Chapter 8

2075 Kata
Gedung kantin tak jauh jaraknya dari lapangan tempat kami berkumpul. Hanya beberapa langkah saja kami sudah dapat tiba di sana. Aku agak bersyukur karena telah masuk ke dalam jurusan ini, karena gedung yang menjadi tempat perkuliahan benar-benar dekat bila menuju kemana-mana. Di samping kanan gedung merupakan jalan utama kampus sehingga sangat dekat bila ingin keluar dari universitas, dari kiri merupakan perpustakaan kampus. Meskipun aku tak membutuhkannya sekarang, namun saat aku menuju semester terakhir nanti aku pasti memerlukan tempat ini untuk mencari bahan riset. Dan yang paling penting adalah di depan gedung. Sebuah kantin yang sangat besar menjorok ke belakang. Saat masih SMA aku selalu memiliki kebiasaan untuk cabut di tengah-tengah kelas berlangsung untuk pergi ke kantin namun dengan alasan pergi ke toilet kepada guru. Meskipun tidak baik untuk dilakukan, aku tidak sabar untuk melakukannya di tempat kantin baru ini. Saat kami masuk, bau dari berbagai macam makanan lan gsung saja mampir menggoyang bulu hidungku. Dengan refleks, aku pun langsung mengacungkan mukaku menikmati aromanya dari kejauhan. Aku pun membuka mataku, banyak sekali mahasiswa baru yang berkunjung di tempat ini terlihat dari papan nama yang masih mereka kenakan. Aku merasa mungkin panitia ospek memang membiarkan kami para mahasiswa baru untuk menikmati suasana kantin pertama kalinya. Aku menoleh ke berbagai arah, tidak ada satupun kakak tingkat yang sedang memesan atau membeli makanan di sana. Tapi saat aku memalingkan wajahku, aku tidak bisa memindahkan mata dan hidungku ke aroma mie ayam yang sangat menyengat di depanku. Meskipun banyak sekali makanan yang ada di sana mulai dari makanan berat sampai dengan makanan ringan seringan kelereng. namun tetap saja, aku selalu menilai sebuah tempat makanan varian seperti ini dimulai dengan penjual makanan mie ayamnya terlebih dahulu. Tidak ada alasan khusus sebenarnya, hanya masalah referensi pribadi. Aku sangat suka untuk makan makanan yang tidak mengandung nasi, jika aku bisa memilih, untuk memakan nasi seumur hidupku atau mie instan, aku akan selalu memilih mie instan meskipun pada akhirnya akan membuat ususku menjadi squishy. Aku masih tidak habis pikir kenapa ada orang yang bisa memakan nasi putih bahkan tanpa lauk apapun. Tapi itu hanya berlaku untuk nasi putih, varian nasi lainnya seperti nasi kecap, nasi goreng, nasi kuning aku masih suka. Bahkan tanpa lauk sekalipun. Karena nasi-nasi yang kusebutkan tadi masih memiliki rasa apabila dimakan tanpa lauk apapun. Aku merupakan tipe orang yang selalu memilih lebih banyak lauk dibandingkan nasinya. Dan aku juga mengutuk orang-orang yang memiliki hobi untuk memakan mie instan dicampur nasi tanpa tambahan apapun. Jika aku menemui seseorang seperti mereka, itu merupakan sebuah red flag bagiku. “Kamu mau makan apa Kill?” tanya Andin kepadaku. Sebenarnya aku bisa dengan mudahnya untuk menjawab mie ayam, namun aku tidak enak dengan Andin karena dia adalah orang yang mengajakku kemari, dialah orang yang harus memilih makanan terlebih dahulu ketimbang diriku. “Hmm... aku mau eksplor dulu deh. Kayaknya ada makanan yang belum pernah aku makan di sini” ucap Andin kepadaku. Dia pun langsung saja memegang tanganku dan mengajakku untuk mengunjungi gerai-gerai yang ada di sana. Aku sadar akan sesuatu, di kantin ini memang tersebar begitu banyak macam makanan. Baik itu makanan Indonesia, ataupun makanan luar. Makanan luar yang aku maksud di sini tidak hanya makanan luar negeri, melainkan makanan luar angkasa ataupun luar dimensi. Seperti salah satu gerai bernama “Ayam Alien”, “Seblak Pluto”, dan paling aneh adalah “Mie Shirotol Mustaqim” yang mengklaim dirinya adalah mie tertipis di dunia bahkan rambut bocil saja kalah tipis dibandingkan dengan mie itu. Melihat nama-nama brand aneh itu adalah salah satu Red Flag bagiku agar tidak mencoba membeli makanan mereka. “Hmm... ini kayaknya enak. Kamu mau beli?” Andin berhenti di sebuah gerai yang terlihat lebih luas dan mewah daripada gerai yang lain. Gerai itu bernama “Merde de Cheval” (Jangan di translate ke prancis). Dari fotonya aku bisa melihat ada sebuah makanan-makanan eropa yang tampak mahal. Salah satu makanan yang kukenal dari foto itu adalah sebuah roti yang sangat panjang dan keras hampir bisa dipakai untuk menggebuk maling saat malam hari. Namanya adalah Baguette, tapi ada makanan lain seperti Spaghetti di sana. Aku benar-benar tertarik untuk mencobanya karena aku belum pernah memakannya seumur hidupku. “Ini menunya mbak” Ucap sang pemilik toko memberikan selebarannya kepada kami. Ternyata dari tampilan toko yang tertera di depan gerai, menu di dalam selebaran ini juga lebih banyak. Dan juga ada sebuah menu rahasia dimana namanya tidak tertulis dengan benar bahkan sangat sulit untuk dibaca. Tapi bukan itu yang menjadi perhatianku. Tepat berada di ujung kanan nama makanan, ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan makanan-makanan ini. Dan harganya, ternyata tidak mengotak. Mana mungkin ada gerai tepat di tengah-tengah kantin sebuah universitas memiliki harga makanan di atas 100 ribu semua? Ini bukanlah restoran mahal! Apa memang ibu penjual ini memang berniat untuk berjualan di sini? “Saya pesan Troffle satu, Spagetthi Bolognese 1, sama banana fluffnya satu ya bu” balas Andin kepada sang Penjual. Aku merasa sangat panik. Mana mungkin aku tidak memesan setelah Andin memesan makanan sebanyak itu? Aku juga sadar kalau makanan yang dia pesan juga bukan merupakan makanan yang remeh. Semuanya merupakan makanan mahal dengan bahan-bahan dan cara pembuatan yang unik. Aku sering melihat nama-nama menu makanan itu di youtube. Namun aku tidak bisa memasaknya sendiri atau memakannya. Benar-benar berada di luar jangkauanku. “Ehmmm... Din... kayaknya aku gak jadi pesan di gerai ini deh. Terlalu mahal buatku” sahutku jujur kepada Andin. Dia menoleh kepadaku. “Ya ampun Kill. Gausah khawatir, aku saja yang bayarin gapapa kok” aku tidak tahu harus merespon apa. Tapi instingku berkata kalau aku tidak yakin dengan tawaran yang diberikan Andin. Aku tidak tahu dia merupakan orang yang benar-benar tulus atau tidak, aku hanya mencoba untuk menghindari masalah lagi setelah apa yang terjadi denganku kemarin. Lagipula, kami juga baru saja berkenalan. Aku merasa tidak enak bila dibantu oleh dia hanya karena masalah seperti ini “Ah... nggak usah Dhin gapapa. Aku cari gerai lain saja ya, nanti kita makan bareng di meja itu” aku menunjuk salah satu meja kosong tanpa ada seseorang pun duduk di atasnya. Ada sebuah nomor bertuliskan angka “7” di sana sebagai penanda. “Nggak papa kok Kill. Aku mau bayarin kamu. Kamu gak perlu ngembaliin duitnya” ucap Andin. Aku bisa melihat kalau ia memang menawariku dengan tulus, namun sayangnya aku harus menolak penawaran baik itu. “Nggak usah din...” balasku sambil mengayunkan tanganku dan bergerak menjauh dari gerai itu. aku langsung saja pergi ke gerai mie ayam yang sudah ku incar dari awal. Namun saat aku berbalik, aku melihat dua orang wanita kakak tingkat dengan penampilan yang sangat modis dan stylish. Make up yang mereka kenakan benar-benar on-point dan benar-benar cocok mereka gunakan. Aku bisa melihat kalau make up yang mereka gunakan bukan make up yang murah. Sedangkan baju yang mereka pakai, merupakan baju yang sedikit seksi dan ketat sampai aku bisa melihat kulit mereka yang benar-benar putih dengan jelas. “Ihh ya ampun... Kamu miskin ya gak bisa beli di gerai ini?” ucap gadis berbibir marun di kiri “Duhh... cewek modelan begini jadi rebutan Ketua Hima. Yang bener saja dong. Apa mungkin ketua Hima nurunin standarnya ya?” lanjut gadis dengan rambut terurai berwarna merah di sebelah kiri. Mereka ternyata bukan gadis sembarangan, mereka tahu tentang masalahku bersama dengan ketua Hima. Aku sebenarnya sedikit terprovokasi dengan ucapan mereka, namun aku berusaha untuk tidak menatap mereka dan kembali berjalan menuju gerai mie ayam. Karena mungkin saja, bukan aku yang sedang mereka bicarakan. “Kill, kamu kenapa?” Andin memegang tanganku saat aku hendak pergi, dia sepertinya paham dengan apa yang terjadi. “Gak papa kok Din. Bagaimana kalo kita duduk di meja yang agak jauhan dikit. Kayak misal di meja nomor 10 itu?” Balasku kepada Andin. Namun Andin terlihat bingung kenapa aku tiba-tiba berubah pikiran tentang pilihan meja tadi. Dia pun tidak membalasnya, hanya saja dia terus saja memegang tanganku dan ikut untuk pergi ke gerai mie ayam bersamaku. “Buk, maaf ya. Pesanannya tadi gajadi” ucap Andin kepada Sang pemilik Toko. Tampaknya tak ada masalah dengan pembatalan pesanan itu, karena mereka juga belum mulai untuk memasak pesanan yang telah dibuat oleh Andin tadi. Kami pun lanjut berjalan menuju ke gerai mie ayam. “Ya ampun. Ternyata dua cewek kampung ini sahabatan. Liz, lihat deh. Lu harus contoh kebersamaan mereka. Si kaya dan si miskin. Mereka rela bersama-sama meskipun tidak ada hubungan erat diantara mereka. Tapi gue jadi curiga apa mereka bener-bener sahabatan, atau sekedar hubungan antara babu dan majikan? Hahahaha” ucap cewek berbibir marun “Ih Rose, kamu parah banget deh. Ga baik tau nyebut mereka babu dan majikan. Lebih mirip ke hewan sama pemilik hewan. Hahahaha” Kata-katanya benar-benar pedas dia tujukan kepada kami. Hatiku benar-benar panas dibuatnya. Namun aku berusaha untuk tetap tegar dan tak menanggapi gosipan mereka kepada kami. Tapi tiba-tiba Andin berbalik arah, menghampiri mereka dan menghadapi mereka sendirian. Aku panik, tidak mengira kalau Andin memang seberani itu menghadapi orang-orang yang berada di tingkat lebih atas di banding dirinya. “Eh maaf kak. Kakak beneran mahasiswa di sini? Karena setau saya mahasiswa di sini punya akhlak dan juga moral yang bagus. Nggak kaya kakak yang omongannya sudah kayak tukang nyebar hoax di zaman Firaun!” Aku langsung saja menyuruh Andin untuk sabar, aku harus meredam konflik yang takutnya akan berujung menjadi sebuah masalah yang lebih besar lagi nantinya. Aku tak bisa membuat konflik lagi di tempat seperti ini. “Sudah Din, jangan hiraukan mereka. Anggep saja mereka gak ada. Kita kembali saja ke gerai mie ayam itu yuk” ucapku mencoba menenangkan Andin. “Lahh... kamu kenapa? Merasa tersindir? Padahal kita gak ngomongin kamu loh. Kenapa kamu Sewot!” aku tahu reaksi seperti itu akan muncul dari orang-orang munafik seperti mereka. Sebuah respon yang aku khatam dan paham betul apa yang terjadi selanjutnya. Jika Andin akan meneruskan untuk berdebat dengan mereka, maka tidak ada akhirnya. Bisa-bisa semua orang di kantin akan memandangi kami seperti sebuah tontonan gulat di TV lengkap dengan penonton bayaran yang akan menyoraki kami nantinya. Untungnya, setelah Andin mendengar bisikanku, dia mau untuk pergi dan tidak menanggapi mereka lagi. Kami pun berjalan dengan santai ke gerai mie ayam. Aku sadar, saat cewek tadi membentak kepada Andin, beberapa orang sadar akan hal itu. Sehingga kami sudah menjadi objek perhatian bagi sebagian orang di sana. Sama seperti dugaanku, kami hanya akan menjadi seperti ayam di tengah-tengah sabung ayam ilegal dan ditonton tidak peduli siapa yang benar ataupun salah yang penting mereka melihat sebuah tontonan seru. “Bu... kami pesan mie ayam dua ya. Satunya pakai sambel, satunya enggak. Dan juga yang enggak pakai cabe pakai pentol ya bu” aku memesan kepada sang penjual Toko. Dia sedari tadi melihat kami dengan kebingungan. Aku tahu kalau dia sadar orang yang sudah membuat sedikit keributan di kantin ini adalah kami. “Oke mbak, mau saya antarin ke meja nomor berapa ya ini” tanya balik sang penjual Mie Ayam “Gerai nomor 10 buk. Kami tunggu di sana ya.” Balasku dengan sopan. “Oh iya, sama dua-duanya pesan es teh juga ya buk” Kami berdua pun langsung duduk di meja yang sudah kami pesan tadi. Aku melihat Andin benar-benar merasa kebingungan dan juga meredam emosinya. Namun dari reaksinya yang aku lihat saat itu, aku bisa menyadari satu hal. Andin sudah tahu apa yang terjadi denganku, ataupun rumor yang beredar tentang diriku. Namun aku masih bingung, kenapa dia masih mau untuk berteman denganku yang justru akan menimbulkan banyak sekali potensi masalah untuknya juga ke depannya? “Kill... kamu kenal nenek-nenek lampir tadi” tanya Andin kepadaku. Aku hanya menggelengkan kepadaku dan juga mengangkat bahuku sebagai isyarat kalau aku tidak mengenal mereka. “Maaf ya Kill. Sudah buat masalah. Aku gak bisa kalau lihat seseorang menindas orang lain. Orang Tuaku selalu ngajarin kalau harus selalu berbuat yang baik dan benar bagi orang lain” “Ya. Nggak papa kok Din. Aku juga terima kasih buat kamu karena telah dengerin nasihatku” Tak lama kemudian Ibu penjual Mie ayam datang ke arah kami membawa dua buah mangkok penuh. Tapi tiba-tiba, sebuah kecelakaan terjadi. Sebelum kami bisa mencicipi mie ayam itu, mangkok itu jatuh dan tumpah ke arah kami berdua. Membasahi seluruh pakaianku dan juga kotor penuh dengan mie. Tapi aku sadar akan sesuatu, dua orang gadis yang tadi mengatai kami, berada di belakang ibu penjual mie ayam itu. Mereka dengan sengaja menyenggol ibu Penjual Mie ayam agar mangkok itu tumpah ke arah kami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN