“Baiklah, kalau kamu menemui Profesor Ethan, aku akan pulang dulu! Nanti kita bicara lagi saat aku mengantarmu ke bandara.” Zul berpamitan dan melambaikan tangan pada istrinya.
Sementara Shina begitu bersemangat untuk menemui Profesor Ethan. Walau dia sendiri tidak yakin, apakah sang profesor akan setuju dengan permintaannya atau tidak. Tapi jika sudah ke sekian kali sang om meminta dan si profesor menolak, maka hasilnya tak akan beda jika Shina yang memintanya.
“Hati-hati di jalan!” ujar Zul lagi.
“Iya!” Sambil bersiap, Shina melihat ada sebuah gantungan kunci berwarna biru yang jatuh di atas lantai.
Dengan segera perempuan itu mengambil gantungan kunci tersebut dan mengejar Zul. “Zul! Zul!”
“Kenapa?” Pria itu urung membuka pintu. Dia membetulkan sepatu.
“Ini milikmu?”
“Ah, iya!” Zul mengambil gantungan kunci berwarna biru dengan gambar ombak tersebut. “Ini gantungan yang ada di kunci kamar kontrakanku! Kok bisa lepas, ya?” ujar pria itu sambil memasang si gantungan kembali pada kunci.
“Terima kasih, Sayang!” ucap Zul dengan senyum lebar.
Shina hanya mengangguk, dia menutup pintu kembali begitu Zul keluar. Tanpa ia sadari jika pipinya memerah.
Perempuan itu berjalan keluar dari apartemennya untuk menemui sang profesor.
“Coffee n Couple cafe!” Shina melihat alamat yang ditunjukkan oleh peta digital. Tempatnya bisa dijangkau dengan jalan kaki karena tak terlalu jauh dari apartemennya.
Shina melihat-lihat dari luar. Suara musik klasik terdengar dari dalam kafe begitu dia masuk. Udara sejuk dari AC langsung berembus dan obrolan samar-samar terdengar saat dia melangkahkan kaki.
“Sepertinya Profesor Ethan belum datang!” ujar Shina memilih kursi kosong.
Dia lihat sekeliling, ada beberapa orang yang sendiri sedang menatap laptop mereka atau membaca buku. Ada pula orang-orang yang datang dengan pasangan mereka.
“Ah, dari judulnya saja coffee and couple! Pasti yang berdatangan juga kebanyakan para orang berpasangan. I see,” gumam Shina seorang diri.
Dia memang sengaja datang lebih awal, setidaknya agar sang profesor tidak perlu menunggu. Shina memperhatikan ponselnya sampai ada seseorang yang mengetuk mejanya.
“Latte hangat?” Seseorang dengan masker dan topi yang serba hitam menyodorkan gelas kopi yang dibeli dari kafe.
“Ah, iya terima kasih!” jawab Shina.
Pria yang memberinya kopi itu langsung duduk di hadapannya. Shina pun baru menyadarinya. “Ah, Anda Profesor Ethan? Maaf, saya kurang peka.”
Padahal Shina sudah tahu, ciri khas sang profesor adalah dengan mengenakan masker dan juga topi hitamnya. Tapi dia malah kurang sadar ketika orang dengan ciri-ciri seperti itu datang.
“Te ... terima kasih kopinya, Profesor!” jawab Shina dengan kikuk. Dia datang ke kafe dan tidak pesan apa-apa. Dia jadi malu karena sang profesor malah memesankan kopi untuk dirinya.
“Apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya sang profesor sambil menyeruput Ice Americano.
Shina bingung. Dia memegangi gelas kopi latte hangatnya. Dia sebenarnya sudah tahu jawaban sang profesor seperti apa, jadi dia tak berani mengungkapkan rencananya.
“Apa Yayasan Sehat Sejahtera yang mengirimmu?” tebak sang profesor yang langsung tepat sasaran.
“Jadi profesor sudah tahu?” Shina terkejut.
“Tentu, aku kenal dengan mendiang ayahmu! Siapa yang tidak tahu pewaris tunggal rumah sakit Sehat Sejahtera yang malah kabur meninggalkan warisannya agar dikuasai oleh orang lain!” jawab sang profesor yang terdengar sarkasme.
Shina diam saja. Ini artinya, semua tidak akan berjalan seperti yang ia rencanakan. Sudah jelas sang profesor pasti akan menolak untuk bergabung dengan Rumah Sakitnya.
“Kalau Profesor sudah tahu, kenapa profesor tidak mau bergabung dengan rumah sakit yang didirikan oleh mendiang ayahku? Mungkin aku bisa belajar banyak dengan profesor!” tutur Shina.
“Aku adalah ahli manajemen rumah sakit yang juga mendalami spesialis ortopedi. Sangat berbeda dengan jurusan yang kautekuni. Jadi kau mau belajar apa dariku?”
“Emmm ....” Shina tak bisa menjawab.
“Aku dulu memang sudah berkenan untuk bergabung dengan rumah sakit ayahmu. Tapi jika yang mengurus berganti, aku lebih memilih mundur! Aku tidak suka bekerja disetir oleh konglomerat seperti pamanmu begitu!”
Shina masih tak bisa menjawab. Apa yang dilontarkan oleh sang profesor, tidak jauh dari prediksi.
Karena Shina terdiam, sang profesor menyeruput lagi kopinya. “Kau tidak ingin mendirikan klinikmu sendiri?” tawar profesor Ethan.
Shina terperanjat. Dia menatap pada sang profesor yang hanya bisa dilihat bagian matanya saja.
Perempuan itu pun menggeleng. “Tidak, Prof!”
“Aku berencana mendirikan klinik spesialis! Jika kau berkenan, aku ingin kau menjadi bagian dari klinik yang kudirikan nanti! Biar dalam klinikku, juga terdapat klinik spesialis kecantikan.”
Kali ini Shina semakin tercengang. “Profesor menawari kerja sama denganku?” tanya Shina tak percaya.
Sang profesor mengangguk dengan yakin. “Ya, alih-alih bergabung dengan Rumah Sakit Sehat Sejahtera, aku ingin kau dan aku bekerja sama dalam klinik yang kita dirikan sendiri. Bagaimana?”
Tawaran dari sang profesor cukup membuat hati Shina bimbang. Ini akan menjadi topik pembicaraan jika dia gagal mengajak profesor bergabung dengan rumah sakit keluarga, tapi dirinya malah bergabung dengan rumah sakit lain.
“Selama bekerja di klinik kecantikan yang aku dirikan, kau bisa mempelajari bagaimana cara mengelola sebuah pusat kesehatan. Selama belajar itu, kau juga bisa mempersiapkan diri untuk mengambil alih rumah sakit Sehat Sejahtera yang ditinggalkan oleh mendiang ayahmu!”
Lagi-lagi, ucapan profesor Ethan seakan menyuruhnya untuk menguasai kembali rumah sakitnya. Tapi Shina masih belum bisa memberi keputusan.
“Aku sedang ada acara lain! Jadi aku tunggu keputusanmu Sabtu nanti. Kita bertemu di tempat ini lagi!” Sang profesor langsung berdiri dan meninggalkan Shina yang terpaku.
Dalam benaknya, Shina sedikit bimbang. Di satu sisi dia ingin memiliki klinik sendiri apalagi dibimbing oleh Profesor Ethan. Tapi di sisi lain, dia tak ingin kembali ke Indonesia apalagi untuk bertemu dengan keluarganya.
Perempuan itu pun ikut berdiri dan berniat untuk keluar, tapi dirinya malah melihat sebuah kunci dengan gantungan berwarna ombak biru tertinggal di kursi bekas sang profesor.
“Gantungan ini?”
Dengan segera Shina mengambilnya lalu berlari untuk mencari sang profesor.
“Profesor! Profesor!” Shina mengejar yang untungnya orang tersebut belum terlalu jauh.
“Ada apa?”
“Ini, milikmu bukan?”
Sang profesor langsung merapatkan topi seperti orang kikuk saat Shina menunjukkan gantungan kunci tersebut. “Iya, terima kasih!”
“Sama-sama.”
Shina menatap sang profesor yang pergi sambil membawa kunci tersebut. Perempuan itu pun berpikir akan sesuatu yang terasa janggal. “Ah, yang punya gantungan ombak biru bukan satu orang saja!”
**
Di sebuah pedesaan yang terletak di atas pegunungan dengan jarak sekitar dua jam dari Jakarta. Seorang perempuan dengan usia menjelang senja tinggal seorang diri.
Tapi malam ini, cukup istimewa baginya karena sang anak sulung telah berjanji untuk menemui dirinya kemari.
“Mama, aku datang!” Benar saja, yang dia rindukan pun akhirnya datang.
“Sayang! Kau pasti lelah, mama sudah menyiapkan makanan kesukaanmu!”
“Terima kasih, Ma! Bagaimana kondisi kesehatan mama? Apa mama baik-baik saja?”
“Ethan, kamu istirahat dulu saja sana! Mama sudah pasti baik-baik saja! Kalau ada yang sakit, pasti mama akan katakan padamu. Anak mama, kan, seorang dokter!” ujar perempuan berambut panjang dengan kulit yang tidak keriput seperti wanita seusianya.
“Mama besok akan datang ke markas utama tempat papa berada?”
Perempuan itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia menatap sendu pada Ethan seakan ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia enggan.
“Aku tidak akan datang jika mama tidak datang!” ujar Ethan.
“Datanglah ke sana anakku! Mama tidak bisa bukan berarti tidak ingin! Jantung mama tidak sekuat dulu untuk mendengar suara ledakan pistol atau melihat para anak buah papamu yang sedang berlatih tarung!”
Ethan menggelengkan kepala, dia tahu alasan sang mama tak ingin menemui papanya bukan itu.
Papa dari Ethan adalah seorang tetua dari sebuah geng mafia ternama di Asia, ‘Killer Wolf’. Sebuah skandal terjadi yang membuat papa dan mama Ethan terpisah ketika anak itu berusia 12 tahun. Ethan memilih untuk ikut ibunya, sementara sang adik yang saat itu berusia 6 tahun, ikut dengan papanya.
Kehidupan Ethan tak lagi bergelimang harta, mereka berdua sangat sederhana dan hidup seadanya. Akan tetapi, Ethan telah dididik untuk menjadi seorang mafia. Dia sangat cerdas dan memiliki jiwa kepemimpinan. Dia pandai segala jenis bela diri bahkan bisa menguasai beberapa senjata.
Di usia 15 tahun, Ethan dipercaya oleh banyak orang untuk membantu penyembuhan melalui teknik akupunktur yang ia pelajari dari kakek buyutnya saat ia masih tinggal di markas mafia.
Hidup Ethan dan ibunya semakin lancar, karena anak muda itu rajin bekerja.
Hingga sekarang, sang papa menginginkan Ethan untuk memimpin kelompoknya!
“Papamu sekarang sangat membutuhkanmu, Ethan! Tidakkah sekarang sudah waktunya kau balas budi kepadanya?” ujar sang mama yang mencoba meredam amarah anaknya.
“Ma, dulu aku hanyalah seorang Ethan! Tapi sekarang, mama menambahkan kata ‘Zulius’ di depan namaku agar aku menjadi pribadi yang baru! Aku bukanlah Ethan yang hidup di tengah pembantaian manusia lagi! Aku bukan Ethan yang hidup di tengah lumuran darah manusia lagi! Dengan nama Zulius Ethan, mama mengajakku menjauh dari kehidupan papa dalam lembah hitam.”
“Justru itu, Nak! Kembalilah pada papa! Agar papamu tidak semakin tersesat! Begitu pula adikmu, dia membutuhkan kamu!”