DUA PULUH ENAM : A Honest Place

1936 Kata
Aku pulang ketika Anne menyuruhku untuk cepat-cepat bergegas sebelum yang lainnya. Ia menarikku gemas dan kami berjalan menuju pintu keluar. Aku bisa mendengar suara Matt yang memanggil kami dan meminta untuk kami menunggunya.  “Kita mau ke mana? Matt memanggil.” Kataku. “Ke tempat kesukaanku, aku tidak mau Matt tahu tempat nyaman ini.” Katanya yang tidak terlalu menjawab pertanyaanku. “Eh?” kami berjalan ke basement dan Anne menyuruhku untuk cepat-cepat masuk sebelum pria yang dari tadi memanggil-manggil kami ingin ikut dan menanyakan kemana kami akan pergi berkali-kali sampai Deby yang kesal terlihat menendangnya. “Kenapa kau tidak mau kalau Matt ikut?” tanyaku sambil memasang sabuk pengaman dan Anne mulai menyalakan mobilnya dan keluar dari pelataran parkir. “Karena ia sungguh menganggu. Suaranya yang besar, nafsu makannya yang banyak, benar-benar tidak cocok untuk diajak sekadar minum dan menikmati hari setelah lelah karena pekerjaan yang menumpuk. Ia bisa mengacaukan suasana.” Anne terdengar sebal dengan semua penjabaran sifat Matt yang kalau ku pikir malah menyenangkan.  Matt adalah orang yang tahu bagaimana melepaskan penat, yang mau menjadi badut di tengah keramaian, dan menimpali pembicaraan apa pun. Ia memiliki banyak hormon endorfin yang tidak dimiliki orang lain. Contohnya aku yang harus mencari hormon itu di tiap makanan manis yang aku konsumsi. “Kita mau minum?” tanyaku. “Iya, apa kau tidak minum? Kau bisa pesan Mocktail saja kalau begitu.” “Tidak, aku minum juga.” Jawabku cepat. “Oke, bagus kalau begitu.” Anne tersenyum lebar dan kami pergi meninggalkan gedung menuju tempat di mana Anne biasa menghabiskan waktu kalau sedang penat.  Mobil melaju menuju St Georges Terrace yang memang dikenal banyak ditempati oleh bar-bar kecil yang selalu ramai. Anne pun memarikirkan mobilnya di salah satu tempat parkir berbayar yang kosong, kemudian kami berjalan di sepanjang trotoar. Langit masih cerah, aku jadi sangsi kalau tempat yang ingin kami datangi sudah buka atau belum. “Apakah sudah buka? Langit masih cerah.” Tanyaku pada Anne. “Temanku yang memiliki tempat ini. Sebenarnya belum buka, tapi kita bisa minum di sana.” Jawab Anne. Kami masuk ke dalam gang kecil namun terlihat hidup dengan kanan kiri sisi gang adalah pintu-pintu menuju berbagai tempat. Mulai dari restoran, toko buku, toko makanan kecil, sampai bar. Kami berhenti di depan pintu berwarna hitam yang di depannya terdapat papan kecil yang memperjelas nama bar yang mungkin akan disinggahi para pengunjung. Der’s, nama bar yang kini membuat Anne mengambil ponselnya dari saku blazer dan ia menghubungi seseorang yang ku taksir adalah pemilik bar di hadapan kami termasuk, teman Anne. “J, aku sudah berada di depan tokomu. Bukakan pintu untukku.” Katanya sambil tertawa, mungkin menertawakan balasan temannya yang disinggahi dadakan seperti ini di bukan jam buka toko yang seharusnya. Anne mematikan sambungan, ia tersenyum kepadaku dan bunyi click berat dua kali dan pintu pun terbuka. Di belakang pintu, aku bisa melihat seorang pria tinggi dengan wajah kusut karena kedatangan dadakan temannya dan bahkan ia membawa seorang lain yang tidak dikenali pria yang dipanggil J tadi oleh Anne. “Kau mau apa?” tanya J dengan suara yang sangat berat. Campuran kantuk dan seringnya merokok. “Minum, kau minggir dulu. Biarkan aku dan temanku masuk. Tolong sediakan aku yang seperti biasa dua. Sajikan dingin.” Kata Anne yang dengan santainya masuk meski si pemilik tidak terlihat senang.  Melihat ekspresi J yang seperti itu, aku jadi enggan masuk. “Bianca! Masuk! Kenapa kau di sana saja? Ayo kita minum sampai puas, aku yang traktir.”  J memandangku dan mengisyaratkan padaku dengan dagunya agar aku cepat masuk. Aku pun pasrah, aku masuk setelah menunduk sekilas tanda permisi dan pintu baru pun ditutup. Berbeda dengan penampilan si pemilik yang masam, bar ini terasa sangat hangat dengan hanya ada beberapa kursi tinggi di sekitar meja bartender dan empat meja bundar di belakang dengan empat kursi kayu yang mengelilinginya. Ini bukan tempat yang besar dan modern. Ini adalah bar kecil hangat yang biasanya para pelanggannya saling mengenal satu sama lain dan menghabiskan waktu untuk minum sambil mengobrol ringan dengan bartender yang sesekali ikut bergabung untuk masuk ke percakapan. Jenis bar yang memang dirancang hangat untuk orang asing yang nantinya akan menjadi kerabat dikemudian hari. Dari pertemuan sekali sehabis pulang kerja yang nantinya akan berarti dan dirindukan. Aku ingat tempat seperti ini yang dulu Mila beritahu padaku. Bar di Jakarta Selatan yang tidak diketahui banyak orang. Tempatnya kecil dan junga hangat, namun sudah setahun tutup karena pemiliknya kembali ke negara asalnya di Jepang.  Aku duduk di stool di sebelah Anne yang sudah membuka blazernya dan meletakannya di sisi meja.  Ia merentangkan tanganya ke atas, dan mengendurkan otot-otot yang tegang dengan menggerakkan bahunya. J si pemilik bar yang adalah teman Anne juga, berjalan di depan kami dan mengambil beberapa botol minuman untuk membuat pesanan Anne tadi. “J, kenalkan ini Bianca temanku di kantor.” Ujar Anne yang menarik lengan J dari balik counter. “J, teman perempuan ini.” Ujar J yang wajahnya masih masam dan menunjuk Anne dengan pandangannya sekilas. “Bianca, teman sekantor dari Anne. Semoga kedatanganku di bukan jam buka bar tidak menganggumu.” Kataku agak sedikit tidak enak. “Menggangu tentu saja, tapi itu sudah biasa.” Jawabnya super jujur sampai membuatku bingung untuk mengatakan apa lagi dan pada akhirnya memilih untuk tertawa saja. “J memang selalu seperti ini. Wajahnya tidak pernah tersenyum, tapi dia bukan orang jahat meski agak menyebalkan.” Anne tersenyum pada J yang tidak ditanggapi lawan pandangnya yang sedang menyiapkan minuman pesanan untuk Anne dan diriku. J yang dibicarakan hanya diam dan fokus pada pekerjaannya. Ia mengambil gelas kocok dan menaruh semua cairan yang dibutuhkan dari berbagai macam botol dan mengocoknya dengan profesional. Aku bisa melihat keseriusan dari cara kerja J, ku rasa ia memang mencintai pekerjaannya sebagai bartender ini. Selesai mengocok minuman kami, ia menuang isinya di kedua gelas kami.  “Angel Face. Kau ingin apa untuk makan malam? Aku ingin buat Pasta.” J menyajikan dua minuman berwarna keemasan yang bening itu dihadapan kami. Aku tahu Angel Face, tapi belum pernah mencobanya. Mocktail yang ku pilih selalu Cosmopolitan dan Mojito, dua menu standar yang selalu menjadi pesanan favorit banyak orang. Bukan seperi Angel Face, Bloody Mary atau pun Between The Sheet yang tidak sering berada di buku menu. “Buatkan untukku dan Bianca juga, Bianca suka yang sedikit pedas, jadi tolong buatkan sesuai kesukaannya itu!” Ujar Anne pada J yang menghilang dibalik tirai yang memisahkan anatara ruangan pengunjung, dan dapur di belakang sana. Anne menyesap minumannya sedikit dan menikmati almond yang tadi diberikan oleh J di piring kecil sebagai teman alkohol yang disajikan. “Temanmu itu baik, ya.” Aku menatap Anne yang sedang membelah kacang almondnya menjadi dua bagian. Ia tersenyum, “ya, J baik tapi wajahnya selalu seperti itu sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Tidak pernah tersenyum, tidak pernah berubah.” Aku mengangguk sekilas dan menyesap Angel Face yang belum pernah ku coba ini. Aku mengernyit, rasa minuman ini sungguh penuh dan kuat, namun meninggalkan rasa manis setelah cairan itu sukses meluncur ke kerongkongan. Ku rasa satu gelas saja cukup kalau rasanya kuat seperti ini. Bisa-bisa aku malah mabuk dan mengacaukan suasana kalau terus menikmati minuman yang dipesankan Anne ini terlalu banyak. Namanya ternyata tidak sesuai dengan rasanya yang lumayan kuat. Penampilannya saja yang cantik seperti Angel, namun rasanya berbeda. “Kau mengenalnya sudah lama?” tanyaku sedikit penasaran. “Kami teman di SMA. Dia seniorku sekaligus pacar dari sahabatku. Kami kenal karena sahabatku ini. Dan kalau ku ingat kembali, rasanya hanyalah sahabatku yang bisa membuat sikap J jadi lebih lembut dan jadi tersenyum.” “Oh, cukup lama juga kalian saling mengenal. Dan apakah Sahabatmu masih awet sampai sekarang dengan J?” pertanyaanku kali ini lebih berani, mungkin karena efek alkohol. “Sahabatku sudah meninggal dua tahun yang lalu karena Kanker.” Anne tersenyum lemas. “Oh, maaf aku tidak tahu.” “Tidak apa-apa, pada dasarnya semua orang akan meninggal.” Jawabnya yang sibuk memandang gelas yang sudah setengah kosong, yang berada di antara kedua tangannya. “Hidup itu aneh, tapi menarik. Kau tidak pernah tahu bagaimana akhir dari hidupmu dan bagaimana kau bisa melewati semua hal yang cukup melelahkan namun tak cukup untuk membuatmu sampai hancur. Pejuang-pejuang seperti J yang selalu bangkit, akan selalu ada di mana pun.” Anne menatapku tiba-tiba, “katakan saja yang ada dipikiranmu pada semua orang yang kau kenal. Kata-kata yang tersampaikan, jauh lebih berarti dari yang hanya bisa menumpuk di hati dan pikiran tanpa pernah memiliki tujuan.” Aku terdiam ketika Anne selesai bicara. Aku merasa kalau semua kata-kata itu tertuju padaku. Namun aku juga bisa merasakan bahwa kata-kata itu juga tertuju pada diri Anne sendiri. Mungkin ini tujuan sebenarnya Anne membawaku ke sini, untuk melihat sisi lain dari kehidupan orang lain yang sama sekali asing bagiku. Bahkan di luar sana, ada banyak orang-orang yang juga berjuang setengah mati sampai tertatih-tatih namun perlahan ia mulai merangkak dan berjalan tegap dengan d**a yang dibusungkan karena bangga pada dirinya sendiri karena sudah bisa mengatasi kesedihan yang ada meski luka akibat ditinggalkan orang terkasih selama-lamanya tidak akan mungkin bisa sembuh dengan sempurna. Ia akan selalu ada di sana, dan membuatmu sadar kalau kau kuat karena kau pernah lemah sampai tersungkur. Semua obrolan kami pun berhenti ketika J menyajikan Pasta di piring besar berwarna putih khas restoran mewah yang porsinya selalu kecil namun harganya tidak masuk di kantong. Aroma Pasta yang menggugah selera membuatku tak sabar untuk menyicipinya. J menarik stool dan duduk di hadapan kami sembari menikmati makan malam yang baru saja selesai ia buat. Pasta dengan krim dan udang ini masih panas dan terasa sangat enak. J juga menyajikan Baguette yang dipanggang sebentar di wajan dengan margarine karena terasa gurih sekali.  “Masakanmu enak, minumannya juga.” Pujiku tulus. “Tapi maaf aku tidak tertarik untuk dikenalkan dengan perempuan entah siapa.” Jawab J yang membuatku kebingungan. “Dikenalkan?” tanyaku bingung, “aku sudah menikah.” Aku menaikkan tanganku ke udara dan memperlihatkan cincin berlian pemberian Rendi agar J tahu kalau aku sama sekali tidak tertarik dengannya. “Oh, bagus kalau begitu.” katanya singkat. Anne tertawa kencang dan terdengar sangat puas dengan keadaan ini. Ia memukul-mukul meja dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya memegangi perut. Kesalah pahaman ini mungkin terasa seperti satu hiburan bagi Anne. Mendengar omongan J barusan, aku jadi yakin kalau Anne sudah beberapa kali membawa teman perempuannya ke sini dengan niatan untuk dikenalkan pada J. Dan, kenapa semua ini terasa seperti drama Korea yang biasa Mama tonton, sih?  “Makanya, jangan terlalu berpikiran negatif tentangku terus. Tidak semua teman yang aku bawa ke sini itu ku niatkan untuk ku kenalkan padamu. Suami Bianca ini jauh sekali dibandingkan denganmu. Dia bekerja di perusahaan elit dan memiliki satu unit apartemen skyscraper yang baru dibuka itu. Sudah jelas, kan, kalau kalian itu berbeda jauh dan tidak mungkin juga aku memperkenalkan temanku yang sudah menikah ini padamu dengan niatan untuk bisa menjalin hubungan yang serius.” Anne mengelap air mata di sudut matanya karena terlalu heboh tertawa. “Karena kau selalu begitu.” Kata J yang mengumpulkan semua piring yang sudah kosong untuk kemudian ia bawa ke dapur.  “Kapan Gene, datang?” kata Anne berteriak untuk bisa didengar J yang berada di ruangan yang berbeda dengan kami. “Sebentar lagi!” jawabnya yang setengah berteriak. “Gene itu part timer yang bekerja di sini, mahasiswi tingkat akhir.” Jelas Anne padaku, “apa kau ingin minum lagi?” tawar Anne sambil mengangkat gelasnya yang kosong. “Iya. J, tolong satu gelas lagi untuk kami berdua!” teriak Anne dengan suara senang. Aku pun ikut tertawa juga karenanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN