DUA PULUH TUJUH : As Beauty As Trouble

1907 Kata
Aku pulang di antar Anne karena aku sudah setengah mabuk dan jalan terhuyung-huyung dengan mobilnya. Akhirnya aku menghabiskan dua gelas Angel Face dan segelas bir pekat yang busanya tinggi sampai seringnya menempel di sekeliling mulut dan aku akan menjilatnya sampai bersih dan tertawa karena sudah terlalu mabuk. Aku pusing dan aku lupa bagaimana caranya aku bisa selamat sampai lantai apartemenku dan masuk ke dalamnya, kemudian berakhir di tempat tidur tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Semuanya seperti magic. Aku bahkan bisa mencari kartu pintu apartemen dan masuk, sungguh hebat, kan?  Namun pagi harinya, aku bangun dengan kesulitan. Aku membalikkan badan dan menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Kepalaku sakit luar biasa, rasanya seperti habis di pukul godam dan diratakan oleh eskavator seperti sedang ada konstruksi di dalam kepalaku ini. Nyerinya luar biasa sampai aku kesulitan pergi ke dapur untuk mengambil obat pereda nyeri.  Aku duduk di kursi pantry dan menenggak satu pil putih dengan air. Aku menenggelamkan kepalaku di tangan yang bertumpu di meja, menunggu efek dari pil itu mulai bekerja dan membuatku jadi sedikit lebih baik seperti biasanya. Untungnya ini adalah hari Sabtu dan jadwal penikahan klien adanya di minggu depan. Rasanya aku tidak sanggup kalau harus pergi di saat-saat seperti ini. Ini pertama kalinya aku wasted di Australia. Sendirian, dan tak jelas. Sungguh miris dan kasihan sekali. Di saat-saat seperti ini, aku malah sendirian dan sadar kalau tidak ada siapa-siapa yang bisa ku mintai tolong kalau ada apa-apa. Misalnya keracunan alkohol seperti Candra dulu yang harus dibawa ke rumah sakit jam tiga pagi dengan aku dan Mila yang penampilannya sudah tidak sedap dipandang karena sudah panik dan membopongnya ke ruang ICU untuk di pompa sampai muntah dan mengeluarkan semua isi perutnya itu dan meninggalkan rasa asam di tenggorokan sampai mulut. Aku ingat waktu itu aku sampai menangis melihat kondisi Candra yang tidak berdaya, Mila memelukku di ruang tunggu dan kami hanya bisa terdiam tanpa mengatakan apa-apa. Aku bahkan bisa mendengar seguk tangisku yang pelan. Rasanya sudah lama sekali kejadian gila seperti itu terjadi. Dan sejak saat itu, kami hanya memesan minuman yang biasa kami pesan. Tak ada lagi tantangan gila atau rasa penasaran atas minuman yang belum pernah kami coba sebelumnya. Tapi entah kenapa, kemarin itu menjadi sebuah pengecualian yang lagi-lagi merugikan. Untungnya aku tidak muntah atau bahkan keracunan. Aku tertawa kecil. Ah, aku jadi rindu Jakarta.    ***   Ada sepatu Rendi ketika aku masuk ke apartemen setelah berbelanja dan makan malam di luar. Rendi sudah pulang, dan kini perasaanku campur aduk. Meski begitu, aku memberanikan diri untuk masuk dan menanggalkan sandal. Dua kantung yang aku bawa dari supermarket ku taruh di atas meja Pantry setelah itu aku mengambil segelas air dan meneguknya seperti orang yang sedang kehausan. Aku tidak kehausan, aku hanya gugup atas semua keadaan ini.  Apa yang harus aku katakan pada Rendi nanti? Apakah ia akan mengajakku untuk mengobrol duluan? Menanyakan dari mana aku dan bagaimana kabarku setelah ia tinggal Dinas ke Adelaide selama tiga hari? Aku bahkan lupa kalau hari ini adalah hari kepulangan Rendi dari dinasnya itu. Pikiranku sudah terlalu penuh sehingga aku dnegan mudahnya melupakan banyak hal yang bahkan penting. Ah, lagi-lagi aku sibuk sendiri dengan pikiranku sampai aku hanya diam di pantry memegang gelas yang sudah kosong karena semua isinya telah meluncur bebas ke tenggorokan dan memberikan rasa sedikit menenangkan meski tidak bisa menghilangkan seluruh rasa gugup yang ada. Ku letakkan gelas kosong itu di meja dan aku melangkah menuju kamar yang lampunya mati untuk mengecek apakah Rendi sudah kembali normal, atau ia tidur di kamar tamu. Dan ketika aku masuk ke kamar dalam keadaan gelap. Rendi sedang tertidur di atas kasur dengan kemeja kerjanya. Jasnya tergeletak di lantai seakan ia tidur karena kelelahan sampai lupa untuk berganti dengan pakaian kebangsaannya. Kaus putih tipis dan celana pendek yang selalu ia kenakan ketika ia sedang berada di rumah. Rasa familier ini, akhirnya menyergapku perlahan ketika melihat Rendi akhirnya kembali tidur di kasur kami meski dalam keadaan masih mengenakan baju kantor. Sudah seharusnya aku melihatnya seperti ini, tidak berada di kamar tamu dengan dalih tidak ingin mengangguku atau pun berada di sofa dengan selimut yang membalutnya hanya setengah badan dan tangan yang tergantung karena sofa tidak muat menampungnya. Rasanya sudah lama sekali tidak melihat Rendi ada di kasur ini. Terlelap seakan tidak ada masalah dan terasa normal. Aku memandangi Rendi beberapa saat dan jadi merasa terharu juga. Entah apakah pekerjaannya sudah selesai atau mungkin besok ia akan kembali menjadi Rendi yang sibuk dan gila kerja meski aku tahu ia memang sedang sibuk dan Perusahaan membutuhkannya. Namun kalau dipikir kembali, sampai kapan ia akan seperti ini? Setiap perusahaan ada masalah, ia akan kembali sibuk padahal ia bukan di bagian Compliance yang merupakan gudangnya semua masalah dan semua harus sibuk karena persoalan tidak pernah selesai untuk diurus. Dan apakah ia akan terus bekerja gila-gilaan sampai sakit? Bahkan perusahaan tidak akan peduli kalau pegawainya sakit dan akhirnya mengundurkan diri. Mencari pegawai baru sebegitu mudahnya mencari kerang di pantai. Selalu ada yang akan melamar, dan selalu akan ada yang terbaik diantara sederet kandidat. Dan si pegawai yang resign? Akhirnya akan diurus oleh keluarga.  Urusan kantor hanyalah satu hal diantara banyak hal yang ia kerjakan. Aku tahu sesekali Rendi masih membantu pekerjaan Ibunya di kantor, begitu pula bisnis sayuran yang meski sudah di limpahkan pada anak buah kepercayaannya, setiap minggu ia masih harus mengecek kinerja dan perkembangan bisnisnya itu. Ren, your life is a mess right now. Aku mengambil jas dari lantai, melepas dasi yang masih terpasang meski telah dikendurkan dan membalik selimut dari sisi lain untuk bisa menyelimuti Rendi. Tak lupa ku nyalakan purifier dan dan juga AC supaya udara yang diputar diruangan jadi bersih. Aku tidak tahu kapan pastinya Rendi sampai di aprtemen karena aku lumayan lama di luar. Aku pergi untuk makan Sushi sebelum berbelanja sayuran dan keperluan lain. Karena kalau aku berbelanja ketika lapar, nanti aku malah akan membeli banyak barang yang tidak penting dan makanan yang nantinya belum tentu aku makan. Setelah meletakan jas dan dasi ke keranjang cucian yang nantinya akan ku bawa ke binatu karena aku tidak bisa mencuci jas dengan mesin cuci, aku segera kembali ke dapur untuk merapikan barang belanjaan tadi. Ku nyalakan mp3 player dan memutarnya lewat speaker dengan volume rendah agar Rendi tidak terganggu. Hanya musik klasik yang bisa aku setel di malam hari menjelang tidur, agar badan bisa agak relaks dan tidur pun jadi nyenyak. Pekerjaan sudah melelahkan, masalah datang terus-menerus, salah satu cara untuk bisa membuat tubuh ini bertahan hanya dengan istirahat yang layak. Ia menyusun telur pada tempatnya, sayuran pada box yang seharusnya dan banyak lagi. Dan sembari merapikan semua barang pikiranku tetap penuh dengan banyak hal tentang Rendi dan kehidupannya.  Sekarang ia paham dengan banyaknya orang yang mengatakan jika menikah itu bukanlah menyelesaikan masalah, tapi hanya untuk menunda masalah baru datang dan membuatnya bertambah. Sebagian orang mudah menua dengan banyaknya masalah yang ada, namun sebagian lagi yang menjalani hidup dengan santai dan apa adanya, terlihat nyaman meski memiliki hutang di Bank dan kemungkinan perusahaan akan gulung tikar setelah ia menyatakan kalau dirinya bangkrut. All hail, masalah! Selesai dengan urusan dapur, aku mematikan musik yang tadi aku setel dan aku pergi ke kamar untuk mengganti pakaian. Meski belum terlalu malam, aku memutuskan untuk tidur saja dan beristirahat di sebelah Rendi. Aku mengamati wajah Rendi yang mulai terlihat kerutan di pinggir matanya. Ia terlihat jauh lebih tua dan lelah dari terakhir kali aku melihatnya. Dan melihat keadaanya yang seperti ini, yang tenang dan tak berdaya, sulit rasanya untuk membayangkan kalau sehari-hari ia bisa dengan gagahnya berjalan mondar mandir dengan ponsel di telinganya dan suara dnegan intonasi tinggi ia keluarkan untuk menyelesaikan masalah kantor. Orang ini, yang terlihat superior beberapa hari lalu terbaring dengan mata terpejam di sebelahku. “Ren, ganti baju dulu ya.” Kataku pada Rendi dan mengguncang bahunya pelan, berharap ia akan bangun. “Hmm...” gumamnya masih belum bergeming. Aku mengelus rambutnya dan mencium keningnya. Ia terlihat kelelahan dan enggan bangun. Aku pun akhirnya pasrah membiarkan suamiku ini tertidur dengan selimut untuk dua orang ia pakai sendirian. Aku mengambil selimut lain dari dalam lemari dan menggelarnya untukku sendiri karena udara di kamar cukup dingin.  Ku matikan lampu tidur di nakas dan berbaring di sebelahnya, sejajar dengan bahunya dan bersandar di sana. Bisa ku rasakan detak napasnya yang teratur membuat diriku tak lagi merasa gelisah tidak jelas. Seharusnya memang sudah seperti ini. Dan akhirnya aku terpejam, pulas dengan dengkur halus Rendi yang seakan menjadi lullaby. *** “Sarapan dulu, keburu dingin.” Kataku pada Rendi yang baru saja bangun dan rambutnya sedikit berantakan. Ia sedikit kurang fokus karena semua nyawanya belum terkumpul. Rendi duduk di atas kursi dan mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan sinar lampu yang terang benderang. “Aku ketiduran kemarin pas baru pulang. Capek banget.” Katanya dengan suara sedikit serak karena baru bangun tidur. “Iya, aku bangunin kamu semalam buat ganti baju tapi kamu nggak mau bangun.” Aku meletakkan secangkir kopi hangat di hadapan Rendi yang sedang mengunyah roti panggang berisi telur dan kejunya pelan-pelan. “Emang kamu bangunin aku? Kok aku nggak sadar?” “Ya kamu tidur.” Kataku kembali menuju kompor dan mengaduk Japanese Curry dengan kentang, wortel dan daging di dalamnya. “Kamu... nggak ada apa-apa, kan selama aku dinas?” tanyanya sedikit agak ragu, mungkin karena merasa tak enak karena selama dinas tidak pernah mengabariku. “Nggak, semuanya baik-baik aja.” Aku kembali memunggungi Rendi untuk menggoreng bakwan jagung. “Maaf ya aku nggak chat atau telepon kamu. Tiga hari kemarin aku sibuk banget sampai tidur aja harus cari-cari waktu.” “Nggak pa-pa, lama-lama juga terbiasa.” “Hon, aku minta maaf.” “Iya. Udah buruan habisin sarapan trus kamu mandi. Aku masih sibuk di sini, nanti kita kesiangan kalo nggak buru-buru.” “Aku tahu belakangan ini aku udah nyebelin banget ke kamu. Nyuekin kamu dan bikin kamu jadi males deket-deket sama aku karena kelakuanku dan kesibukan aku. Aku sadar kalo aku salah banget sama kamu dan udah memperlakukan kamu kayak orang asing yang keberadaann bikin aku nggak fokus. Aku minta maaf, Bianca.” Aku diam dan tidak mengatakan apa pun sembari mengangkat bakwan yang sudah matang dan menaruhnya ke piring yang sudah dilapisi dengan tisu dapur agar minyaknya bisa terserap. Beralih dari bakwan, aku mengaduk kare pelan-pelan. Sampai ada kedua tangan yang memelukku dari belakang dan menangkupkan wajahnya di bahuku dan menciumnya lama. Aku mematikan kompor dan berbalik untuk memeluk Rendi dengan erat. Ya, aku rindu aroma ini yang biasanya setiap pagi aku hirup darinya. Antara aroma badannya yang maskulin dan kopi yang ia sesap. Aku juga rindu bangaimana hangat badannya memelukku dan membuat hariku bisa menjadi sedikit lebih baik. Aku rindu kebiasaan-kebiasaan kami yang sudah absen selama beberapa hari. Kesibukannya dan perasaanku yang menganggu kebiasaan ini sampai menghilang. Namun dari sini aku belajar, bahwa Rendi tidak sempurna seperti banyak kata orang di luar sana. Ia bisa sibuk dan marah sampai tidak peduli dengan sekitarnya, bahkan dengan istrinya sendiri. Dan aku, harus belajar menerima kekurangan Rendi dan kekurangan diriku sendiri. Memaafkan Rendi dan memaafkan diriku sendiri. Aku paham kalau semua ini perlu proses, bahkan mungkin akan ada pertengkaran yang lebih besar lagi yang akan kami hadapi di masa depan, aku juga tahu bahwa aku dan Rendi mungkin akan menyakiti satu sama lain, tapi mungkin kami bisa menghadapinya seperti hari ini. Mungkin kami bisa saling memaafkan lagi dan berpelukan setelah semua masalah dan benang kusut ini bisa kembali digulung seperti sedia kala. -Continue-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN