Chapter Nine

1749 Kata
Puas bermain parasailing, Thomas dan Khatrine memilih untuk melanjutkan berjalan-jalan di bibir pantai sambil menunggu matahari yang hampir tenggelam. Beberapa orang juga melakukan hal yang sama, bahkan masih ada yang asik bermain air meski udara sudah sedikit dingin. "Bagaimana rasanya menaiki parasailing? Seru kan?" tanya Thomas sambil terus berjalan. Ia mengambil sepatu Khatrine dan menggantikan wanita itu untuk membawanya. Khatrine mencibir pelan. Well, tadi itu memang benar-benar seru. Setelah kedua orang tuanya meninggal, baru kali ini Khatrine merasa begitu lega. Ia seakan tak memiliki beban apapun, semuanya terasa ringan. Dan itu semua berkat Thomas. "Tidak juga," Tapi demi menjaga gengsinya, Khatrine terpaksa berkata lain. Ia tidak mau membuat Thomas jadi makin besar kepala. Thomas mendengus. "Ya ampun, apa susahnya tinggal mengaku saja? Lagipula kau tidak bisa berbohong padaku, Khat." "Oke, tadi itu benar-benar SERU! Kau puas?!" Thomas tersenyum geli. "Sangat puas." Kemudian hening. Mereka terus berjalan tanpa arah, menikmati amgin pantai yang berhembus. Tapi keheningan itu tak bertahan lama karena Thomas memecahnya dengan sebuah pertanyaan. “Sudah merasa lebih baik?" Khatrine mengangkat pandangannya dengan kening yang mengernyit bingung. "Hah? Maksudmu?" Thomas tersenyum tipis. "Perasaanmu, apa sudah lebih baik?" Khatrine menghentikan langkah. Ia terdiam beberapa saat untuk mengetahui bagaimana perasaannya. Ternyata perasaannya sudah lebih baik. Tidak ada lagi rasa sakit akibat kepergian Raveno tadi. Khatrine benar-benar bersyukur, ia bisa melupakan sakit hatinya walaupun hanya sebentar. Setidaknya sampai Raveno kembali nanti. "Perasaanku sudah lebih baik, Thom." "Ku harap kau selalu bahagia, Khaty." Khatrine langsung menoleh dengan wajah memberengut kesal. Kenapa Thomas harus memanggilnya dengan nama itu? Apa pria itu tidak tahu betapa menggelikan nama itu saat Thomas mengucapkannya? Ugh! "Jangan memanggilku dengan nama itu!" "Kenapa?" Thomas mengangkat sebelah alisnya. "Aku suka dengan nama itu. Terdengar menggemaskan," Khatrine mencubit lengan Thomas keras, membuat pria itu mengaduh kesakitan. Saat Khatrine hendak mencubitnya kembali, pria itu menghindar cepat lalu berlari menjauh. Khatrine pun mengejarnya, dapat ia dengar jika Thomas tertawa melihat Khatrine mengejarnya. Dan saat melihat Thomas tertawa, entah kenapa tawa itu jadi menular pada Khatrine. Dasar Thomas sia*lan! **** Menjelang malam, Thomas akhirnya mengantar Khatrine pulang. Wanita itu menyuruhnya untuk mampir sebentar, dan Thomas bersedia. Pria itu duduk di sofa ruang tamu Khatrine sambil menghela nafas panjang. Punggungnya terasa sedikit rileks dan itu membuatnya sedikit mengantuk. "Kau ingin minum apa?" tanya Khatrine sambil berjalan menuju dapur. Thomas lantas memilih berdiri menghampiri Khatrine dan duduk di kursi bar. "Minum apa saja. Asal bisa meredakan rasa haus, Khaty." Mendengar Thomas memanngilnya dengan nama itu lagi, Khatrine pun menutup pintu kulkas dengan sedikit kencang sebelum berbalik dan mendelik pada Thomas. Jujur saja, sebenarnya ia bukan benci mendengar Thomas memanggilnya seperti itu, hanya saja ia tidak suka, karena nama itu itu terdengar sangat menggelikan. Dan itu membuat Khatrine terlihat bodoh! "Berhenti memanggilku seperti itu, Thom. Atau aku akan marah padamu!" Thomas tersenyum geli, mengangkat kedua tangannya di depan d**a. "Oke, aku berhenti sekarang," ucapnya. Tapi beberapa detik kemudian, Thomas justru tersenyum miring dan memanggil Khatrine dengan sebutan ‘Khaty’ lagi. "Thomas!" Dan Thomas pun tertawa sambil mengambil langkah mundur sebelum Khatrine melemparnya dengan buah apel yang wanita itu pegang. **** "Aku pulang dulu," Khatrine hanya diam saja saat mengantar Thomas menuju pintu apartemen, masih dengan wajah yang cemberut lantaran kesal dengan Thomas. "Ayolah, apa kau masih marah karena aku memanggilmu—" "Stop it! Atau aku akan benar-benar marah.” Thomas menghela nafas. "Sorry. Aku janji tidak akan memanggilmu seperti itu lagi," Ia menatap jam tangannya. "Sepertinya aku harus pulang karena sudah terlalu malam, dan lebih baik kau masuk." Khatrine masih bergeming di depan pintu, menatap datar ke arah Thomas. "Um...kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Thomas. Dan sepertinya pria itu terlihat tak nyaman saat Khatrine menatapnya. Rasanya Khatrine ingin tertawa melihat wajah kikuk Thomas seperti itu. "Aku tidak marah. Tadi aku hanya ingin mengerjaimu saja." ucap Khatrine jujur sambil menempelkan pipi di daun pintu. "Sebenarnya aku sudah tahu, Khat. Lagi pula aku bukan mengenalmu selama satu bulan, aku sudah mengenalmu selama hampir seumur hidupmu" Thomas tersenyum miring. Khatrine berdecih. Sama sekali tak terkejut dengan ucapan Thomas barusan. "Kau sudah tahu, lalu kenapa kau diam saja?" Thomas mendekat satu langkah sambil melipat tangan di depan d**a. "Karena aku ingin melihat, sejauh mana kau bisa berakting." Khatrine memberengut kesal. "Kau menyebalkan. Kenapa kau selalu saja tahu tentangku?" Thomas mengerdikan bahunya. "Mungkin karena aku seorang Thomas?" Khatrine memutar matanya malas. "Yeah whatever!” "Oke, kalau begitu aku pulang dulu," Ia mengusap rambut Khatrine pelan. "Senang bisa menghabiskan waktu denganmu, Khat." Khatrine tersenyum. "Aku juga senang, Thom. Terima kasih untuk hari ini," "Tidak masalah, Khat." Thomas masih berdiri di tempatnya. "Ya sudah sana, kenapa tidak pulang?" Thomas tersenyum lebar. "Baik aku akan pulang." Ia berbalik, berjalan menuju lift. Sedangkan Khatrine hanya menatap punggung Thomas dari pintu apartemen. Ia baru akan menutup pintu saat Thomas memasuki lift. Pria itu sempat melambaikan tangannya pada Khatrine sebelum pintu lift tertutup. Dan Khatrine hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah pria itu. **** Lagi.... Keheningan kembali melanda Khatrine begitu ia berada di apartemen. Duduk santai dengan suara TV yang bersahutan tak membuat Khatrine merasa terhibur, justru ia merasa semakin kesepian. Menyedihkan memang, tapi mau bagaimana lagi? Ia sudah tidak punya siapa-siapa didunia ini. Hanya Raveno dan Thomas lah orang terpenting baginya. Khatrine kemudian melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul sembilan malam. Ia mengernyit sejenak, memikirkan sudah berapa jam ia menghabiskan waktu bersama Thomas? Kenapa rasanya waktu cepat sekalo berlalu. Khatrine juga melirik ke arah ponselnya yang ia letakan di meja. Ia tidak mengecek ponsel itu dari tadi pagi. Ia pun mengambil ponsel itu dan mengecek apakah ada pesan masuk disana. Dan ternyata tidak ada satu pesan pun. Khatrine menghela nafas letih. Sebegitu tak pentingkah dirinya, sehingga Raveno tak mengiriminya pesan? Gezz! Kenapa ia terlihat menyedihkan seperti ini? Tring! Mendengar ponselnya berbunyi, Khatrine melihat ponselnya dengan cepat. Ia sangat berharap bahwa pesan itu dari Raveno. Tapi sayangnya harapan itu harus pupus saat itu juga saat tahu jika bukan Raveno yang mengiriminya pesan. Melainkan Thomas. Thomas : Aku sudah sampai rumah. Khatrine mendengus. Untuk apa Thomas mengiriminya pesan tak penting seperti ini? Tring! Satu pesan lagi dari Thomas. Thomas : Ini bukan pesan tidak penting! Aku hanya memberitahu saja. Siapa tahu jika kau penasaran aku sudah sampai rumah atau belum. Khatrine membelalakan mata. Ya ampun! Bagaimana Thomas bisa tahu apa yang Khatrine pikirkan? Thomas : Tentu saja aku tahu. Karena aku seorang Thomas. What the...?! Wah! Khatrine sepertinya mulai merasa takut sekarang! Jarinya baru saja akan mengetikan balasan untuk Thomas, tapi terhenti saat ponselnya kembali berbunyi, dengan nama Thomas terpampang disana. Tanpa menunggu, Khatrine langsung menjawab panggilannya. “Apa kau terkejut?" Khatrine memutar mata malas. "Tidak. Lagi pula untuk apa aku terkejut?" Thomas terkekeh. "Kau tahu, sebenarnya aku memasang kamera tersembunyi dirumahmu." "WHAT?! KAU APA?!!" Tawa bahagia Thomas terdengar. "Astaga, Khat. Aku hanya bercanda." ucap Thomas masih dengan tawanya. "Baiklah, akan aku matikan sambungannya," Dan sambungan pun benar-benar terputus. Khatrine pun hanya menatap telpon yang berada di genggamannya itu. What the hel...?! Pria itu sepertinya menelpon hanya untuk membuatnya kesal saja? Seriously? Hah! Benar-benar menyebalkan! Ting! Ponsel Khatrine kembali berbunyi, ia mendengus saat ponselnya kembali menampilkan nama Thomas. Lagi. Rasa kesalnya pun langsung keluar saat membaca pesn dari Thomas itu. Thomas : Tidurlah. Sekarang sudah malam. Good night, Khaty. ? "Thomas!!! Mati saja kau sana!!!" **** Pagi-pagi sekali, disaat Khatrine masih sibuk dengan mimpinya, ia diributkan dengan bel pintu yang ditekan berkali-kali dari luar. Dengan mata mengantuk, Khatrine turun dari ranjang dan berjalan menuju pintu untuk memarahi siapapun yang mengganggu waktu tidurnya itu. "Berisik!" ucapnya begitu pintu terbuka. Tapi kemudian ia tersadar saat melihat siapa yang berada di depannya. "Selamat pagi, darling." Khatrine mengernyit melihat laki-laki setengah jadi dihadapannya ini. "Untuk apa kau ke mari?" tanya Khatrine pada Bertha—asisten pribadinya. Tanpa dipersilakan, Bertha langsung saja menerobos masuk. Khatrine pun menutup pintu dan berjalan mengikutinya ke dalam. "Apa kau lupa? Hari ini adalah jadwalmu kembali pemotretan, Sayang. Waktu liburanmu sudah habis." Bertha duduk dengan gaya anggunnya di sofa. Khatrine ikut duduk di samping Bertha. "Benarkah? Kenapa rasanya cepat sekali liburanku berakhir?" Keluhnya sambil membaringkan tubuh disofa. "Ck! Cepatlah mandi! Kita tak punya banyak waktu," Khattine mendengus malas. "Sebentar lagi, Tha." Bertha menggeleng, tanda penolakan. "Tidak, darling." Ia mengetuk jam tangannya. "Time is money." Khatrine menggeram, bangun dari rebahannya. "Oke! Aku akan mandi. Dan sebaiknya kau menyiapkan sarapan untukku!" Bertha tersenyum. "Apa pun untukmu, sayang." **** Tak butuh waktu lama bagi Khatrine untuk bersiap-siap. Setelah menghabiskan sarapan buatan Bertha, ia dan Bertha langsung bergegas meninggalkan apartemen. "Apa tema pemotretan hari ini, Tha?" "Sexy wet pool, darling." Senyum Khatrine langsung terbit mendengarnya. Well, dari semua pemotretan yang pernah ia jalani. Bagian ini adalah favoritnya. Bagian dimana ia akan menunjukan tubuh seksinya ini. **** "Waw! Ini dia model seksi kita," ucap Sergio Valdez begitu Khatrine dan Bertha sampai di tempat pemotretan. Sergio adalah sang fhotographer di sini. Dialah yang bertanggung jawab untuk semua pemotretan Khatrine. "Aku akan langsung berganti pakaian," ucap Khatrine pada Sergio. Sergio mengangguk. "Tentu. Silakan saja." Ia tersenyum manis pada Khatrine. "Ayo, Khat. Waktunya bersiap-siap." Ajak Bertha. Khatrine kembali memakai kacamata hitamnya dan melangkah mengikuti Bertha. "Ini yang akan kau pakai," Bertha memberikan bikini berwarna biru gelap pada Khatrine. Khatrine pun mengambil bikini itu dari tangan Bertha, membawanya ke ruang ganti. Setelah bikini itu terpasang, ia mematut penampilannya di cermin. Well! Tidak terlalu buruk ternyata. Ia kemudian keluar dari ruang ganti untuk menemui Bertha. "Bagaimana menurutmu?" Bertha yang tadinya tengah menata peralatan make up langsung menoleh pada Khatrine. Untuk beberapa saat dia tertegun pada Khatrine. "Oh my godness! You look so HOT, darl." Khatrind tersenyum miring. "Bukan Khatrine namanya jika tidak hot." Bertha mengangguk setuju. "Ya. Kau benar. Ayo, lebih baik kita keluar. Aku yakin jika semua mata lelaki pasti akan melirik ke arahmu." "Oke." **** Dan benar saja, semua mata lelaki di sini langsung tertuju pada Khatrine. Tak terkecuali Sergio, pria itu sama sekali tak berkedip ketika menatap Khatrine. Beberapa kali Sergio terlihat menelan ludahnya sebelum berdehem pelan. “Lebih baik kita mulai sekarang." Ia segera berbalik untuk menyiapkan kameranya. Sementara Khatrine berjalan memasuki kolam renang yang akan menjadi tempat permotretannya. Sedikit demi sedikit tubuhnya mulai basah akibat air kolam. "Siap?" ucap Sergio begitu Khatrine berada di dalam kolam. Khatrine mengangguk. Dan Sergio langsung memberi arahan padanya untuk mulai bergaya. "Bagus, Khat. Sibakkan rambutmu," ucap Sergio, membuat Bertha bertepuk tangan heboh. Khatrine menurut, menyibakkan rambutnya ke belakang. Membuat beberapa tetesan air menetes ke leher lalu masuk ke belahan dadanya. Dan Sergio sempat hilang fokus ketika melihat Khatrine, tapi ia langsung tersadar ketika Bertha menepuk bahunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN