Chapt 5. Feeling

3085 Kata
*** Mansion Mr. Bandit, New York, USA., Pagi hari., Markas Dyrta.,             Seorang pria tengah duduk santai di kursi kayu jeparanya. Dengan kedua kaki ia luruskan pada kursi lainnya. Tangan kanannya memegang gelas berisi satu gelas wine favoritnya, dan merupakan wine koleksi miliknya. Beberapa ajudannya berdiri berjarak 2 meter darinya. “Apa kalian sudah siapkan semuanya untuk kita berpesta ?” Ucap Dyrta seraya bertanya kepada semua ajudannya.             Salah satu dari mereka membuka suaranya. “Sudah Tuan. Kami sudah siapkan sesuai dengan perintah Anda.” Jawabnya dan dibalas senyuman satu sudut bibir saja oleh Dyrta.             Dyrta kembali membuka suaranya. “Good.” Jawabnya singkat lalu menyesap wine yang dia pegang.             Seorang pria dengan setelan jas hitam dan kemeja putihnya, dia berjalan ke arah Dyrta dengan memegang dua amplop berwarna coklat. “Selamat pagi, Tuan Dyrta.” Sapa pria itu menunduk hormat tepat di hadapan Dyrta.             Tanpa menunggu balasan dari Boss nya, pria itu langsung menyodorkan dua amlop coklat yang dia bawa ke arahnya. “Sesuai permintaan Anda, Tuan.” Ucap pria itu lagi menunduk hormat padanya.             Dyrta menyunggingkan sudut kanan bibirnya. Dan menjangkau dua amplop coklat itu. “Setelah ini. Mari kita berpesta. Aku sudah tidak sabar mengetahui siapa sebenarnya wanita yang telah menghancurkan bisnis pribadiku.” Ucapnya bersuara dingin, dengan wajahnya yang sungguh terlihat tampan dibalik keberingasannya. Persis seperti Daddy nya, Azzura Abraham Althaf.             Semua ajudannya mulai diam mendengar suara yang menurut mereka sangat mematikan itu. Mereka hanya bisa diam dengan kedua tangan saling terpaut ke depan. Dan pandangan fokus menatap Boss mereka, Adyrta. “Thank you, Dom.” Ucap Dyrta sebagai balasan kalimat dari sekretaris pribadinya barusan. Dia lalu membuka amplop coklat itu satu persatu. Dan mengeluarkan isi di dalamnya.             Yah! Pria yang memberikan dua amplop coklat itu adalah Domba Milan. Sekretaris pribadinya yang akrab disapa Dom.             Satu amplop coklat diletakkan diatas pahanya. Dan satu amplop coklat lagi, dia membuka kaitan talinya. Saat dia mengeluarkan semua isi dari satu amplop coklat yang dia buka. Deg!             Dia diam sesaat, memandang semua foto yang ada di tangannya. Sedikit menggelengkan pelan kepalanya sambil melihat foto itu satu persatu. ‘Dia.’ Bathin Dyrta bertanya-tanya dengan kerutan mulai muncul di keningnya.             Semua ajudannya saling berpandangan satu sama lain. Termasuk Domba yang ikut mengerutkan keningnya saat melihat Boss nya yang tampak serius memandang semua foto dan berkas lampiran yang sudah dia cari sejak sehari yang lalu.             Seakan tidak puas melihat hasil buruan dari sekretaris pribadinya, dengan nafas memburu Dyrta mulai membuka suaranya. “Ceritakan tentang dia!” Ucap Dyrta bersuara dingin, mulai mengeraskan rahangnya. Dengan pandangan berkabut menatap wanita yang ada di foto itu. Glek! Glek!             Mereka semua mulai bergidik ngeri melihat respon tidak biasa dari Boss nya. Para ajudannya mulai mundur tiga langkah ke belakang, seakan takut menjadi sasaran amukan dari Boss mereka. Karena mereka tahu, Boss mereka tidak pernah segan untuk melempar pelurunya kepada siapapun. Sekalipun peluru itu tidak tepat sasaran. Domba, dia sigap menjawab kalimat dari Boss nya yang dia tahu kalau Boss nya terlihat kaget dengan wanita yang ada di foto itu. Domba yakin, kemungkinan Boss nya mengenali siapa wanita yang telah berani melaporkan bisnis pribadi Boss mereka. “Dia bernama Chandly Yuria Afnan, Tuan.” “Panggilan akrabnya, Chandly.” “Dia mahasiswi Kedokteran Spesialis Anak di Columbia University dan bekerja sebagai Dokter Umum di Presbyterian New York Hospital of Columbia and Cornell.” Glek!             Dyrta semakin susah menegukkan salivanya sendiri. Melihat wajahnya dari balik foto saja, membuat libidonya naik seketika. ‘s**t!’ Umpat Dyrta dalam hati. Karena pikirannya kembali mengajak dirinya untuk mengingat kejadian malam itu. Satu malam indah mereka, dimana rasa sakit dan gelanyar aneh itu merasuk ke tubuhnya dan saling bertukar nafas dengan gadis yang dia nikahi secara sirih. Karena keinginan dirinya untuk memerawani gadis itu, tanpa melanggar larangan sang Mommy. ‘Chandly.’ Bathin Dyrta lagi-lagi mengingat satu nama yang hampir sukses untuk dia lupakan. Namun detik ini, nama itu semakin kuat dalam ingatannya.             Domba, dia tetap melanjutkan kalimatnya. “Dan berasal dari kota Jakarta. Kota Jakarta terletak di Negara Indonesia, Tuan.” Deg!             Benar dugaan Dyrta. Wanita yang saat ini dia lihat adalah istri sirihnya. Yang sama sekali belum dia ceraikan sejak mereka terakhir kali melakukan percintaan panas pada malam itu.             Tanpa sekretaris pribadinya menjelaskan secara detail pun, dia sudah tahu secara detail dari wanita yang masih sah sebagai istri sirihnya itu. “Dia putri tunggal dari dokter spesialis jantung terkemuka di Jakarta, sekaligus pemilik Perusahaan Abadi Jaya yang sekarang bergerak di bidang property.” “Ibunya, berdarah campuran Jepang dan Indonesia.” “Dan dia juga penulis…” Ucap Domba dan disela cepat oleh Dyrta. “Stop!” Ucap Dyrta dengan suara baritonnya. Glek! Glek!             Semua yang ada disana semakin menundukkan kepala mereka. Termasuk Domba yang tidak berani mendongakkan kepalanya lagi menghadap Boss mereka.             Dyrta, dia meletakkan semua foto-foto itu di atas meja yang berada tepat di sampingnya. Dia kembali membuka satu amplop coklat yang ada di tangannya. Deg!             Terlihat jelas disana sebuah foto pernikahan di sebuah hotel kecil yang berhasil sekretaris pribadinya ketahui. Namun foto itu tidak terlalu jelas terlihat. Karena diambil dari CCTV yang ada di lobi hotel tempat dia dan wanita bernama Chandly itu melangsungkan pernikahan sirih mereka.             Dyrta menghela panjang nafasnya. Merasa lega, karena wajahnya tidak terlalu begitu jelas terlihat. Karena saat itu dirinya memang menutupi identitas wajahnya dengan memakai topi dan pakaian biasa.             Sudah cukup informasi mengenai wanita yang sudah membuatnya rugi 2 juta dollar Amerika Serikat, terutama mengancam nama baiknya dalam bisnis illegalnya. Karena tidak mau semua orang tahu hal ini, termasuk sekretaris pribadinya sekalipun. …             Beberapa menit telah berlalu, semua ajudannya diam melihat Boss mereka yang tengah menatap intens foto yang ada di tangannya. Seakan sedang memikirkan sesuatu yang tidak bisa mereka jangkau.             Selang beberapa detik, tercetak senyuman iblis di wajah tampannya.             Semua ajudan dan sekretaris pribadinya, Domba. Mereka saling melempar pandangan satu sama lain. Melihat perubahan pada ekspresi Boss mereka yang sangat mengerikan untuk mereka tatap. ‘Istriku…’ Bathin Dyrta seakan berkata dalam senyuman bermaknanya. ‘Chandly Yuria Afnan.’ Dyrta lalu mengangkat foto itu dan menciumnya lama. Seakan tengah meresapi dan mengkhayal indah untuk rencana yang baru saja terlintas di otak tampannya saat ini.             Saat dia tengah asyik pada khayalan indahnya, suara hentakan heels seseorang terdengar menggema di ruangan besar dan mewah itu.             Suara genitnya membuat pria yang dijuluki Mr. Bandit itu membuka pejaman kedua matanya. “Hallo Mr. Bandit. How are you ?” Ucap seorang wanita berjalan anggun dengan dress minim maroonnya ke arah Dyrta.             Mereka semua melihat ke sumber suara. Dan seketika susah menegukkan saliva mereka sendiri. Begitu juga Dyrta yang mulai menerbitkan senyuman khas di wajah tampan nan liciknya. Suara wanita itu sangat familiar di telinganya. Dan dia sudah bisa menebak siapa wanita itu.             Dia mengalihkan pandangannya dan memasukkannya kembali semua foto itu ke dalam amplop coklat yang dia pegang. Dan meletakkan amplop coklat itu diatas meja tepat di sampingnya.             Wanita itu terus melangkah dengan anggun melewati semua bodyguard dan berjalan menuju Dyrta. Saat dirinya sudah berjarak sangat dekat, dia mulai bergelayut manja mencium leher Dyrta dari belakang. “I miss you, Mr. Bandit.” Bisiknya sensual di telinga Dyrta. Dengan kedua tangannya mulai membuka satu persatu kancing jas hitam pekat Dyrta.             Dyrta hanya diam, dengan senyuman iblis masih tercetak di wajah tampannya. Kedua tangannya mulai membelai wajah wanita yang tengah menciumi lehernya. “Aaahh… Kau membangunkannya, Mel.” Bisik Dyrta mendongakkan kepalanya melihat wanita itu dari atas, yang masih didengar oleh semua ajudannya.             Wanita itu, Melia Rose. Wanita berusia 25 tahun yang akrab disapa Melia itu merupakan pekerja seks pribadi bayaran Dyrta. Dia dipekerjakan oleh Dyrta, karena tubuh proporsionalnya yang cantik dan seksi.             Mereka bertemu saat Melia tengah dijual oleh salah satu Madam di diskotik berbintang lima di kota New York, The Levent Coltar Discotic. Dyrta mempekerjakan Melia sebagai kekasih bayarannya. Hanya untuk melampiaskan hasrat Dyrta semata. Dan dia sudah membicarakan hal itu kepada Madam yang sudah tahu siapa dirinya di Amerika.             Melia, mendengar desahan yang lagi-lagi lolos dari mulut seksi yang sangat ingin dia sentuh itu. Dia semakin gencar menggoda Dyrta. “Kita bermain di ranjang, Mister.” Bisik Melia sensual lalu menjilat daun telinga Dyrta.             Domba memberi isyarat kepada semua bodyguard untuk segera keluar dan mengosongkan mansion lantai atas. Dia tahu kalau Boss mereka bisa bermain dimana saja. Dan dia sudah paham itu.             Dyrta menyentak kakinya menyentuh lantai. Memainkan sepatu, menopang tubuhnya. Dan berbalik badan, sigap menggendong Melia seperti layaknya sebuah karung. Dia menopang tubuh Melia pada bahu kirinya, hingga sang empunya memekik. “Aaahkkk!” Pekik Melia yang tiba-tiba diangkat oleh Dyrta.             Dia tertawa pelan melihat Dyrta yang mulai ganas terhadap dirinya, seperti biasanya. Plaaakkk!! Plaaakkk!! Plaaakkk!! Plaaakkk!!             Dyrta memukul keras b****g Melia hingga berulang kali. Hingga celana dalam tipis miliknya terlihat dari luar. “Aaahhkkk!!” Pekik Melia kembali karena sedikit sakit.             Dyrta tertawa bak iblis. Dia lalu masuk ke dalam lift yang sudah dibuka oleh bodyguardnya. Ting!!             Dyrta masuk ke dalam lift mewah itu. “Kau membuatku kehilangan kendali lagi, Mel!” Gertak Dyrta mengeraskan rahangnya.             Melia tertawa dengan nafas tersengal.             Dengan tubuhnya yang proporsional. Tenaganya yang kuat, membuat Dyrta mampu menopang tubuh Melia yang tinggi dan seksi.             Tangan kanannya menyentak celana dalam tipis milik Melia. Sreekkk!!! “Ooouuughh God!” Pekik Melia lagi sambil tertawa pelan.             Dalam diamnya, Dyrta mulai memasukkan dua jarinya sekaligus ke dalam milik Melia yang sudah melebar itu. “Aaaahhhh Dyr… ta…” Melia menganga dengan posisi tubuhnya yang sangat tidak nyaman. Ting!!             Pintu lift terbuka, dan mereka keluar dari sana.             Dyrta, dua jarinya mulai bermain di dalam sana yang belum basah dan kesat. “Ooughh Dyrta…” Desah Melia panjang dengan rasa yang sudah tidak tertahan di area miliknya.             Dyrta, tanpa ampun dia memainkan dua jarinya di dalam sana dengan kasar. “Aaaahhhkk aaahhhkkk Dyrrr… ttaaa… Ooouugghhh Dyyrrr…” Melia menggelinjang kuat, kedua kakinya mulai tegang. ---**--- Rumah Zhakaria Afnan, Jakarta, Indonesia., Ruangan keluarga., Malam hari.,             Setelah selesai bertelepon dengan sang Mama, Leta. Chandani kembali meletakkan ponselnya di ambal berbulu itu. Dan kembali bergelayut manja pada bahu sang suami.             Zhaka dan Arisha juga berada disana, bersantai bersama dengan putra dan cucunya. Mereka melirik menantu mereka sekilas.             Arisha, dia membuka suaranya. “Begini kalau Chandly tidak ada di rumah. Jadi sepi.” Ucap Arisha dengan suara mengeluhnya.             Chandani, dia melirik sang Mama mertua sekilas. Dan menghela panjang nafasnya. Dia lalu mendongakkan kepalanya, menatap sang suami.             Zhain yang paham, dia menaikkan kedua alisnya ke atas dan tersenyum tipis. Dia membuka suaranya. “Ada apa, Sayang ?” Tanya Zhain seraya meminta penjelasan kepada sang istri yang masih berwajah sedih.             Chandani, dia kembali menundukkan pandangannya. Dan membuka suaranya. “Adek sudah bilang. Jangan izinkan dia ke Luar Negeri.” Ucapnya bernada sedih. Dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Dia ada di rumah saja, rumah masih sepi…” “Apalagi tidak ada Chandly, Mas…” “Adek rindu sama dia…” “Beberapa minggu tidak jumpa saja, Adek sudah serindu ini.” Ucapnya pelan dengan nada getir.             Zhaka dan Arisha saling melirik satu sama lain. Dan sesekali melirik menantu mereka, Chandani.             Sejujurnya, mereka sendiri pun juga sangat merindukan cucu semata wayang mereka, Chandly. Tapi mereka juga tidak bisa menghalangi dan membuat batasan terhadap cita-cita yang ingin cucu merek gapai.             Zhain, dia tersenyum. Dan mengelus pelan lengan kiri sang istri. Tidak hanya mereka, dia sendiri pun bahkan sangat merindui putri semata wayang mereka. Tapi dia juga tidak mengkhawatirkan apapun soal putrinya, karena dia sudah memantaunya dari kejauhan. … Kamar Zhain dan Chandani.,             Dia masih terus membiarkan sang istri terisak dalam dekapannya. Dia pikir, istrinya masih belum terbiasa dengan ketidakhadiran putri mereka lagi di rumah ini.             Walau dirinya juga merasakan hal yang sama. Tapi dia masih bisa menahan rasa rindu itu dengan doa. Bukan dirinya tidak bisa meneteskan air matanya karena menahan rindu. Dia hanya tidak ingin terlihat lemah di hadapan sang istri.             Jika dia lemah, lalu siapa yang akan memberikan semangat dan kekuatan untuk istrinya, pikir Zhain saat ini. Karena hanya dia yang diandalkan di rumah ini. Mengingat kedua orang tuanya sudah tua, tidak mungkin terbebani lagi dengan urusan yang berat.             Dia mengecup lama kening sang istri, sambil terus mengelus pelan lengannya. Dia kembali membuka suaranya. “Sayang…” “Sudah malam, kita tidur sekarang ya ?” Tanya Zhain berusaha mengalihkan perasaan sang istri saat ini.             Chandani, dia mendengar ucapan sang suami. Tapi tidak bisa dia pungkiri, kalau dia sungguh tidak tahan jika tidak berjumpa dengan putrinya, Chandly. Dia membuka suara terisaknya. “Mas…” “Adek rindu sama putri kita…” “Kalau tidak, kita tinggal di New York saja, Mas…” “Sampai kuliah dia selesai, Mas…”             Dia terus terisak. Dengan kedua mata sudah sembab. Bahkan piyama sang suami sudah terlihat kusut dan basah karena air matanya.             Dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Dia tidak bisa memasak, Mas…” “Dia pasti kelaparan kalau sudah pulang kuliah…” “Dia nyuci baju sendiri…” “Nyetrika sendiri…” “Putri kita pasti Lelah, Mas…” “Adek tahu itu.” Ucapnya memeluk erat sang suami, meluapkan semua isi hatinya.             Zhain, dia menghela panjang nafasnya. ‘Mas juga merindukan putri kita, Sayang…’ ‘Tapi dia baik-baik saja…’             Dia kembali membuka suaranya. “Sayang, putri kita baik-baik saja…” “Kita harus percaya. Kalau Allah menjaganya, hmm ?” Ucap Zhain seraya mengingatkan sang istri.             Chandani mengangguk iya mendengar kalimat sang suami.             Namun, tidak lama berselang waktu. Ponsel Chandani berdering. Dddddrrrrrtttttt…             Mereka berdua mendengar deringan ponsel yang terletak di atas nakas, tepat di sebelah ranjang mereka. Zhain, dia menegakkan tubuhnya, dan mengulurkan tangan kirinya. Mengambil ponsel sang istri. Dan melihat nama yang ada di layar ponsel istrinya. Putri Mama is calling…             Zhain tersenyum sumringah melihat siapa yang menelepon mereka. Dia membuka suaranya. “Sayang, Chandly menelepon lagi.” Ucapnya dan sontak sang istri langsung menegakkan tubuhnya. “Hah ? Putri kita, Mas ?” Ucapnya langsung merampas ponselnya dari tangan sang suami.             Zhain tertawa pelan melihat reaksi sang istri. Karena dia tahu, pembicaraan mereka tadi melalui telepon, belum membuat istrinya puas. Dia bersyukur, sang putri menghubungi mereka kembali.             Chandani, dia langsung menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Dia langsung membuka suaranya. “Hallo. Assalamualaikum, Sayang ? Kenapa menelepon lagi ? Putri Mama gak kenapa-kenapa kan disana ? Sudah makan ?” Ucap Chandani mengulang pertanyaan yang sama persis saat putri mereka menghubungi mereka tadi.             Zhain, dia langsung memberi isyarat pada sang istri. Dan mengambil ponselnya, untuk dia aktifkan tanda loudspeaker agar dia juga bisa mendengarnya. “Ish Mommy. Chandly gak kenapa-kenapa. Mommy gak suka kalau Chandly menelepon Mommy lagi ?”             Chandani melirik suaminya. “Tidak, Sayang Mommy. Mommy justru lagi rindu…” “Siapa bilang gak boleh ? Kalau bisa teleponnya gak usah dimatikan, Sayang. Biar Mommy tahu, anak Mommy lagi apa disana…”             Zhain mengulum senyumannya. Dan menyuruh sang istri untuk berbaring sambil bertelepon.             Chandani langsung merebahkan tubuhnya kembali. Mendekat pada tubuh sang suami. “Mommy lagi apa ? Chandly video call aja. Sebentar Chandly matikan…” “Tapi, Sayang…” Tutt… Tutt… Tutt…             Zhain dan Chandani saling melirik satu sama lain. Mereka bingung dengan sikap putri mereka.             Chandani membuka suaranya. “Dimatikan, Mas ?” Ucap Chandani dengan wajah bingungnya.             Saat dia hendak menegakkan tubuhnya kembali. Ponselnya kembali berdering. Ddddrrrrrttttt…             Zhain dan Chandani langsung melihat ke layar ponsel itu. Panggilan video call tertera disana. Video Calling Putri Mama is incoming call…             Chandani segera menggeser warna hijau di layar ponselnya. “Mommy!!!”             Zhain dan Chandani mengulum senyumannya kala mendapat suara keras dari putri mereka. Begitu antusias, dan mereka sangat rindu dengannya.             Chandani, dia membuka suaranya. “Iya, Sayang…” “Sedang apa anak Mommy ?” “Ini, Mom. Lihat…”             Zhain mengernyitkan keningnya melihat tumpukan buku dan kamus kedokteran milik sang putri. Dia membuka suaranya. “Beli kamus baru, Sayang ?” “Iya, Dad! Lagi pula, kamus disini sangat lengkap. Tadi Ken beli tiga…”             Chandani hanya senyam-senyum melihat sang putri juga suaranya yang sangat dia rindukan. “Mommy rindu. Jangan dimatikan ya panggilan videonya, Sayang. Sampai rindu Mommy berkurang…” “Chandly juga rindu sama Mommy. Gak ada lagi makanan Mommy disini. Dan Chandly selalu makan yang gak enak…”             Zhain dan Chandani mengernyitkan kening mereka. Zhain membuka suaranya. “Gak enak bagaimana, Sayang ?” “Chandly gak bisa masak enak kayak Mommy, Dad…” “Chandly rindu masakan Mommy…” “Mommy tidak ada niat ke New York lagi ?”             Chandani melirik suaminya, Zhain. Dan dia kembali membuka suaranya. “Iya, Mommy akan kesana lagi, Sayang. Mungkin minggu depan. Iya kan, Pa ?”             Zhain hanya menggelengkan pelan kepalanya. “Daddy gak mau ?” “Bukan tidak mau, Sayang. Tentu saja Daddy mau. Nanti Daddy dan Mommy kesana ya, Sayang…”             Dan mereka terus berbicara dengan putri mereka, sampai salah satu dari mereka tertidur. Yah! Chandani tertidur dengan posisi miring ke kanan. Karena ponselnya tergeletak disana, disanggah oleh bantal. “Dad ? Mommy tertidur ?” “Iya, Sayang. Mommy kamu rindu, satu harian Mommy sedih mikirin kamu…” “Hmm, Mommy cengeng…”             Zhain terkekeh, dan semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh sang istri. “Bukan cengeng, Sayang. Mama mana yang tidak rindu sama putrinya…” “Biasanya dia selalu lihat setiap pagi. Selalu dimanja setiap hari, sekarang putrinya sudah berada di New York. Tentu saja dia sedih…” “Kalau begitu, Mommy dan Daddy buat adik baru lagi saja…”             Zhain menaikkan kedua alisnya ke atas dan hampir melepas tawanya. “Sayang mau punya adik baru lagi ?”             Disana, Chandly terlihat tengah berpikir. “Kalau Chandly punya adik baru lagi ?” “Ya Mommy dan Daddy akan sibuk dengan adik baru kamu, Sayang…” “Ish! Jangan kalau begitu! Nanti Daddy dan Mommy jadi lupa sama Chandly!”             Zhain kembali mengulum senyumannya. Putrinya sudah dewasa, tapi masih bersikap seperti seorang anak kecil, pikirnya.             Dan mereka masih terus berbicara sampai sang putri benar-benar puas dan mematikan panggilan video mereka. Walaupun dirinya sudah sangat mengantuk, tapi dia tetap menemani kegiatan sang putri disana.             Dia tahu, bagaimana rasanya hidup di perantauan seorang diri. Tidak ditemani oleh sanak saudara, satu orang pun. Dan dia merasakan apa yang putrinya rasakan saat ini.             Lebih baik baginya menurunkan egonya, demi putri semata wayangnya. Karena hanya putrinya, Chandly yang menjadi fokus dan titik kebahagiaan dirinya dengan sang istri, Chandani.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN