27 | At Lease You Like My Kiss

1363 Kata
Ahyar salah, dia sangat sok tahu. Dia mengaku ingin menyelesaikan masalah malam itu juga agar mereka bisa tidur nyenyak, nyatanya Ditrisya tidak bisa tidur sama sekali. Tidak mau, lebih tepatnya. Memajamkan mata saja Ditrisya tidak rela. Jika ia tidur, ia takut sensasi rasa ini akan cepat hilang. Ditrisya masih mencari bibir Ahyar ketika tahu-tahu tahutan bibir mereka terlepas. Perlahan ia membuka mata dan langsung berhadapan dengan wajah Ahyar dengan jarak kurang dari sejengkal. Wajahnya menghangat melihat senyum simpul di bibir Ahyar. "Seneng, nggak?" bisik Ahyar. "Ciumann sama kamu?" tanya Ditrisya polos. Memang itu, kan, yang barusan mereka lakukan? Senyum simpul Ahyar berubah tawa, buru-buru Ahyar membekap mulutnya, sadar kalau tawanya bisa membangunkan tidur tetangga. Mereka begitu nekat tetap berciuman di teras. "Ahyar, ih." Demi menyelamatkan wajahnya agar tidak makin terbakar, Ditrisya merajuk sambil memukul d**a Ahyar. Ia berniat berdiri, tapi Ahyar menariknya duduk kembali. "Iya, ciumannya juga. Seneng, nggak, ciuman sama aku?" Ditrisya mendecakkan liidah sebal, membuang muka ke arah lain. Ahyar lalu menyentuh sisi kanan wajah Ditrisya, memutarnya lembut agar kembali menghadap Ahyar. Senyum Ahyar perlahan melembut. "Makaud aku, seneng, nggak, jadi pacar aku?" "Belum tahu, belum juga satu jam. Udah, deh, pulang sana." "Ya udah, paling nggak, udah pasti seneng ciuman sama aku." Ditrisya melotot ingin menyanggah, namun keduluan bibir Ahyar menutup bibirnya. Di tiga detik pertama, Ditrisya berusaha menolak. Namun, di detik selanjutnya, ia menyerah. Ini terlalu menyenangkan untuk disia-siakan. Ditrisya memegangi bibirr bawahnya, jejak kecupan hangat bibir Ahyar masih terasa di sana. Ahyar meninggalkan cuman itu sebelum pulang. Katanya, sebagai stempel resmi hubungan yang baru mereka masuki. Akhirnya ..., Akhirnya Ditrisya mengakhiri masa jomlo nyaris seumur hidupnya. Oh, jadi begini rasanya punya pacar? Setelah resmi pacaran, jangan banyangkan mereka punya banyak momen menghabiskan waktu bersama. Akhir-akhir ini Ahyar semakin disibukkan dengan persiapan bisnisnya. Foodtruck yang dipesan dipastikan sudah siap dua minggu ke depan. Ahyar banyak bereksperimen dengan menu makanan siap saji, dan mencoba minuman milik satu kafe ke kafe lain yang ingin dia modifikasi. Katakan Ahyar memang tidak kreatif, dia tidak menjual produk original buatannya sendiri. Sewaktu dicibir demikian, Ahyar menjawab, 'Nggak masalah, asal nggak sama persis, lebih bagus lagi kalau bisa modifikasi lebih baik dan tetap punya ciri khas sendiri. Kalau enggak gitu, ya nggak ada yang namanya persaingan.' Dan Ditrisya hanya menggut-manggut. 