saling kenal?" Suara lain menginterupsi. Dua orang yang saling adu pandang dengan wajah garang itu kontan menoleh ke arah Bos Bambang yang nampak kebingungan dengan apa yang mereka bicarakan. "Wah, jodoh kali ya," Bos Bambang menyambungnya dengan tawa garing. "Najis." "Amit-amit jabang bayi." Ditrisya menggetok-getok kepalanya sendiri sebanyak empat kali, saking takutnya ucapan Bos Bambang jadi doa. Jawab Ahyar dan Ditrisya bersamaan, membuat Bos Bambang kembali tertawa, kali ini lebih keras. "Diam!" bentak Ahyar dan Ditrisya bersamaan, lagi. Meredam tawa Bos Bambang dua detik, lalu meledak makin keras. Tawanya seperti suara petasan di kondangan manten Betawi. Nyaring, panjang, bertubi-tubi. Menyebalkan. "Udah kompak aja, Hahaha..." Ditrisya bisa gila lebih lama di tempat ini. Gadis itu memutuskan pergi tanpa merasa perlu bertanya berapa upah jasa tambal ban yang harus ia bayar. Perlu diingat ya, karena Ahyar, kerugian yang ditanggung Ditrisya jauh lebih besar. Gadis itu nyaris mati berdiri melihat kaca spion sebelah kanan motornya pecah. "Oh, itu, nggak sengaja nyenggol pohon tadi." "Apa?" "Jadi, begini ceritanya..." Usai puas menertawai wajah nelangsa Ditrisya menghilang di dalam mobil taksi, Ahyar segera menuju motornya. Motor pinjaman lebih tepatnya, eh apa ya sebutan yang lebih pantas? Ahyar mengambil motor itu dari bengkel Bambang, milik pelanggan yang baru akan diambil sore ini. Ahyar melirik jam tangan lagi, oh tidak, 15 menit lagi motor itu harus sudah ada di bengkel atau Bambang akan menekan wajahnya dengan alat pres ban. Doni bilang motor ini milik seorang gadis bertubuh mungil yang galak. Tapi segalak apapun perempuan, dia tetap saja lemah setiap berhadapan dengan pria tampan. Ahyar yakin bisa mengendalikannya. Ahyar memacu motor itu dengan santai, sembari tetap berhati-hati mengingat remnya tidak terlalu kuat. Ahyar harus menariknya sampai habis, baru kecepatannya bisa berkurang. Setelah ini Ahyar harus memberitahu sang pemilik bahwa motor ini perlu dirongsokkan saja atau paling tidak diservis total. Benar-benar motor yang menyedihkan. Jalanan yang ramai membuat segala kemungkinan dapat terjadi, seperti orang yang menyebrang tidak lihat kanan kiri sampai motor lain yang menyalip di celah sempit. Alhasil motor Ahyar sempat kehilangan keseimbangan. Motor itu oleng ke pinggir jalan, menabrak pohon yang berdiri sembarangan disana. Untung kemampuan menyetir Ahyar cukup baik, sehingga ia bisa menghindar dan terselamatkan dari tabrakan besar. Hanya kaca spion sebelah kanan yang sempat menyenggol pohon, dan pecah lantaran terlalu keras terkena hantaman. "Sial," rutuk Ahyar. "...gitu ceritanya." Apapun alasannya, Ditrisya tak mau tahu. Dengan wajah bringas siap menerkam, gadis itu melangkah cepat menghampiri Ahyar. Memukul-mukul pria itu menggunakan kepalan kedua tangannya yang keras serupa batu. Sontak saja membuat Ahyar mengaduh-aduh sembari berusaha menghindar. Ahyar bersembunyi di balik tubuh besar Bos Bambang, namun Ditrisya terus mengikutinya. Bos Bambang hanya tertawa terbahak-bahak melihatnya, Doni yang awalnya sembunyi di dalam akhirnya tertarik untuk melihat ke luar. Sampai akhirnya Ditrisya lelah dan berhenti dengan sendirinya. "Dasar cewek setan!" teriak Ahyar kesal. Pria itu berdoa supaya kulitnya tak sampai lebam. Napas Ditrisya naik turun memburu. Emosi gadis itu betah berada di level teratas, tak mau turun-turun. "Lo udah nabrakin motor gue dan memakainya tanpa izin." "Fine, gue ganti spionnya." Ahyar balas nyolot. "Cuma spionnya?" Pekik Ditrisya. "Terus gimana tanggung jawab lo setelah memakai motor ini tanpa izin gue, si pemilik." "Lo suruh gue bayar, semacam sewa?" Dari bola mata Ditrisya yang muncul simbol seperti stiker di motornya, gambar lambang dollar, nampaknya tebakan Ahyar benar. "Gue pakai motor lo karena motor ini ganggu di sini, lagian gue balikinnya juga tepat waktu" "Gue yang dateng duluan, ya." "Cuma beda tiga menit." Ditrisya menjerit kesal. Menghadapi Ahyar jauh lebih menyebalkan daripada menghadapi kenyataan ia baru saja menghabikan hampir satu juta untuk sekali makan. "Nggak mau tahu, pokoknya besok spionnya harus udah diganti," putusnya menunjuk wajah Ahyar, kemudian berbalik pergi. Ahyar mengelus d**a, lega selamat dari amukan singa betina yang frustrasi karena tidak ada jantan yang mau menggodanya. Napas pria itu mendadak tertahan begitu melihat Ditrisya balik badan dan berjalan cepat ke arahnya. "Oh, mau apa lagi dia?" gumamnya waspada. Ahyar belum memikirkan apa-apa ketika kedua tangan Ditrisya dengan lincah mengerayangi tubuhnya. "Hei, lo mau apa? c***l lo ya? Hei, Money slave mesum..." Ditrisya baru berhenti begitu menemukan apa yang ia cari. Dompet berbahan kulit asli milik Ahyar. Tangan panjang Ahyar melayang merebutnya, namun tangan pendek Ditrisya lebih gesit menjauhkannya. Ditrisya menarik semua isinya. Dan betapa terkejutnya gadis itu melihat isi dompet Ahyar berbanding terbalik dengan gaya yang ditampilkan. Di dalam dompet itu hanya ada uang lima puluh ribu. Ditrisya memamerkannya terang-terangan. "900 ribu dibagi dua, ditambah sewa motor pakai 100 ribu. Jadi lu masih hutang 550 ribu ke gue." "Apa-apaan itu, hah?" "Sebagai jaminan, KTP lo, gue tahan." Setelah menarik KTP Ahyar, Ditrisya membuang dompet kosong Ahyar ke ember berisi air yang digunakan untuk mencari titik kebocoran pada ban. Seketika Ahyar berlari menyelamatkan dompet yang baru dia beli dua minggu lalu itu, pada saat yang sama kesempatan itu digunakan Ditrisya untuk kabur. Ahyar berteriak menyuruh Bos Bambang dan Doni mengejar sebab Ahyar harus minta ganti rugi untuk kerusakan dompetnya, sayangnya tak ada yang menghiraukan Ahyar. Sial berlipat-lipat. *** Pria itu begitu lihai mempergunakan alat-alat perbengkelan, mengganti spion motor Ditrisya menggunakan kaca spion sejenis bekas motor tua Bos Bambang. Ahyar meninggalkan tendangan pada ban depan sebagai bentuk 'kasih sayang' sekaligus salam perpisahan. Pasti akan lebih menyenangkan jika Ahyar bisa menendang orangnya langsung. Ditrisya, mengingatnya Ahyar selalu naik darah. Gadis matrealistis, tukang khayal, dan pemarah. Ahyar sedang berjaga di bengkel sendirian, ketika Ditrisya turun dari ojek online. Dan menghampirinya dengan langkah lebar-lebar. "Motor gue udah beres, kan?" tanyanya, tapi lebih terdengar seperti menuntut. Ahyar hanya mengendikkan dagu malas ke arah motor itu, Ditrisya pun langsung memeriksa motornya. Ditrisya melihat spion barunya yang kinclong, ia bahkan sempat bercermin, sebelum kaca itu ditutupi oleh telapak tangan besar milik Ahyar. "Mana KTP gue." Ditrisya menegakkan badan, merapikan rambut yang jatuh ke kening, lalu menengadahkan tangan. "Mana dulu uang ganti ruginya." "Ganti rugi apaan, gue nggak mau bayar." Ahyar metotot, tersinggung lantaran ditodong. "Itu namanya pemerasan." Ditrisya tertawa tanpa suara, tawa heran. "Astaga, ada ya orang nggak tahu diri kayak lo. Pura-pura dompet ketinggalan biar makan dibayarin. Cowok kok nggak modal." Harga diri Ahyar serasa diinjak-injak. "Oke, gue bayar." Tepat saat itu Bos Bambang muncul dari dalam, Ahyar menatapnya penuh permohonan. Bos Bambang yang mengerti, membuang muka, pura-pura tak melihat. Dengan santainya dia malah menghampiri penjual es cendol dan memesan satu. "Mana..." Sungguh Ahyar ingin merobek bibir tipis Ditrisya. Padahal Ahyar sedang berusaha mengingat-ingat berapa uang tunai yang tersimpan di bawah kasurnya. "Gue pasti bayar, tapi enggak sekarang." Ahyar berkata lebih pelan setelah meyakini bahwa uang yang dia miliki hanya separuh dari yang harus dia bayar kepada Ditrisya. "Apa?" "Sekarang lo pulang, deh, besok balik sini lagi." Ditrisya kehilangan kata-kata. Pemuda, generasi masa depan bangsa seperti Ahyar ini sepertinya harus dibuatkan semacam tempat pembinaan khusus, sebelum makin banyak pemuda yang tertular. Ketika mereka menganggap bungkus lebih penting dari isi, ketika mereka lebih sibuk pamer harta dan drama di dunia maya dan mengesampingkan prestasi. "Oke. Besok di jam yang sama." "Iya iya." "KTP lo masih gue tahan." "Pastikan jangan sampai hilang." Ditrisya menggeleng tak peduli, kemudian menuntun motornya ke pinggir jalan. Sementara pengingat yang sedang aktif di kepala Ahyar, memerintahkan agar pria itu segera menghilang dari jarak pandang Ditrisya. Tingkahnya yang berlari kabur seperti anak kecil, membuat Ditrisya semakin terheran-heran, kok ada orang seperti itu. Ditrisya mulai men-starter motornya, membenarkan kedua kaca spion dengan benar, lalu menarik gas. Motor itu berjalan beberapa meter, lalu tiba-tiba... berhenti. Mesinnya mati. Ditrisya kebingungan, matanya melirik pada indikator bensin. "Pahala! Ahyar! k*****t kere sialan!!!" Teriakan memaki keluar begitu saja dari bibir Ditrisya, begitu mendapati jarum penunjuk ada di lambang E, empty. Padahal sebelum ditinggal di sini bensinnya masih full. Sementara itu, di dalam rumah Ahyar tertawa sampai perutnya nyeri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN