Arkan berangkat lebih pagi hari ini, sebagai pemimpin utama di rumah sakit ini dia tidak punya batasan jam kerja. Toh dia tinggal sendiri jadi tidak banyak kegiatan yang bisa ia lakukan di rumahnya. Tujuh puluh persen waktu Arkan ia habiskan di rumah sakit.
Arkan keluar dari ruangannya dengan menggunakan jas putih kebesarannya sebagai seorang dokter. Di depan pintu sudah ada Juwita dengan bibir tertekuk karena ia tadi meminta tolong perawat itu untuk menemaninya memantau beberapa pasien pagi ini, karena siang nanti Arkan ada jadwal operasi.
"Yang ikhlas, nanti saya hitung lembur Ju."
"Iya Pak Dokter, saya ikhlas kok kalau sudah ada bau-bau uang lemburan begini." Jawab Juwita yang tiba-tiba menjadi sangat semangat dan berwajah cerah, membuat Arkan yang berjalan mendahuluinya geleng-geleng kepala.
Arkan tak lupa tentang pasien yang Bintang infokan semalam, hal itulah yang membuatnya datang lebih pagi. Karena dia tetap pada pendiriannya, mengutamakan pasien dengan sakit yang lebih parah dan tidak membeda-bedakan mereka dengan kasta sosial. Walaupun mereka yang membayar mahal jelas mendapatkan fasilitas yang lebih mewah. Tetapi Arkan menekankan kepada seluruh pelayan kesehatan rumah sakit di bawah kepemimpinannya untuk bersikap ramah kepada semua pasien ataupun keluarganya, seperti apapun keadaan ekonomi mereka maupun jalur apa yang mereka tempuh untuk mendapatkan pengobatan di rumah sakit itu.
Setelah mengunjungi tiga pasien lainnya, kini Arkan sampai di depan pintu ruang VVIP yang Bintang sebutkan semalam.
Saat memasuki ruangan itu pasien bernama Indra Setiawan Handoko tengah di suapi oleh seorang wanita yang kemungkinan adalah istrinya.
"Selamat pagi Pak Indra apa kabar hari ini?" tanya Arkan ramah.
"Sudah lebih baik dari terakhir saya berada di rumah Dok," jawab Pak Indra.
Saat Arkan sedang melakukan beberapa prosedur pemeriksaan, tiba-tiba seseorang yang terdengar masuk dengan terburu-buru tanpa mengucapkan permisi, menubruk tubuh terbaring di dekat Arkan. Bahkan tangan Arkan yang hendak mengukur tensi darah dari pasien tanpa sengaja menyentuh kulit halus wanita itu di bagian perutnya karena baju crop top yang wanita itu kenakan tak mampu menutupi area perut.
"Papa ini kenapa si? Udah nggak nganggep Dhara anak lagi, sampai sakit aja aku nggak di kabarin? Kalau kemarin aku nggak telpon orang rumah aku nggak bakal di kasih tahu kan?" cerocos perempuan cantik barambut cokelat di samping Arkan setelah melepaskan pelukan dari sang ayah.
"Hei, bukan begitu, Papa sama Mama cuma nggak mau bikin kamu khawatir di sana. Kamu bilang beberapa hari lalu baru dapet pekerjaan bagus kan? Makanya Papa nggak mau ganggu kamu," jawab sang ayah.
"Tapi tetep aja Papa tuh lebih penting dari apapun." Dhara kembali memeluk sang ayah, Arkan yang ada di sampingnya hanya bisa menahan nafas, antara harus menyabarkan diri untuk melanjutkan pemeriksaan, juga dengan pemandangan wanita muda di depannnya yang bajunya tersingkap hampir sampai pada bagian d**a.
"Terus kamu tiba-tiba pulang gini pekerjaannya bagaimana?" tanya sang ayah.
"Ya aku di pecat lah Pah, apa lagi?"
Jawaban ringan gadis itu membuat Arkan sedikit menarik bibirnya, entah mengapa kata-kata yang gadis itu ucapkan terdengar lucu di telinganya.
"Udah Ra, itu Papa lagi sakit loh, kok malah kamu gencet-gencet gitu?" seru sang Ibu. "Itu Dokter Arkan juga belum selesai periksanya, kamu minggir dulu."
Wanita bernama Dhara itu berdiri tegak menatap mata Arkan sebentar dengan bibir cemberut. Lalu berjalan dan duduk di sofa.
Arkan tertegun, hatinya berdesir melihat bola mata bening itu. Seketika Arkan sadar lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Maaf ya Dok, puteri saya itu anak tunggal jadi manja sekali, padahal usianya tahun ini sudah menginjak dua puluh enam tahun, sudah pantas menikah dan punya anak malah," ucap Pak Indra sambil terkekeh pelan.
"Tidak apa-apa Pak, saya mengerti."
Arkan melanjutkan pemeriksaan, namun saat akan keluar dari sana entah mengapa matanya ingin sekali melirik gadis yang tengah duduk bersila di sofa itu, sayangnya mata mereka justru beradu pandang sejenak, tidak ada senyum ramah sedikitpun dari gadis itu padanya, yang ada hanya raut cemberut yang membuat Arkan bertanya-tanya, apa salahnya?
***
Tiga orang perempuan dewasa tengah makan malam bersama di sebuah kafe mewah di tengah kota.
"Lo kok tumben banget si Re ngajak kita makan malam bersama di hari kerja seperti ini? Biasanya kita ajak keluar pas weekend aja susahnya minta ampun." Keluh seorang wanita bernama Allendra Fitriana salah satu sahabat Renata yang berprofesi sebagai seorang designer.
"Arkan ninggalin gue Len, udah sebulan ini," jawab Renata enteng seperti tanpa beban, dia adalah seorang yang sangat pandai memendam segala kegundahan hatinya, hanya saja saat ini dia butuh sekali sedikit berbagi cerita pada dua sahabat di depannya ini.
"Arkan cerain lo?" tanya Alisa Sandria Nugraha, sahabat Renata satunya lagi dengan ekspresi terkejut.
"Bukan."
"Terus???" tanya dua wanita cantik di depan Renata secara bersamaan.
"Arkan kerja di luar kota."
"Kok lo nggak ikut?"
"Tanggung jawab Arkan di rumah sakit sini dia alihkan ke gue Sa."
"Lah kok lo mau-mau aja? Seharusnya kalau emang ujung-ujungnya bikin lo galau ya lo tolak aja lah. Itu kan rumah sakit milik kuarga kalian, bisalah di atur. Lo itu istrinya Re, lo berhak atas diri dia sepenuhnya, jangan suka manut-manut aja kalau dia bikin keputusan yang kiranya nggak lo sukai." Allen geram dengan sifat nerimo dan penurut yang ada di diri sahabatnya itu. Dulu Renata mau-mau aja di suruh nikah sama Arkan walau tidak saling cinta, padahal kalau Arkan tidak selalu menjadi bayangan untuk Renata banyak lho cowok-cowok yang suka sama sahabat cantiknya itu. Terakhir, Renata nurut aja saat suaminya itu mengajaknya tinggal di apartemen, padahal sebelumnya Renata paling tidak suka tinggal di ruangan gedung tinggi seperti itu, sedikit phobia sebenarnya, Allen selalu melihat Renata yang menutup sejenak mata dan telinganya kala melihat pemandangan di bawah dari lantai atas gedung.
"Siapa si yang galau, gue cuma cerita kok Len," jawab Renata mengelak dengan tuduhan sahabatnya.
"Nggak usah sok kuat deh lo, akting lo nggak mempan di kita," sanggah Allendra.
"Kenapa baru cerita ke kita sekarang?" tanya Alisa dengan nada serius.
"Kemarin-kemarin gue masih sibuk banget."
"Oke, alasan di terima. Terus sekarang keadaan lho gimana, kita bisa bantu apa?" tanya Alisa tak mau memperpanjang masalah itu, karena Allen yang terlihat mulai emosi.
"Keadaan gue baik, cuma ya gitu, apartemen sepi banget. Gue cuma mau minta ke kalian buat temenin gue bentar. Sampe gue ngantuk dan pulang."
"Ogah."
"Ya udah kalau gitu gue balik aja."
"Ya elah bercanda kali Nonya Arkan, serius banget," ucap Allen cepat-cepat meralat ucapannya. "Ya udah kita cari hiburan aja yuk!"
"Ke klub aja gimana? Alan nge-dj malam ini. Gimana, mau nggak, sampai jam dua belas aja. Masih amanlah gue." Ajakan Alisa membuat Renata berfikir cukup lama. Sudah sejak satu tahun lalu dia tak pernah lagi menginjakkan kaki di di tempat seperti itu. Tapi di sisi lain dia juga butuh sedikit keramaian untuk mengisi sisa harinya.
"Gue coba izin ke Arkan dulu ya Al." Renata mengambil ponselnya di dalam tas lalu mencari nomor kontak sang suami. Sudah tiga kali Renata menghubungi Arkan namun tak ada jawaban. Renata menyerah, karena kesal akhirnya dia matikan ponselnya.
"Ayo," ucap Renata sambil mengembalikan ponsel ke dalam tasnya.
"Nggak di angkat?" tanya Allen.
"Mungkin sibuk."
Ya, sibuk. Hal itulah yang selalu menjadi penghibur hati Renata kala menginginkan ada waktu lebih dengan sang suami, namun jarang bisa ia dapatkan. Dan dia tetap diam menerima itu semua.