PART. 3

2346 Kata
***PUSPA*** Aku terbangun saat adzan subuh berkumandang. Cahaya lampu di langit-langit kamar membuat pandanganku jadi terasa silau. Aku beringsut bangun, dan kusadari kalau Pak Ervan tidak ada lagi di sebelahku. Mungkin beliau yang menyalakan lampu kamarku. Dengan wajah meringis menahan sakit di seluruh tubuh, aku turun dari ranjang, dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Kusiram tubuhku dengan air dingin dari bak mandi. Entah mengapa, tiba-tiba air mataku turun di pipi, dan menjadi satu dengan air yang aku guyurkan tadi. Kurasakan perih di milikku, yang ada di bawah perut. Aku harus menahan perihnya, saat membersihkannya dengan sabun. Selesai mandi, aku langsung berpakaian, dan segera mengambil air wudhu untuk sholat subuh. Setelah sholat subuh, aku berusaha mengeringkan rambut panjangku, dengan kipas angin yang ada di kamar ini. Setelahnya baru kuikat kuncir kuda rambutku. Aku tidak ingin, rambutku masih terlihat basah. Aku takut, hal itu akan menimbulkan luka di hati Bu Wulan. Aku takut, dikira bermaksud menyampaikan pada Bu Wulan, kalau semalam aku sudah tidur dengan suami beliau. Meski pada kenyataannya, beliau mengetahui dengan pasti, hal itu memang terjadi. Pintu depan terkunci dari luar, tapi aku menemukan kunci lain di atas meja ruang tamu, dengan secarik kertas berisi pesan. Puspa. Maaf meninggalkanmu tanpa pamit. Aku tidak tega membangunkanmu. Satu kunci aku bawa, satu lagi kamu yang pegang. Jika kamu ada di dalam kamar kunci saja pintu, dan cabut anak kuncinya, agar aku tidak perlu membangunkanmu, saat aku datang ke kamarmu. Sekali lagi maafkan aku. Ervan Kutarik nafas dalam, surat ini menandakan tadi malam bukanlah malam terakhir kami 'tidur bersama'. Itu artinya akan ada malam berikutnya untuk 'tidur bersama'. Aku segera ke luar dari kamar, dan mengunci pintunya. Aku menuju dapur, untuk melakukan pekerjaanku seperti biasanya. Bik Imah sudah ada di dapur, dan Bik Isah sudah berada di tempat mencuci pakaian. Bik Imah mendekatiku. "Mukamu pucat Puspa, kalau kamu kurang enak badan, tidak usah ke luar kamar, istirahat saja, Puspa, Nyonya pasti mengerti" kata Bik Imah pelan. "Aku baik-baik saja, Bik. Aku akan buatkan sarapan untuk Ibu, dan Bapak" sahutku. Bik Imah terdengar menarik nafas, aku tahu beliau sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bik Isah, Mang Kadir, dan Mang Darto yang merupakan supir merangkap tukang kebun di rumah ini. Aku mulai menyiapkan menu sarapan untuk Ibu, dan Bapak. Setelah sarapan siap di meja makan, Bibik memanggil Ibu, dan Bapak di kamar mereka di lantai atas. Aku segera menyingkir dari ruang makan saat Ibu, dan Bapak turun dari lantai atas. Aku belum siap bertemu mereka berdua sekarang. Aku segera masuk ke tempat mencuci baju untuk membantu Bik Isah mencuci. "Puspa, kamu dipanggil Tuan, dan Nyonya" suara Bik Imah mengagetkanku. "Aku dipanggil? Ada apa, Bik? Apa ada yang salah dengan masakanku?" tanyaku cemas. "Aku tidak tahu Puspa, sebaiknya cepatlah kamu temui mereka di ruang makan," sahut Bik Imah. "Aduh ada apa ya, Bik" gumamku cemas. "Sudah jangan takut, mereka tidak pernah marah, jadi kamu tidak perlu cemas seperti ini, Puspa" Bik Imah membimbing lenganku menuju ruang makan. Aku berdiri di ambang pintu ruang makan. "Ibu, dan Bapak memanggil saya?" tanyaku dengan wajah menunduk dalam. "Puspa, ambil piring, dan sendok, duduklah di sini, kita sarapan sama-sama" suara Bu Wulan terdengar lembut. Kuangkat kepalaku pelan, kutatap wajah Bu Wulan dengan ragu. "Tidak Bu, terimakasih, biar saya sarapan di dapur saja dengan Bibik nanti" tolakku dengan halus. "Ini perintah Puspa, ambil piring, dan sendok, duduklah sarapan bersama kami" suara Bu Wulan kali ini terdengar tegas, sedang Pak Ervan kulihat tengah melipat koran di tangannya. Kupandang Bibik di sampingku, Bibik menganggukan kepalanya ke arahku. Aku melangkah masuk ke dapur untuk mengambil piring, dan sendok. "Duduklah" Bu Wulan menunjuk kursi di seberangnya. Pak Ervan duduk di kepala meja, ia tengah menyuap makanannya. Bu Wulan yang duduk di sisi bagian kanan meja juga tengah menyuap makanannya, dan aku yang duduk di sisi bagian kiri meja, jadi bingung harus bagaimana. "Isi piringmu Puspa, dan makanlah" perintah Bu Wulan. Segera kulakukan apa yang diperintahkan beliau. Aku menyuap makananku dengan perlahan, perasaanku jadi campur aduk. Selama makan, aku terus menundukan kepalaku, dan selama itu pula, tidak ada suara obrolan dari Bu Wulan, dan Pak Ervan. Pak Ervan terdengar meletakan sendok, dan garpu di atas piringnya begitu juga dengan Bu Wulan melakukan hal yang sama . "Aku ke kantor dulu Dek" Pak Ervan berdiri, dan pamitan pada Bu Wulan, Bu Wulan ikut berdiri, dan mengikuti Pak Ervan ke luar dari ruang makan. Keduanya berlalu tanpa memandang ataupun bicara kepadaku. Tinggalah aku sendirian di ruang makan, aku tidak tahu kenapa dadaku terasa sesak, hal itu membuat mataku jadi berkaca-kaca. Cepat kubereskan meja makan, dan segera kubawa ke dapur perabot bekas makan kami tadi. Aku tidak sempat menghapus air mata yang turun di pipiku, saat Bibik menatap tepat kewajahku. "Puspa ...." Bibik memeluk tubuhku erat. "Aku tidak apa-apa Bik." "Sebaiknya kamu istirahat, aku tahu hati, dan tubuhmu sedang lelah saat ini. Istirahatlah, biar aku yang mengatakan pada Nyonya kalau dia bertanya." "Tidak Bik, aku tidak apa-apa" jawabku lagi, kulepaskan pelukan Bik Imah, dan segera kucuci piring bekas sarapan tadi. "Puspa temui Ibu di kamar Ibu ya" suara Bu Wulan mengagetkan aku, dan Bibik. "Iya Bu" sahutku sambil menganggukan kepalaku. -- Dengan tangan gemetar kuketuk pintu kamar Bu Wulan. "Masuk," terdengar suara sahutan dari dalam. Aku membuka pintu pelan. "Permisi Bu." "Duduklah Puspa," Bu Wulan menunjuk sofa di depannya. Aku duduk dengan kepala menunduk. "Puspa, mulai sekarang ikutlah makan di meja makan bersama kami, kamu sudah Ibu anggap sebagai bagian dari keluarga ini." Ku angkat kepalaku pelan. "Maafkan Saya Bu, jujur saja Saya merasa lebih nyaman makan di dapur bersama Bibik, dan Mamang, jadi saya mohon biarkan semuanya seperti biasa saja, jangan rubah apa yang sudah ada Bu," kutatap mata Bu Wulan dengan penuh permohonan. Bu Wulan terdengar menarik nafas pelan. "Baiklah Puspa, tapi Ibu minta, saat kamu hamil nanti, kamu jangan lagi ikut bekerja mengurusi rumah ini, Ibu tidak ingin sesuatu menimpamu, dan bayi kami yang ada di dalam rahimmu nantinya," perkataan Bu Wulan barusan menggetarkan hatiku 'bayi kami' hhhh ... bayi mereka ... bayi Bu Wulan, dan Pak Ervan, apakah nanti aku tidak berhak menganggap darah dagingku, dan Pak Ervan yang akan aku lahirkan kelak sebagai bayiku juga? "Ya Bu, saya mengerti" jawabku dengan kepala mengangguk, hanya itu yang bisa aku lakukan. "Kalau begitu, kamu bisa istirahat sekarang Puspa, nanti malam Bapak akan datang lagi menemuimu. Kamu harus bisa melayani Bapak dengan baik, agar bayi yang kami inginkan segera hadir di dalam rahimmu, kamu mengertikan maksud Ibu?" tanya Bu Wulan dengan suara lembut, tapi entah mengapa terasa sedikit tidak nyaman di hatiku. Ya Allah, tolong hindarkan aku dari prasangka buruk terhadap orang lain aamiin. "Puspa!" "Oh ya Bu, saya mengerti, kalau begitu saya permisi Bu " aku segera bangkit dari dudukku, kemudian mengangguk sopan kepada beliau, sebelum aku keluar dari pintu kamar ini. Aku tidak kembali ke kamarku, tapi aku tetap mengerjakan tugasku di rumah ini seperti biasanya. Aku ingin mengusir segala kegelisahan yang mendera perasaanku saat ini. -- ***WULAN*** Kutatap punggung Puspa yang melangkah ke luar dari dalam kamarku. Maafkan aku Puspa .... Perasaan sakit ini ternyata tidak bisa aku hindari. Mas Ervan memang tidak berkata apapun sejak dia kembali ke kamar ini subuh tadi. Tapi mendengar dia mandi di kamar mandi, aku jadi membayangkan apa yang sudah kalian berdua lakukan. Meski Mas Ervan tidak bicara sepatah katapun, tentang apa yang kalian lakukan tadi malam, tapi aku bisa melihat seperti ada semangat baru pada dirinya. Dalam pancaran matanya. Dalam senyumannya. Dalam rona wajahnya. Dalam langkah kakinya. Dan sejujurnya, aku merasa tersakiti karena semangat baru itu berasal dari dirimu, Puspa. Hhhhh .... Sudah terlambat untuk menyesali segalanya. Sudah terlambat untuk menghentikan semuanya. Sudah terlambat .... Maafkan aku Puspa, jika rasa cemburu, dan sakit ini muncul juga akhirnya. Sangat mudah mengatakan ikhlas, rela, dan ridho saat semuanya belum terjadi. Tapi setelah terjadi ... hhhhh.... Haruskan keikhlasanku ternoda, karena rasa cemburu di hatiku? Hhhh ... aku harus bisa menahan segala rasa ini, harus bisa, harus bisa. --SATU BULAN BERLALU-- ***Author*** Puspa baru saja selesai sholat Isya dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, ketika terdengar suara pintu dibuka. Puspa memejamkan matanya rapat, selimutnyapun rapat menutupi tubuhnya. Ervan membuka pintu kamar tidur Puspa. Ada bungkusan plastik di tangannya. Dilihat Puspa sudah memejamkan mata, dengan selimut rapat menutupi tubuhnya. Diletakan bungkusan itu di atas meja dekat ranjang. Lalu Ervan duduk di tepi ranjang dengan gerakan sangat pelan. "Puspa," panggilnya lirih. Puspa tidak membuka matanya. "Puspa," panggil Ervan lagi, kali ini dengan tepukan lembut di lengan Puspa. Pelan mata Puspa terbuka, lalu ia berusaha untuk bangun. "Bapak!" "Bangunlah, aku membawakan kue donat kesukaanmu." "Bapak tahu saya suka donat?" "Wulan yang memberitahu aku Puspa." Puspa terdiam sesaat. 'Apa yang kamu harapkan Puspa? Berharap beliau tahu lebih dalam tentang dirimu? Tidak Puspa, jangan pernah berharap lebih, buang jauh-jauh perasaan itu. Kamu tidak berhak memiliki perasaan itu, apa lagi mengharapkan beliau memiliki rasa itu untukmu.' Batin Puspa berusaha mengingatkan akan posisinya. "Puspa, kamu melamun?" "Eeh tidak Pak, Bapak ingin saya buatkan minum?" "Kamu duduk saja disini, biar aku yang membuat minum untuk kita, kamu ingin minum apa?" Pak Ervan sudah berdiri dari duduknya. "Eeh tidak Pak, jangan, biar saya yang buat." Puspa segera berdiri dari duduknya, tanpa sadar tangannya meraih lengan Ervan, untuk mencegah Ervan pergi ke dapur, yang ada di dalam paviliun ini. "Tidak Puspa, kamu pasti sudah lelah bekerja seharian di rumahku, jadi biar aku yang membuat minum untuk kita berdua." Ervan menyentuh bahu Puspa, memintanya untuk duduk kembali. Entah mengapa kalimat 'kita berdua' yang diucapkan Ervan terasa begitu nyaman menelusup hati Puspa, seperti memberinya sebuah rasa nyaman, rasa tenang, dan kedamaian. Puspa seperti merasa memiliki harapan kembali, akan masa depan dalam hidupnya. Puspa membiarkan Ervan ke luar dari kamar, menuju dapur kecil yang ada di paviliun yang Puspa tempati. Puspa membawa kotak kertas berwarna kuning berisi donat itu ke ruang makan. Puspa meletakan kotak itu di atas meja makan. Ervan keluar dari dalam dapur, dengan dua buah gelas berisi air putih di atas nampan. Ia duduk tepat di sebelah Puspa. Tanpa disadarinya, Puspa mengeluarkan tawa pelan dari mulutnya. "Kenapa tertawa?" Ervan mengerutkan keningnya, setelah mendengar tawa Puspa yang hanya sesaat, karena Puspa segera mengatupkan bibirnya dengan wajah merah karena malu sudah kelepasan tertawa. "Maaf, saya pikir tadi Bapak ingin membuat minuman apa, ternyata cuma air putih," jawab Puspa malu. "Donatnya sudah manis Puspa, kalau minumnya juga manis nanti kena diabetes," jawab Ervan. "Eeh, iya maaf, Pak, saya tidak sengaja tertawa," sahut Puspa lirih. "Sudahlah, sekarang kamu pilih mau yang mana?" "Bapak duluan yang pilih." "Tidak, kamu duluan  karena aku membelikannya untukmu" "Baiklah." Puspa mengambil donat dengan toping warna pink di bagian atasnya. Saat ia memasukan donat itu ke mulut, Ervan menatapnya dengan seksama. Menyadari Ervan mengamatinya, Puspa segera ingin menundukan kepala, tapi jari Ervan menahan dagunya, sehingga wajahnya jadi mendongak ke arah wajah Ervan. Wajah Ervan mendekat, Puspa mengedipkan matanya gugup. Lidah Ervan terjulur, menjilati cream berwarna pink yang belepotan di sekitar mulut Puspa. Puspa memejamkan matanya rapat. Jantungnya berdebar tak beraturan. Ini ciuman yang entah keberapa kalinya, dan ini malam kesepuluh Ervan masuk ke dalam kamarnya. Ya, baru sepuluh kali, dari sebulan lalu, karena Ervan sempat beberapa hari pergi ke luar negeri untuk urusan bisnisnya. Puspa merasakan lidah Ervan menelusup masuk di sela bibirnya. Memainkan lidah dengan lidahnya. Pelan Puspa mendorong d**a  Ervan. "Kasihan donatnya nanti dikerubungi semut, kalau dicuekin " ucap Puspa pelan. Ervan tersenyum lembut. "Kamu benar ... ayo kita makan donatnya!" Ervan mengambil satu donat dengan olesan coklat, dan taburan kacang di atasnya. Ragu tangan Puspa ingin terulur untuk membersihkan remah kacang yang menempel dibibir Ervan, tapi diurungkan, jarinya menyentuh bibir Ervan. "Kenapa?" "Tidak apa-apa," jawab Puspa seraya mengulurkan tissue ke tangan Ervan. "Tolong kamu yang bersihkan," pinta Ervan mengagetkan Puspa. Puspa menggeleng. "Bapak saja," tolaknya dengan wajah merah. "Aku ingin kamu membersihkannya, seperti aku membersihkan bibirmu tadi Puspa," bisik Ervan tepat di depan wajah Puspa. Mata Puspa berkedip-kedip tak percaya dengan permintaan  Ervan barusan. 'Apakah Pak Ervan hanya terlihat pendiam diluarnya saja? Apakah beginilah aslinya dia? Apakah ....' "Apa yang kamu pikirkan Puspa? Apa kamu sedang menilai diriku? Apa hasil penilaianmu? Apakah aku tampak seperti pria yang tidak setia? Apakah aku ...." Ervan membersihkan bibirnya dengan tissue yang diulurkan Puspa tadi. "Tidak ... tidak Pak, maaf, aku hanya terbiasa dengan Bapak yang pendiam jadi ...." "Aku memang tidak banyak bicara pada orang lain, tapi aku tetap bisa bicara banyak, dan bersenda gurau dengan istriku, aku tidak sekaku yang kamu pikirkan." "Maksud Bapak, Bapak orang yang suka bercanda dengan Bu Wulan?" "Puspa, aku ingin saat aku berada di kamarmu, kita tidak membicarakan tentang Wulan, karena saat aku berada di kamar bersama Wulan, aku juga tidak ingin membicarakanmu. Saat aku di sini, aku suamimu, dan kamu istriku. Tapi saat aku ke luar dari pintu sana, aku kembali menjadi suami Wulan, tapi kamu tetap istriku di manapun kamu berada. Terdengar egois memang, tapi itulah kenyataannya. Aku ingin sekali bersikap adil terhadap kalian berdua, meskipun aku tahu itu tidak akan pernah bisa sempurna aku lakukan." Ervan bicara panjang lebar. Air mata Puspa jatuh di pipinya, mendengar ucapan Ervan barusan, ada rasa bahagia saat Ervan mengatakan, kalau Ervan suaminya, dan dirinya istri Ervan. Puspa merasa ucapan itu sebagai sebuah penghargaan untuknya. Ervan menyusut air mata yang mengaliri pipi Puspa. "Puspa, meskipun dunia kita berdua hanya sebatas tempat ini, tapi aku ingin membuatmu merasa bahagia, saat kita berdua berada di sini" ucap Ervan lembut, diraihnya kepala Puspa, dibawa ke dalam dekapan hangat dadanya. "Aku tahu Puspa, aku terlalu tua untukmu, menikah denganku seperti menghancurkan masa depanmu. Tapi ini sudah terjadi, aku harap, kita bertiga ikhlas menjalani ini sampai akhir nanti" Ervan mengusap kepala Puspa pelan. Air mata Puspa semakin deras mengalir. Ada kebahagiaan. Ada keharuan. Ucapan Ervan tentang 'dunia kita berdua', seperti membangkitkan lagi gairah hidupnya yang sempat terasa mati. Meskipun apa yang disebut 'dunia kita berdua' itu, hanya seluas ruangan paviliun ini, tapi itu sudah cukup bagi Puspa, untuk membuatnya merasa dihargai, bukan sekedar diperlukan untuk memberi keturunan pada Ervan, seperti yang diinginkan Bu Wulan. "Jangan menangis lagi, kita makan donatnya lagi ya" Ervan melepaskan pelukannya, dibersihkan wajah Puspa dari air mata, dengan tissue yang diambil dari atas meja. Puspa mengangguk, tapi air matanya justru semakin deras mengalir. Ervan kembali mendekap kepala Puspa. Dikecup puncak kepala Puspa. Dielus lembut punggung Puspa, membuat hati Puspa merasa tenang, dan nyaman, tidak ada lagi ketakutan, dan kegelisahan yang kerap ia rasakan. ***BERSAMBUNG***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN