Majalah yang diletakan Bertha di atas meja itu membuat Khatrine seketika tersenyum senang. Ia lantas membuka halaman pada salah satu lembar majalah tadi, dan senyumnya semakin lebar saat menemukan fotonya di sana. Akhirnya, usahanya selama ini tidak berakhir sia-sia.
"Apa kau senang?"
Khatrine yang tadinya tengah menatap fotonya langsung beralih menatap Bertha yang duduk di sebelahnya. Pria setengah jadi itu sedang sibuk mewarnai kuku kaki Khatrine.
"Tentu saja aku senang, jika melihat wajahku terpampang di majalah ternama."
Bertha mendengus. "Ya ya terserah kau saja,"
Dering ponsel mengalihkan perhatian Khatrine dari Bertha, dengan cepat ia mengambil ponselnya yang ia letakan di atas meja. Ketika melihat nama yang terpampang di sana, senyum senang langsung tercetak jelas di bibir Khatrine. Ia pun langsung menjawab panggilan itu. “Hai!" ucap Khatrine semangat. Bahkan terlalu bersemangat.
"Hai, Khat."
Khatrine bersemu ketika mendengar suara itu memanggilnya. Tapi ia langsung merubah ekspresi karena Bertha menatapnya dengan geli.
"Aku melihat fotomu dimajalah," Khatrine kembali fokus pada ponsel ketika Raveno mulai berbicara.
"Lalu?" Khatrine menahan senyum konyolnya.
Kemudian sebuah tawa pelan ia dengar dari seberang sana. "Dan aku bangga melihatnya, kau sudah bekerja keras selama ini."
Tanpa sadar Khatrine menggigit bibir bawahnya. "Kalau begitu pulanglah. Aku merindukanmu."
"Baiklah, aku juga sedang berada di perjalanan."
Khatrine mengernyit. "Perjalanan? Memangnya kau mau kemana?"
"Menuju apartemenmu,"
Sontak saja mata Khatrine terbelalak kaget. Bahkan ia tanpa sadar menurunkan kakinya dari sofa, membuat cat kuku mengotori kakinya Tapi ia tak peduli. Ucapan Raveno lebih penting dari cat kuku itu.
"Are you kidding me?!" tanya Khatrine.
Raveno terkekeh. "Tidak, aku serius,"
"Tapi bukankah kau sedang menemani Shasa berobat?"
Raveno kembali terkekeh. "Aku sudah pulang kemarin."
Khatrine cemberut mendengarnya. Raveno sudah pulang dari kemarin, tapi pria itu sama sekali tidak memberitahunya?! Dasar pria ini!
"Tunggu aku ya, aku akan segera ke sana."
Belum sempat Khatrine membalas, Raveno sudah lebih dulu mematikan sambungan, membuat Khatrine mendengus kesal dan kembali menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Dasar menyebalkan!"
"Kenapa? Bertengkar lagi?"
"Pulanglah! Aku ada urusan setelah ini."
Bertha mendesis kesal. "Kau baru saja mengusirku?"
"Iya."
"Sia*lan!" Umpat Bertha. Ia mengambil tasnya sembari terkekeh. "Baiklah, aku akan pulang. Karena aku tidak mau menjadi setan diantara kau dan kekasihmu itu."
Khatrine terkekeh. Ia kemudian mendorong Bertha menuju pintu keluar. "Bye Sampai jumpa lagi," Ia menutup pintu apartemen bahkan sebelum Bertha sempat protes.
Dengan cepat, Khatrine langsung berlari ke kamar. Bersiap-siap untuk menyambut kedatangan Raveno.
****
Tak berapa lama kemudian, Khatrine akhirnya siap dengan dirinya. Ia sudah mandi dan berganti pakaian. Ia juga sudah menyiapkan makanan kesukaan Raveno yang ia masak sendiri. Dan kini tinggal menunggu kedatangan Raveno saja.
Ia kemudian berjalan menuju sofa, duduk dengan tenang di sana. Jantungnya berdegup kencang saat memikirkan jika sebentar lagi ia akan bertemu Raveno. Dan untuk menghilangkan kegugupannya, Khatrine memilih untuk membaca majalah.
Tapi saat menit demi menit berlalu dan Khatrine sudah hampir tiga kali membaca majalah tadi, Raveno belum juga datang. Khatrine pun mengernyit, ia melirik pada jam dinding yang sudah menunjukan pukul delapan malam.
Kenapa Raveno lama sekali? Ada sesuatu telah terjadi pada pria itu? Karena khawatir, Khatrine dengan cepat menyambar ponselnya diatas meja untuk menghubungi Raveno. Untungnya pria itu menjawab panggilannya pada nada tunggu ketiga.
"Ha—"
"Maaf, Khat. Aku tidak bisa datang hari ini. Sabrina baru saja—"
Khatrine tak lagi mendengarkan apa yang diucapkan Raveno padanya. Telinganya berdengung saat Raveno menyebut nama Sabrina. Bahkan ketika Raveno sudah memutuskan panggilannya, Khatrine masih terduduk lesu dengan ponsel di pangkuannya. Ia menghela nafas panjang. Meski sudah sering diperlakukan seperti ini oleh Raveno, kenapa rasanya masih tetap sakit? Padahal Khatrine berharap jika ia akan kebal dengan semuanya. Tapi ternyata hatinya masih serapuh itu.
Karena tak tahan dengan keheningan yang melanda, Khatrine memilih berdiri, berderap cepat menuju kamar. Ia menyambar tas dan kunci mobilnya. Sepertinya lebih baik ia menghabiskan malam di luar saja, dari pada berada di apartemen.
****
Lelah berkeliling kota dengan mobilnya, Khatrine pun akhirnya memilih menghentikan mobilnya di klub malam, ia turun dari sana dan langsung masuk. Semua mata di sana memandang padanya, tapi ia tetap tak peduli. Ia lebih memilih untuk menghampiri Mario.
"Hai, Khat!" sapa Mario. Dia merupakan seorang bartender di sana, salah satu teman Raveno juga. Dan dia mengetahui hubungan Khatrine dan Raveno namun memilih untuk tidak ikut campur. "Masalah pekerjaan lagi?"
Khatrine hanya mengangguk pelan. Mario tidak tahu, jika tiap kali ini ke sini bukan karena masalah pekerjaan. Tapi karena masalah yang lain.
"Yang seperti biasa?" tanya Mario.
Khatrine mengangguk pelan. Dan Mario dengan segera menyiapkan pesanan Khatrine. Pria itu terlihat serius menbuat minuman. Entah kenapa pria itu terlihat seksi dimata Khatrine.
Ya Tuhan! Apa yang baru saja ia pikirkan?! Ia pasti sudah gila karena memikirkan hal tadi.
"Silakan menikmati, Khat." ucap Mario menyadarkan Khatrine dari lamunannya.
"Ah iya, terima kasih." Khatrine lantas menghabiskan minumannya dalam sekali tegukan. Rasa panas langsung menjalar ditenggorokannya.
"Kau tidak bisa meminumnya seperti itu, Khat."
"Aku tidak peduli," Khatrine memberikan gelasnya pada Mario. "Berikan lagi,"
Mario menurut. Memberikan satu gelas minuman lagi pada Khatrine dan wanita itu tetap saja meminumnya seperti tadi.
Hingga entah gelas keberapa, Mario menolak saat Khatrine meminta minuman lagi.
"Berikan lagi!"
"Sorry, Khat. Aku tak bisa memberinya lagi. Kau mabuk,"
Khatrine berdecak kesal. Bahkan disaat alkohol mulai menguasai sedikit kesadarannya, ia masih tetap memikirkan Raveno. God damn it! Tolong beritahu cara untuk melupakan Raveno sejenak.
Khatrine mulai terisak. Ia menyenderkan kepalanya di meja bar dan menangis sesenggukan di sana. Ia tidak peduli jika seseorang mengenalinya dan merekam tangisannya ini, karena yang jelas, ia hanya ingin menangis. Melepas rasa sesak yang menderanya sejak tadi. Sementara Mario hanya memandang kasihan pada Khatrine.
Khatrine kemudian menegakan kepalanya. Dengan kesadaran yang masih tersisa sedikit, ia mengumpulkan tas, ponsel dan kunci mobilnya jadi satu.
Kemudian dengan langkah terhuyung, ia mencoba turun dari kursi. Ia hampir mencium lantai andai seseorang tak menahan bahunya. Khatrine mencoba untuk menatap orang itu, tapi kalah cepat karena kesadarannya lebih dulu hilang.
****
Khatrine membuka mata disaat sinar matahari yang menyilaukan mengganggu tidur indahnya. Hal pertama yang ia sadari saat membuka mata adalah ia terbangun di apartemennya. Setidaknya diantara rasa sakit yang ia rasakan, Khatrine bersyukur karena tak terbangun di tempat asing. Bahkan dengan baju yang masih lengkap.
Rasa pusing langsung mendera Khatrine saat ia mencoba untuk turun dari ranjang. Kemudian disusul dengan perutnya yang bergejolak. Ia pun langsung berdiri sempoyongan menuju kamar mandi.
Ia memuntahkan semua isi perutnya di closet. Bau alkohol langsung tercium di hidungnya. Ugh! Menjijikan sekali!
"Kau tidak apa-apa?"
Seketika ia langsung mengangkat pandangannya dan membelalak kaget saat melihat Raveno berdiri di belakangnya. s**t! Apa ia sedang berhalusinasi sekarang?
"Kenapa kau disini?" Khatrine bertanya tanpa menjawab pertanyaan Raveno. Pria itu mendekat saat melihat Khatrine kesulitan berdiri dan membantunya berjalan. Sebenarnya Khatrine hendak menolak, tapi ia tidak punya tenaga untuk itu. Jadi ia biarkan saja.
"Apa kau tidak ingat apapun?"
Khatrine menggeleng. Hal terakhir yang ia ingat adalah saat ia duduk di club dan minum.
"Semalam kau mabuk. Jadi aku membawamu pulang. Lagipula, kenapa kau bisa semabuk itu? Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu saat mabuk?"
Khatrine memutar matanya malas. Andai pria itu tahu alasan ia mabuk, apa pria itu masih akan mengomel seperti ini? "Baiklah, terima kasih karena telah mengantarku pulang," Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Khatrine berlalu melewati Raveno. Namun dengan cepat pria itu langsung mencekal lengan Khatrine
"Katakan padaku, apa yang terjadi padamu?" ucap Raveno pelan dan dalam.
Khatrine melepas cekalan di lengannya. "Tidak ada apa-apa yang terjadi!"
Raveno langsung mengusap wajahnya. Ia menatap Khatrine menyesal. "Jika ini tentang semalam, aku minta maaf." Ia menghela nafas. "Aku dengan cepat langsung ke sini semalam. Tapi kau tidak ada di sini,"
Khatrine melipat tangannya di depan d**a. "Pada akhirnya aku tetap akan menjadi yang kedua 'kan?"
"Khat..."
"Aku tidak ingin mendengar apa pun tentang kau dan wanita itu!" Bahkan menyebut namanya saja Khatrine enggan. Dan untuk pertama kalinya ia merasa muak melihat Raveno di depannya. "Lebih baik kau keluar. Aku mau mandi,"
Raveno menghela nafas panjang dan berlalu keluar.
"Kau bahkan dengan mudah menuruti ucapanku, Rav." Gumam Khatrine sebelum masuk kamar mandi.
****
Usai sengaja berlama-lama di dalam kamar, Khatrine akhirnya memilih untuk keluar juga. Ia berjalan ke dapur dan menemukan Raveno sudah duduk di kursi makan, lengkap dengan dua porsi sarapan di depannya.
"Duduklah, Khat. Aku sudah membuatkan sarapan untukmu," Pria itu menarik kursi untuk Khatrine. Tapi Khatrine malah memilih duduk di kursi yang lain. Raveno pun tersenyum kecut.
"Aku membuat scrambled egg. Apa kau suka?" Raveno masih berusaha mencairkan suasana.
"Lumayan," Ucap Khatrine singkat lalu memakan sarapannya.