'Iya juga, ya.' Ahyar menambahkan kalau yang dia lakukan adalah berinovasi. *** Restoran milik Sisil ini adalah jenis restoran keluarga, desain tempat kental nuansa perpaduan Jawa dan nyaman dengan atap tinggi sehingga sirkulasi udara cukup baik. Restoran sudah sepi karena memang jam operasional sudah lewat, hampir semua karyawan sudah pulang, kecuali Ahyar yang katanya sudah mendapat izin dari Sisil untuk memakai dapurnya untuk bereksperimen makanan yang ingin dijualnya nanti. Ahyar menyuruh Ditrisya datang karena ingin Ditrisya menjadi orang pertama yang mencoba dan menilainya. Dapur ini mirip dengan dapur-dapur profesional yang dilihatnya di film-film, hampir semua berbahan metal. Tampak keras dan berbahya. Ditrisya selalu kagum dengan perempuan-perempuan yang mampu bersaing di bidang yang kebanyakan dikuasi laki-laki. Ditrisya masih kagum dengan sosok Sisil, sampai tanpa sengaja Ditrisya mendengar percakapannya dengan Risa waktu itu. Bagaimana Risa merasa Sisil sedikit menipunya lantaran tidak bilang Ahyar sudah punya pacar dan memuji-muji Ditrisya, padahal mereka sama-sama tahu tindakannya mungkin saja menyakiti hati Sandra yang masih menyimpan rasa pada Ahyar. Entahlah, Ditrisya tidak mau terlalu berburuk sangka, tetapi tidak mau percaya dia begitu saja. Ditrisya harua menyuruh Ahyar berhati-hati juga pada Sisil. Sisi posesif Ditrisya mengatakan Sisil diam-diam juga punya rasa terhadap Ahyar. Sejak tiba di sini, Ditrisya hanya menjadi penonton yang baik. Menonton Ahyar dan Sisil meracik menu, sesekali Ahyar masih bertanya bagaimana pendapatnya. Namun, apa pun pendapat Ditrisya selalu dipatahkan oleh pendapat Sisil. Dalam hal ini, pendapat Sisil jelas lebih terpercaya. Dia tukang masak bersertifikat, sedangkan Ditrisya hanya tukang makan. Itupun jenis makanannya terbatas. Mana mau Ditrisya bayar mahal untuk sebuah makanan, baginya yang terpenting makanan itu bersih, gizi cukup, dan mengenyangkan. "Aku nggak terlalu suka plecing kangkungnya, rasanya terlalu kuat. Aku nggak bisa ngerasain rasa ayam taliwangnya." "Oh, ya?" Ahyar membuktikan sendiri dengan membuka mulut, minta Ditrisya menyuapkan setengah lingkaran burger di tangannya. Ahyar menggambil satu gigitan besar dan berusaha.menilai dengan indra pengecapnya. "Kan rasa yang mau ditonjolkan memang plecing kangkungnya, justru itu yang bikin unik. Kalau semua burger pakai sayur selada, tomat, dan timun, dimana pembedanya? Konsepnya aja burger nusantara," ujar Sisil sekali lagi membuat pendapat Ditrisya tidak berarti. "Iya, rasa bumbu plecingnya kuat banget. Tapi benar juga kaya Sisil, ini yang bikin unik." Ditrisya mengunyah sisa burger itu tanpa minat, lebih ke sayang jika makanan dibuang-buang. Ditrisya makan jika disuruh makan. Selanjutnya ia hanya diam melihat Ahyar dan Sisil kerja dengan kompak. "Untuk rasa terbaiknya kalau bisa jangan sampai lebih dari dua hari. Sedangkan bumbu plecingnya, lo mending belajar sendiri. Supaya selalu fresh. Gampang, kok. Nanti gue ajarin." Ahyar mengangguk dengan wajah antusias. "Makin dekat, gue makin gugup gini, ya? Semakin lama gue belajar di sini, semakin gue ngerasa gue nggak punya pengalaman apa-apa." Sisil menepuk-nepuk pundak Ahyar, menguatkan. "Paling enggak, lo udah kenal dapur dan gimana pengolahan sama penyimpanan makanan. Karena nggak kayak bisnis lain, tantangan terbesar bisnis makanan itu bahan baku yang bisa basi. Jadi kita harus pintar-pintar ngaturnya." "Iya, gue nggak tahu apa jadinya gue tanpa lo, Sil." "Ada teman mau belajar dan kebetulan gue bisa, pasti gue bantu. Nggak usah mikir macam-macam, semangat aja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan datang ke gue." Ditrisya berjengit sinis, lihatlah cara Sisil menyemangati Ahyar. Seolah-olah dia sendiri yang bisa melakukannya. Tentu lebih menyebalkan lagi sikap Ahyar yang terkesan sangat bergantunh pada Sisil. Ditrisya berdehem saat Sisil memegangi tangan Ahyar yang kesulitan meletakkan roti penutup lantaran selalu bergeser dan akan jatuh. Sisil melirik Ditrisya sekilas, lalu menjauhkan tangannya dari tangan Ahyar. "Kamu mau minum?" tanya Ahyar antara bodoh tapi perhatian. Dasar tidak peka! Kenapa pula Ahyar sebodoh itu, tinggal tumpuk bahan ini ke bahan itu saja tidak becus. Cuma ini yang dia pelajari selama beberapa minggu belakangan? Atau ada pelajaran terselubung lain yang dia pelajari dari Sisil? Pelajaran sudah selesai, sepertinya begitu. Ahyar sempat mengeluhkan masalah tampilan yang masih berantakan, tetapi kata Sisil bentuk tak masalah, toh Ahyar nanti akan membungkusnya menggunakan kertas. Usai membereskan dapur dan berniat pulang, Ahyar menyuruh Ditrisya menunggu di dapur karena dia harus ke toilet. Sementara Sisil sudah pulang lebih dulu beberapa menit lalu. Tak lama Ahyar menghampirinya, apron hitamnya sudah ditanggalkan. Lelaki itu menghampirinya dengan senyum-senyum sulit diartikan, tampak antara geli dan senang. Ditrisya bersendakap di d**a. "Kenapa senyum-senyum aneh begitu?" Ahyar mengendikkan bahu ringan, ia menempatkan diri di depan Ditrisya, sangat dekat hingga Ditrisya bisa mencium bau badan Ahyar yang kecut akibat keringat. "Senang aja lihat kamu jutek ke Sisil." "Siapa yang jutek? Yang ada dia yang jutek ke aku. Itu juga bikin aku penasaran, jangan-jangan dia suka sama kamu. Jaman sekarang, nggak mungkin ada yang sampai sebegininya mau bantuin teman." "Kalau emang suka sama aku, ya, nggak apa-apa." "Apa?!" Ahyar terkekeh geli. "Gini maksud aku, Pacar." Ahyar meraih pinggang Ditrisya agar lebih merapat pada tubuhnya. "Yang suka, kan, dia. Yang penting udah jelas aku sukanya sama kamu. Dia juga tahu aku milik kamu. Selagi dia mau bantu, kenapa aku mesti nolak cuma karena mungkin aja dia suka sama aku." "Ya, tetap aja. Gimana kalau ternyata dia punya niat tersembunyi." "Sisil nggak kayak gitu," Ahyar membelanya. "Kalau emang dia punya perasaan ke aku, dia pasti usah tunjukin dari dulu-dulu. Udah, kamu tenang aja, ya meskipun aku senang lihat kamu cemburu." "Aku nggak cemburu!" bantah Ditrisya dengan wajah mulai memanas lantaran terus dipandangi Ahyar. "Yang bener?" bisik Ahyar senduktif, Ditrisya menyadari perlahan kepala Ahyar makin maju. Alam bawah sadarnya seolah sudah tahu apa yang akan terjadi, ia memejamkan mata, menanti itu terjadi. Ada yang aneh, seharusnya bibir Ahyar sudah mendarat di bibirnya. Sangat pelan, Ditrisya membuka mata dan yang didapatinya cengiran lebar Ahyar. Sialan, lelaki ini mengerjainya! Dengan kesal Ditrisya mendorong d**a Ahyar hingga ia menemukan celah meloloskan diri. Ia menyambar tasnya dan keluar dari dapur. "Hei, mau ke mana?" kejar Ahyar di belakang. Sepasang kaki pendek Ditrisya berjalan secepat yang ia bisa. Sungguh ia malu sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN