Giselle menatap beberapa saat ponselnya yang sedang berdering. Memicingkan mata, sekaligus menebak-nebak, siapa sekiranya yang sedang menghubunginya saat ini.
Giselle yakin, ia tidak mengenal nomor asing itu. Biasanya, Giselle juga selalu mengabaikan nomor-nomor tidak dikenal yang kerap kali menghubungi. Bisa saja dari petugas asuransi, petugas kartu kredit, jasa pinjaman online, atau mungkin juga jasa peminjaman pacar sementara #eh.
Namun, kali ini entah kenapa rasanya berbeda. Nomor tersebut terus saja menghubungi tanpa henti. Ingin di reject macam lagu Zaneta Zaneth, takutnya saja memang penting. Jadilah Giselle dilema sendiri.
"Gi, angkat. Itu telpon udah berdering dari tadi. Kenapa malah dianggurin?" tegur Chelsea sembari menatap aneh ke arah sang sahabat yang kini duduk memandangi ponselnya. Saat ini, mereka berdua memang sedang berada di perpustakaan kampus Universitas Pelita Hati.
"Nggak kenal nomornya, Chel. Takutnya tukang kredit. Atau mas-mas Asuransi. Males banget."
"Tapi itu telponnya udah berulang kali, lo. Siapa tau penting. Mana tau kamu menang undian. Dapat doorprize cowok cakep kaya raya, atau undangan jadi bintang tamu live tiktok."
"Ihh, apaan."
Giselle berdecak sambil menatap aneh gadis berambut auburn di sebelahnya. Membulatkan tekad, sembari berpikir lama, pada akhirnya ia memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. Siapa tahu saja memang panggilan tersebut penting seperti apa yang Chelsea katakan. Begitu menyahut, Giselle mendengar jelas suara berat khas pria dewasa di seberang sana.
"Halo, selamat pagi?"
"Selamat Pagi, Giselle."
"Ya, selamat pagi. Ini dengan siapa, ya? Dan ada perlu apa?"
"Saya Leonard Massen. Apa saya menganggu kegiatan kamu?"
Giselle saat itu juga langsung terperanjat. Lebih dari itu, ia sampai membulatkan mata demi mendengar nama Leonard Massen dari seberang sana.
Ini serius idolanya yang secara langsung menghubungi? Ia tidak sedang bermimpi, kan?
"Pak Leonard," sahut Giselle tergugu. "M-maaf ... saya nggak tau. Jadi, tadi nggak langsung angkat telponnya."
"Nggak masalah, Giselle. Santai aja."
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya gadis itu kemudian.
"Sebenarnya, saya mau undang kamu untuk makan malam bersama sebagai bentuk terima kasih secara resmi atas bantuan yang tempo hari kamu berikan."
"Ya ampun. Kan itu sudah lewat, Pak. Lagi pula, saya cuma melakukan apa yang sudah seharusnya dilakukan."
Tawa kecil terdengar di seberang sana,
"Kalau begitu, izinkan saya mengajak kamu makan bersama sebagai ucapan terima kasih. Saya sudah hutang budi sama kamu."
"T-tapi ---"
"Sebentar saja. Nanti, asisten saya akan kirim pesan ke kamu di restoran mana kita ketemu nanti malam," potong Leonard. Yang mana penjelasannya itu terdengar seperti perintah yang tidak boleh di bantah.
Giselle pun pada akhirnya menyerah. Menyetujui tawaran yang baru saja idolanya itu sampaikan. Pikirnya, tak apalah kalau malam ini dirinya menerima ajakan tersebut.
"Baik, Pak. Kalau begitu, nanti malam saya akan datang."
"Kalau begitu, sampai ketemu nanti malam, Giselle."
Mengakhiri panggilan, Chelsea terlihat langsung mendekat. Dari raut wajahnya saja, ia tahu kalau sahabatnya itu tampak penasaran kepadanya.
"Apaan sih liat-liat begitu?" tegur Giselle sedikit risih.
"Siapa yang telpon? Tim bedah rumah?"
"Bukan!"
"Oh, atau panitia Putri Indonesia?"
"Apaan, sih, Chel. Jayus banget."
Giselle sudah terbiasa dengan sikap absurd Chelsea yang memang rada-rada. Kadang rada nyebelin, kadang rada lemot, kadang-kadang juga rada nggak jelas kalau sudah lupa minum obat. Ya, seperti sekarang ini.
"Ya makanya aku tanya yang telpon siapa?"
"Barusan yang telpon Pak Leonard," sahut Giselle dengan santai.
Sementara itu, Chelsea terperanjat. Kedua belah alis mata gadis itu langsung bertaut.
"Pak Leonard? Leonard Massen, maksudmu?"
Giselle mengangguk.
"Iya, siapa lagi."
"Ngapain dia telpon? Dalam rangka apa?"
"Ngajak makan malam."
Giselle tanpa beban menyahut begitu saja. Mana perduli padahal Chelsea di sebelahnya tampak begitu kepo seperti biasa.
"Serius?"
Sekali lagi Giselle mengangguk-anggukkan kepala. Gayanya udah mirip boneka mainan yang sering di taruh di dashboard mobil. "Serius. Dia telpon buat undang makan malam."
Kali ini mata Chelsea langsung memicing. Heran saja kenapa tiba-tiba orang penting sekelas Leonard mengajak Giselle makan malam. Apakah ada maksud dan tujuan tertentu?
"Kok kedengarannya aneh? Jangan bilang kamu mau dijadikan kandidat calon istri Pak Leonard yang baru."
Detik itu juga Giselle langsung menoleh. Membawa tangannya, kemudian 'menoyor' kepala Chelsea dengan sengaja. Itu mulut sama otak kenapa suka mikir dan ngomong sembarangan coba!
"Ngaco! Jangan ngomong sembarangan. Nanti didengar orang lain di sangkanya beneran."
"Lah? Kan Pak Leonard udah lama menduda. Ya siapa tau aja dia emang cari kandidat dari kalangan daun muda."
"Masalahnya dia ngundang makan malam itu sebagai bentuk terima kasih karena tempo hari aku udah selamatkan nyawa dia. Bukannya mau ngajak pedekate. Jangan gila, ih!"
"Tapi, kalau beneran mau dijadikan istri, juga nggak apa-apa, kali, Gi. Kan dia idolamu."
Giselle langsung melotot saat itu juga. Kenapa juga sih mesti punya teman gila macam Chelsea.
"Iya, aku emang idolakan dia. Tapi, bukan berarti niat mau jadikan suami. Udah, ah. Males ngomong sama kamu. Nggak pernah jelas dan ada ujungnya."
***
Xabiru melirik Tag Heuer hitam yang melingkar di tangannya. Di waktu yang bersamaan dari arah pintu ruangan, muncul Jonathan, sang asisten yang masuk membawa berita.
"Udah jam lima sore, Pak. Mending siap-siap pulang. Malam ini ada janji temu untuk makan malam bersama Pak Leonard. Sepertinya ada hal penting yang mau beliau bicarakan."
Xabiru mendesah panjang. Padahal malam ini jadwal rutin dirinya nongkrong dengan teman-teman. Tapi, dipastikan batal karena harus dan wajib menemui sang ayah.
"Jadi, restoran mana malam ini yang harus aku datangi, Jo?" tanyanya sambil melonggarkan dasi yang membelit lehernya.
"Restoran Cordinat. Jam tujuh malam, Pak. Itu sebabnya, mending Pak Biru buruan pulang dan siap-siap. Kan bapak tau sendiri, Pak Leonard nggak suka orang yang telat."
Xabiru mengangguk paham. Ia pun menuruti saran yang Jonathan sampaikan barusan.
Sementara itu, di tempat berbeda, Giselle nampak sibuk mempersiapkan diri. Memastikan penampilannya sudah sangat pas, ia pun memutuskan untuk segera pergi menuju tempat di mana ia dan Leonard Massen nantinya bertemu.
Menggunakan taksi online, Giselle pun sampai di tempat tujuan tepat pukul tujuh. Memasuki restoran, ia pun langsung dipersilakan dan diarahkan oleh pelayan untuk segera menemui Leonard yang ternyata sudah lebih dulu sampai dari dirinya.
"Permisi Pak Leonard," tegur Giselle saat dirinya sudah sampai di meja, tempat di mana Leonard tengah duduk menunggu.
"Giselle, selamat malam," sapa Leonard sembari melempar senyum. Dengan ramah pria paruh baya itu mempersilakan tamunya untuk segera duduk di kursi yang tersedia.
"Maaf kalau saya telat, Pak."
Leonard tersenyum. Ia dapat melihat jelas bagaimana Giselle memasang tampang tidak enak kepadanya.
"Nggak masalah. Kamu nggak telat. Saya aja yang datangnya memang lebih cepat."
Di waktu yang bersamaan, dari arah belakang muncul sosok lain. Melangkah mendekat, kemudian menegur dan ikut bergabung di sana.
"Maaf Pa, Biru agak telat."
Leonard menoleh, sementara Giselle nampak terkesiap. Mungkin tidak menyangka lagi-lagi harus bertemu dengan sosok Xabiru yang ternyata ikut serta dalam acara dinner malam ini.
Xabiru sendiri tadinya berpikir ini hanya acara makan malam biasa seperti yang sudah-sudah. Tapi, setelah melihat ada sosok Giselle di sana, ia jadi paham kalau momen ini sengaja ayahnya rancang agar ia bisa melakukan pendekatan setelahnya.
"It's, ok. Papa dan Giselle juga sama-sama baru sampai. Jadi, kamu langsung gabung aja."
Xabiru lantas sengaja mengambil posisi duduk tepat di sebelah Giselle. Beberapa menit pertama, ketiganya nampak terlibat perbincangan ringan. Begitu makanan yang dipesan sudah terhidang, sama-sama ketiganya menikmati sambil mendengarkan Leonard bercerita.
"Giselle, sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak atas bantuan yang sudah kamu berikan kepada saya tempo hari. Di kemudian hari, jangan pernah sungkan kalau kamu butuh bantuan saya. Anggap saja sebagai balas budi."
Giselle yang sudah menyelesaikan kegiatan makannya lantas mengangguk. Kalau saja ia punya tabiat tidak tahu diri macam Chelsea, ingin rasanya ia menyampaikan keinginannya pada Leonard soal ketertarikannya untuk bergabung dan bekerja di Alexis. Tapi, alih-alih menyampaikan keinginan itu dan karena punya rasa malu juga, Giselle lebih memilih mengangguk dan menyahut dengan jawaban yang terdengar diplomatis.
"Terima kasih banyak, Pak Leonard. Sekali lagi, saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Saya ucapkan banyak terima kasih juga atas undangan makan malamnya. Jujur, saya sangat tersanjung."
"Kalau begitu, sampai di sini dulu pertemuan kita malam ini," sahut Leonard kemudian. "Saya harap di kemudian waktu, kita bisa berjumpa lagi dalam kesempatan yang berbeda."
Leonard lantas bangkit dari duduknya, pria itu mengajak Giselle untuk berjabat tangan sebelum meninggalkan restoran.
"Sampai jumpa di lain waktu. Nanti pulangnya biar Xabiru yang antar dan pastikan kamu sampai dengan selamat di tempat tujuan."
Giselle kemudian terperanjat. Dirinya langsung merasa tidak enak karena harus diantar pria yang sempat dua kali terlibat perseteruan dengannya.
"Saya bisa pulang sendiri, Pak. Nggak usah repot-repot."
"Tenang," sahut Xabiru yang berada di sebelah Giselle. Merasa ini momen yang tepat, ia pun mengambil alih perbincangan. "Aku nggak repot, kok kalau cuma antar kamu pulang." Lalu pandangan pria itu beralih pada sang ayah yang ada di depannya. "Setelah ini, Biru bakal langsung antar tamu Papa dengan selamat sampai ke tempat tujuan."
Xabiru tahu dan sadar momen ini sengaja diatur sang ayah agar dirinya bisa mendekati sosok Giselle. Itu sebabnya, kali ini dirinya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberi. Walaupun ia sendiri masih bingung harus berbuat dan bertindak seperti apa setelah ini.
Sementara itu, Giselle tampak mati kutu. Mau menolak, tapi rasa-rasanya percuma. Maka tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain pasrah dan menerima saja tawaran yang Leonard beri untuk diantar pulang oleh sang putra. Berharap saat dijalan pulang nanti, Xabiru tidak membuat ulah yang dapat membuatnya emosi, hingga harus mengeluarkan jurus taekwondo seperti sebelumnya.