Robin Mulya : Giselle Maria Vennya. Kost Putri Amanda, Jalan Harmoni indah no.XX. +628123455677
Senyum Xabiru terkembang kala dirinya baru saja menerima pesan singkat yang asisten ayahnya kirimkan. Menoleh, ia kembali meraih berkas berisi data diri yang sebelumnya Jonathan beri. Melihat kembali isinya, sekaligus memandangi foto wanita tersebut dengan seksama. Kemudian, terdengar gumaman mengalun dari bibirnya.
"Giselle ... Giselle ... kamu punya keistimewaan apa sebenarnya, sampai-sampai papa jodohin aku sama kamu? Padahal, di luar sana banyak anak rekan bisnis Papa yang lebih cantik, bahkan lebih sukses. Tapi, kenapa yang kepilih macam Xena begini?"
Xabiru mengembuskan napas panjang. Tak lama berselang pria itu meringis memikirkan nasibnya sendiri yang berada di ujung tanduk. Ada rasa sesal karena tempo hari menyetujui permintaan sang ayah yang mau menjodohkan dirinya.
Sekarang, bila menolak permintaan tersebut, ia pasti akan dianggap sebagai anak yang tidak berbakti atau durhaka. Pun, walau sudah menerima keputusan sang ayah sekali pun, tetap saja jalannya masih berliku. Bayangan kalau Giselle menolak ajakannya untuk menikah, maka Biru harus mempersiapkan diri kehilangan jabatan yang selama ini begitu ia sayang.
"Ya Tuhan, kenapa cobaanmu berat sekali," gumamnya sekali lagi sambil memejamkan mata.
"Dalam hidup itu pasti banyak cobaan, Pak. Kalau sedikit namanya cobain."
Jonathan yang memang dari tadi masih berada di ruangan Biru ikut berkomentar. Sebenarnya kasihan juga melihat atasannya sampai kepusingan sekarang.
"Saya cuma nggak yakin aja seminggu bisa bawa perempuan itu ke hadapan Papa, Jo," keluh Biru kemudian.
"Percaya diri aja, Pak. Yakin kalau tantangan ini bisa Pak Biru selesaikan."
"Bukan nggak percaya diri. Tapi, lebih ke sadar diri aja. Kalau urusan beginian, saya malas berekspektasi tinggi."
"Tapi, dari pada menduga-duga, mending Pak Biru langsung temui aja perempuan itu," saran Jonathan. "Toh waktu bapak juga nggak banyak, kan?"
"Yang jadi pikiran saya dari tadi, kalau pada akhirnya memang harus kembali bertemu, apa yang harus saya katakan dengan wanita itu, Jo? Masa iya ujuk-ujuk langsung lamar terus ajak nikah. Bisa-bisa, saya kembali dihajar karena dianggap nggak sopan."
Jonathan sempat terdiam beberapa saat. Ikut berpikir keras, tindakan apa yang tepat dan harus bosnya itu lakukan agar memiliki kesan baik di pertemuannya dengan Giselle.
Lantas tak berapa lama, ia teringat cara lama yang sederhana. Dan mungkin bisa dipraktikkan atau dicoba oleh bosnya tersebut.
"Gini aja, Pak. Gimana kalau pertemuan bapak dengan nona Giselle kali ini untuk meminta maaf."
"Minta maaf?"
Kening Xabiru berkerut dalam. Berpikir, kenapa juga harus minta maaf pada wanita yang sudah bersikap kasar bahkan hampir menghajarnya.
"Buat apa?"
"Pertama, buat perilaku bapak yang nggak sengaja nabrak dan injak berkas-berkas penting milik nona Giselle. Kedua, atas sikap Pak Biru yang kurang sopan karena sudah mengatainya macam-macam saat bertemu dengan Pak Leonard di ruangannya."
"Kok jadi banyak gitu dosa saya."
"Ya emang begitu kenyataannya, Pak," sahut Jonathan dengan jujur. "Biasanya, wanita bakal terkesan kepada pria yang mau meminta maaf serta mengakui kesalahannya."
"Tapi males banget harus rendahin harga diri saya minta maaf duluan begitu."
"Dari pada bapak gagal dan kehilangan jabatan. Mending turunin ego sedikit biar nggak jadi masalah."
Xabiru terdiam lagi. Pokoknya, dari tadi pria itu terlihat kebanyakan mikir. Tapi terasa lambat sekali dalam menentukan atau mengambil keputusan. Berbeda jauh kalau di hadapkan dengan pekerjaan atau kondisi genting saat mengambil keputusan dalam menjalankan tugas sebagai pimpinan.
"Ya sudah. Kalau gitu saya temui aja dia sekarang."
"Bapak mau pergi temui nona Giselle sendiri?"
"Nggak, Jo. Saya mau bawa rombongan. Ya jelas sendiri lah. Nanti kalau rame-rame disangka mau ngajak tawuran."
Pada akhirnya Xabiru menentukan sikap sekaligus mengambil keputusan. Gegas beranjak berdiri dari kursinya, pria itu bersiap untuk keluar dari ruangan.
Maka, 30 menit berselang, dengan mengendarai mobilnya sendiri, Xabiru pada akhirnya tiba di depan pelataran kost-kostan Amanda. Walau sempat kebingungan dan nyasar dua kali, ia pada akhirnya sampai dengan selamat.
Penuh percaya diri, Xabiru melangkah keluar dari mobil. Beruntung, saat memasuki halaman rumah, ada salah satu penghuni yang juga baru datang dan hendak masuk.
Buru-buru Xabiru menghadang. Bertanya, kemudian memastikan terlebih dahulu apakah tempat yang ia kunjungi benar merupakan tempat yang selama ini Giselle diami.
"Permisi, maaf menganggu. Apa Gisella Maria Vennya benar tinggal di sini?" tanya Xabiru dengan canggung. Seumur-umur mana pernah ia mencari alamat secara langsung seperti ini. Biasanya, ia selalu membawa serta Jonathan. Tapi, karena ingin terlihat tulus, kali ini dirinya sengaja tidak membawa serta sang asisten untuk ikut.
"Giselle?"
"Iya, saya cari Giselle. Dia tinggal di sini, kan?"
Wanita berjaket pastel itu mengangguk.
"Iya benar. Giselle memang tinggal di sini. Tapi omong-omong, Anda siapa?"
"Saya temannya," seloroh Biru suka-suka. Ia bingung juga harus memperkenalkan diri sebagai siapa. "Apa boleh saya ketemu? Soalnya ada hal penting yang harus saya bicarakan sekarang juga."
Wanita itu tersenyum kemudian mengangguk. Sejurus kemudian mempersilakan sekaligus menuntun Biru untuk melangkah masuk bangunan kost-kostan menuju ruang tamu.
"Tunggu di sini sebentar. Biar saya cek dulu di kamarnya."
Wanita itu lantas meninggalkan Xabiru sendirian di ruang tamu. Sambil menunggu, ia memilih mengecek handphone beberapa saat.
Hingga lima menit setelahnya, terdengar sapaan seorang wanita dari arah belakang. Refleks menoleh, Xabiru mendapat sosok yang sedari tadi ia cari dan ingin temui.
"Xapinky!"
Kata itu yang pertama kali terlontar dan Biru dengar dengan jelas. Ia juga dapat melihat dengan jelas bagaimana wanita di depannya memasang ekspresi terkejut atas kehadirannya.
"Sorry, nama aku Xabiru bukan Xapinky, Xamerah apalagi Xaputri," ralat pria itu dalam keadaan berdiri, tepat menghadap lawan bicaranya.
Sementara Giselle sempat beberapa detik terbengong, lalu kembali tersadar kemudian berjalan menuju sofa tamu untuk kemudian duduk di sana.
"Dari mana kamu tau alamatku? Lagi pula, mau ngapain ke sini?" selidik wanita itu penuh tanya. Ia tentu keheranan sendiri mendapati sosok pria yang kemarin jelas-jelas membuat masalah dengannya.
"Dapat alamat dari mana sepertinya nggak penting. Lagi pula, kedatangan aku ke sini buat minta maaf secara langsung."
Giselle langas ikut mendudukkan dirinya di sofa. Menatap heran, lalu tak lama memasang ekspresi penuh sangsi. Kalau diingat-ingat lagi kelakuan arogan yang Xabiru tunjukkan, rasa tidak mungkin pria itu meminta maaf kepadanya.
"Aku nggak salah dengar? Kamu mau minta maaf?"
"Kalau kamu rasa telingamu bermasalah, aku bisa kok temani kamu ke dokter THT."
"Kamu pikir aku tuli?"
Dalam hati Xabiru mendesah lalu merutuk diri sendiri. Sepertinya barusan ia salah ucap sampai-sampai membuat wanita di depannya tersulut emosi.
"Bukan gitu maksudku. Kan aku cuma menawarkan bantuan aja. Lagi pula, kamu nggak salah dengar. Aku ke sini secara khusus karena emang mau minta maaf."
"Tapi dalam rangka apa? Aneh banget." Giselle terus memberondong Biru dengan banyak pertanyaan. Seolah tidak yakin dengan ucapan pria di depannya.
"Ya, karena kemarin saat di kantor, aku udah nggak sengaja injak dokumen penting punya kamu. Dan lagi, sempat ngomong sembarangan waktu ketemu Papa aku di ruangannya."
Giselle berdecak lalu memasang tampang remeh ke arah Xabiru. Jujur ia tetap sangsi. Tapi, karena pria itu sudah berinisiatif untuk minta maaf, dirinya berusaha untuk lapang dadaa menerima permohonan maaf tersebut.
"Ok. Karena niat kamu baik, aku maafin semua yang terjadi kemarin."
Xabiru mengangguk, lalu tersenyum.
"Makasih karena udah di maafin. Di kemudian hari, aku nggak bakal gitu lagi."
"Ok," sahut Giselle segera. "Terus ada yang mau kamu sampaikan lagi? Kalau nggak, aku mau lanjut kerjain tugas."
Xabiru mendadak gagu. Pertanyaan ini yang sedari tadi ia antisipasi. Tidak mungkin kan baru saja bertemu dan mendapat maaf, tahu-tahu ia mengutarakan maksud untuk mengajak Giselle untuk menikah.
"I-itu ... A-anu ... "
"Itu anu, apaan?" tanya Giselle penasaran. Melihat gelagat Biru yang aneh, ia jadi bertanya-tanya.
"Sebenarnya, aku ke sini mau minta maaf sekaligus mau undang kamu untuk makan malam."
"Makan malam? Kamu mau ajak aku makan malam bareng?" tanya Giselle memastikan.
"Iya."
Giselle menatap bingung. Tersenyum tipis wanita itu menanggapi ajakan yang baru saja diutarakan pria di depannya.
"Terima kasih banyak. Aku hargai ajakan kamu. Tapi, maaf banget. Aku nggak bisa."
Biru langsung medongak. Pria itu melempar tatapan penuh tanya.
"Kenapa? Kamu sibuk?"
Giselle menggeleng.
"Aku nggak biasa pergi atau ketemuan sama orang yang baru dikenal. Nanti yang ada malah diculik." Giselle sengaja menolak. Ia memang tidak terbiasa pergi dengan orang yang baru saja dikenal. Apalagi ini laki-laki.
Sementara biru hanya bisa mendesah. Susah payah mencari cara untuk membujuk wanita di depannya.
"Ganteng-ganteng gini kamu anggap aku penculik?"
"Mana aku tau. Kita kan nggak saling kenal."
"Ya udah, kalau gitu kita kenalan dulu aja," ajak biru dengan santai.
"Nggak gitu juga konsepnya. Pokoknya aku nggak bisa terima ajakan kamu. Untuk persoalan maaf, kamu nggak usah khawatir. Aku udah maafin kok. Kalau nggak ada lagi yang pengen dibicarain, mending kamu balik aja. Aku lagi banyak kerjaan soalnya."
Biru lantas meringis. Ucapan Giselle barusan syarat makna seperti orang yang mengusir secara halus. Gegas berdiri, ia pun akhirnya berpamitan.
Bisa dikatakan rencana untuk mengajak Giselle makan malam gagal total. Ia harus cari cara lain agar dapat mengutarakan maksudnya walau terdengar tidak masuk akal.
***
Xabiru berjalan tanpa minat kala pagi ini dirinya menyusuri koridor gedung Alexis. Begitu sampai di ruangan, ia langsung mendudukkan dirinya di kursi kerja. Menatap lurus ke luar jendela. Memerhatikan langit lagi yang tampak cerah pagi ini.
Baru beberapa menit menikmati kesunyian, dari arah pintu muncul Leonard. Pria itu berjalan lurus, kemudian menarik kursi yang letaknya tepat di depan Xabiru.
"Gimana perkembangan tugas yang papa berikan sama kamu? Sudah ada hasil?"
Xabiru menghela napas panjang. Ia tahu kalau sang ayah saat ini tengah menyinggung persoalan tugas menakhlukkan hati Giselle untuk menerima ajakannya menikah.
"Pa, bisa nggak kasih calon istrinya yang lain aja? Atau papa sediakan aja calon istri yang sudah siap untuk diajak menikah?"
Leonard terkekeh pelan. Dari awal ia tahu pasti putranya ini akan mengeluh atau kesulitan.
"Kenapa? Kamu belum apa-apa udah nyerah."
"Gimana nggak nyerah. Nggak gampang ngajak perempuan yang baru dikenal untuk menikah. Mana tenggang waktunya cuma seminggu. Kalau gini, ya udah nggak apa-apa Biru kehilangan jabatan."
Xabiru mendesah pasrah. Ia yang memang sebelumnya tidak memiliki banyak pengalaman dalam menaklukkan hati wanita, mengakui kekurangannya ini. Sikapnya yang terlalu dingin dan sedikit pemilih membuat orang-orang sekitar juga menganggapnya sebagai sosok yang sulit untuk tersentuh serta ditakhlukkan.
"Memangnya sejauh ini kamu udah lakuin usaha apa?" tanya Leonard ingin tahu.
"Biru udah samperin dia langsung ke tempat tinggalnya. Udah bela-belain minta maaf. Bahkan udah jatuhin harga diri buat ajak makan malam."
"Terus, perempuan itu terima ajakan kamu?"
"Boro-boro terima ajakan nikah ya, Pa. Diajakin makan malam aja, Biru ditolak mentah-mentah."
Leonard bukannya iba malah menertawakan apa yang putranya ceritakan. Belum lagi melihat ekspresi yang Xabiru tunjukkan membuatnya semakin geli.
"Kamu itu emang payah!"
"Ya makanya, Biru nyerah aja."
Leonard berdecak, pria itu lantas menegakkan tubuh, bersiap untuk mengatakan sesuatu.
"Gini aja, Papa bakal bantu kamu buat dekatin perempuan itu. Tapi, bantuan ini hanya sekali aja bisa papa berikan. Sisanya, kamu usaha sendiri."
Xabiru menatap lekat ke arah sang ayah. Memerhatikan dengan seksama, lalu memberi tanggapan atas tawaran yang diberikan.
"Memang Papa mau kasih bantuan gimana?"
Leonard menyeringai. Melipat tangannya di depan dadaa, pria itu tersenyum penuh arti. Seolah-olah dirinya punya jalan keluar yang saat ini dibutuhkan oleh sang putra.
"Nanti kamu juga bakal tau sendiri. Sekarang, mending persiapkan aja diri kamu sebaik mungkin."