Jam sudah menunjukan hampir pukul satu dini hari saat Renata baru saja sampai ke apartemennya. Pergi ke klub malam bagi Renata bukanlah dengan cara mengenakan pakaian seksi lalu joget dan minum-minum apalagi mencari kesenangan dengan lawan jenis. Melainkan hanya menikmati suasananya, suasana ramai yang tak ia dapatkan saat berada di apartemennya.
Renata langsung menuju ke kamar mandi, semalam apapun dia takkan mungkin melewati rutinitas membersihkan diri itu, karena kalau tidak, dia tak akan bisa tidur.
Renata mengambil ponsel dan menghidupkannya menjelang tidur, dia terkejut saat menemukan Arkan ternyata beberapa kali mencoba menghubungi dirinya.
Dengan ragu Renata mendial nomor suaminya.
"Halo."
Terdengar Arkan menyahutinya dengan suara yang terdengar serak.
"Kamu udah tidur Mas?"
"Heumm, maaf tadi aku lagi di kamar mandi pas kamu telpon. Waktu mau aku telpon balik, ponselmu lagi nggak aktif. Ada apa?"
"Maaf Mas, tadi aku mau minta izin ke kamu buat pergi ke klub malam sama temanku."
"Kamu jadi kesana?"
"Jadi, ini baru pulang. Maaf, aku ke tempat seperti itu. Tapi aku nggak ngapa-ngapain kok, cuma nikmati suasananya aja." Renata merasa bersalah, terdengar tidak pantas saat seorang istri pergi malam-malam ke tempat seperti itu di saat sang suami tengah berada di luar kota seperti ini.
"Iya aku tahu, dari dulu juga mainnya kamu kesana cuma begitu aja kan?"
Renata mengangguk, Arkan memang tahu, dulu mereka sama-sama sering pergi kesana dengan teman masing-masing dan tak jarang akhirnya berkumpul bersama sehingga Arkan sangat tahu akan kebiasaan Renata saat berada di tempat seperti itu.
"Ya udah Mas, kamu lanjut tidur lagi aja. Maaf udah ganggu. Selamat ma...."
"Re...."
"Ya, Mas?"
"Kenapa jarang telepon?"
"Aku takut ganggu kamu."
"Nggak kok, oh ya, akhir minggu ini kayaknya aku pulang lagi, ada panggilan dari kantor Papa."
"Iya Mas."
Seandainya tidak ada urusan pekerjaan berarti nggak akan pulang secepat itu kan? Pertanyaan itu hanya tertahan di tenggorokan Renata.
***
Besok pagi adalah hari di mana Arkan bilang akan pulang, jadi sepulang dari rumah sakit tadi Renata menyempatkan berbelanja kebutuhan dapur. Selama tidak ada Arkan, Renata jarang sekali memasak.
Saat sampai di apartemen Renata di kejutkan dengan seseorang yang tengah duduk di sofa sambil menonton televisi.
"Kamu nggak jadi pulang besok Mas?" tanya Renata begitu sampai di dekat orang yang ternyata adalah suaminya.
"Aku langsung ambil penerbangan sore sepulang dari rumah sakit biar ada waktu buat istirahat," jawab Arkan.
"Ya udah Mas kalau gitu aku masakin makan malam dulu ya bentar."
"Aku bantu."
Renata membuat makan malam yang praktis saja, spagheti dengan saus racikannya sendiri. Arkan hanya membantu menyiapkan piringnya saja, dia paham istrinya itu tidak suka di bantu dalam hal meracik bumbu takut rasanya jadi tidak pas katanya.
"Aku mandi dulu bentar ya Mas, kamu makan duluan aja."
"Bareng aja."
"Tapi nanti makanannya keburu dingin Mas."
"Mandinya, aku juga belum mandi. Tapi lebih baik makan dulu, takut nanti mandinya lama."
Renata mengangguk tahu apa yang Arkan maksudkan. Arkan mengatakan itu tanpa senyum sama sekali, bagi pasangan normal lainnya ini pasti terdengar sangat romantis. Tapi tidak bagi Renata, Arkan sudah biasa mengatakan keinginannya tanpa malu-malu. Hanya saja bagi Renata tetap saja itu terasa hambar, mungkin akan terasa lain seandainya Arkan mengatakan itu dengan di iringi sedikit senyuman atau sentuhan. Entah itu memeluk, memegang tangan atau mencium keningnya. Bahkan bagi pasangan suami istri lain pasti akan menyambut dengan pelukan setelah lama tak berjumpa, tapi itu tak berlaku bagi Arkan, dan Renata pun enggan memulainya. Dia takut di tolak.
***
Di bawah kucuran air hangat di kamar mandi Arkan mencumbu tubuh Renata semampunya. Tangannya mengepal kala ia tengah meraba pinggang dan menyusuri leher istrinya tapi justru yang terbayang di kepalanya adalah wajah wanita lain. Dan wanita itu adalah Dhara Amelia, puteri dari salah satu pasiennya. Yang baru ia temui beberapa hari lalu. Ini tidak masuk akal.
Dengan susah payah Arkan menyelesaikan kegiatan itu bersama Renata, berusaha sekuat tenaga agar otaknya tak mengerang lalu mengucap nama wanita lain saat ia mencapai puncaknya.
Bukan hanya pertemuan di ruang rawat waktu itu memang yang membuat Arkan tak bisa melupakan wajah Dhara, kemarin ia dan gadis itu sempat tak sengaja bertemu di minimarket dekat rumah sakit. Saat mereka hendak kembali berjalan ke rumah sakit yang hanya beberapa meter jauhnya, tiba-tiba hujan lebat mengguyur mereka hingga membuat pakaian yang mereka kenakan basah kuyup. Arkan terkejut saat celana dan baju putih tipis yang di kenakan Dhara basah hingga memperlihatkan pakaian yang ada di dalamnya dengan sangat jelas. Arkan lalu menarik Dhara untuk sedikit menepi, beruntung Arkan tadi tak melepaskan jas putihnya sehingga bisa ia pinjamkan pada gadis itu Tetapi kabar buruknya adalah, lekukan tubuh Dhara terekam jelas di otaknya. Sebelumnya Arkan tak pernah seperti ini pada tubuh wanita, termasuk pada tubuh istrinya sekalipun.
"Mas?"
"Heum?"
"Aku nggak ada handuk." Ucapan Renata yang masih berendam di dalam bathub membuyarkan lamunan Arkan tentang Dhara.
"Sebentar aku ambilkan."
Arkan tak bisa tertidur, dirinya merasa sangat berdosa pada Renata. Tubuh Renatalah yang ia nikmati, tapi justru wajah wanita lain yang ada dalam bayangannya.
Arkan mengecup kepala sang istri saat Renata sudah tertidur pulad, ada permintaan maaf yang tak bisa ia ucapkan.
***
Seperti biasa paginya Renata di sibukkan dengan acara menasak sarapan pagi saat Arkan berada di sana. Gorden dinding kacanya pun ia buka lebar-lebar, tidak seperti biasanya, saat ia sendirian di tempat ini.
"Kamu nggak capek Re? Bangunnya pagi banget."
"Nggak kok Mas, kamu udah mau berangkat? Bisa tunggu aku sebentar?"
"Eum, maaf Re, Papa ngajak aku ketemuan di luar bukan di kantor rumah sakit. Nggak apa-apa ya, kamu berangkat pakai mobil sendiri?"
"Oh...oke, nggak apa-apa Mas."
Renata bilang tidak apa-apa, tapi setelah kepergian Arkan dari sana air matanya menetes. Sungguh hal sesederhana ini pun susah untuk ia dapatkan dari suaminya. Padahal dia rindu suasana berdua di dalam mobil bersama Arkan.
Setelah bisa meredakan kesedihannya, Renata pergi ke luar. Tujuannya bukan rumah sakit, melainkan sebuah rumah. Rumah orang tua dari suaminya. Dia ingin berada di sana sebentar, dia ingin membantu ibu mertuanya memasak untuk anak dan cucu-cucunya. Anak dari kakak perempuan Arkan berjumlah empat orang anak, dan mereka masih kecil-kecil. Yang pertama baru berusia sepuluh tahun, yang kedua enam tahun dan yang terakhir dua tahun. Renata senang dengan suasana sejuk di rumah besar mertuanya ini, ibu Arkan yang berasal dari jawa meminta sang suami membangunkan rumah besar dengan suasana desa yang sejuk dengan tanah luas yang di tanami bermacam pepohonan.
"Lho Re, kamu kesini kok nggak kabar-kabarin Mama dulu?" tanya sang ibu mertua kala menyambutnya di pintu utama.
"Rena nggak niat soalnya Ma, tiba-tiba aja pengin kesini. Anak-anak mana Ma? Aku kangen."
"Lagi sekolah lah, ini kan bukan weekend. Yang ada Vina sama Vano itu lagi main sama Maminya."
"Aku ke sana dulu ya Ma."
"Tunggu Re."
"Ya Ma?"
"Kamu habis nangis ya, berantem sama Arkan?"
"Nggak berantem kok Ma, serius! Cuma kangen kelewat aja jadi pas ketemu rasanya ya gitu, bikin nangis."
"Yakin?"
Renata mengangguk mantap meyakinkan ibu mertuanya. Toh memang benar dia dan Arkan tidak bertengkar, dia hanya menangisi keadaan hatinya sendiri.