Bab 3

1147 Kata
"Wa’alaikumsalam Res, kamu bertengkar lagi sama Bu Minah?” Ah, rupanya si pengadu itu kembali mencari perhatian suamiku. Apalagi yang dia bilang hingga Mas Indra langsung menelponku meski sibuk dijam kerja. Aku menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaannya yang pastinya berbuntut panjang. “Mas, nelpon cuma buat nanyain ini? Pasti si pengadu itu yang memberitahumu, dasar cewek caper.” “Res, orang ‘kan punya nama, nggak baik manggil orang dengan sebutan kayak gitu. Kamu kenapa sih, selalu ribut sama Bu Minah, Res, malulah sama tetangga yang lain, bisa nggak lebih menahan diri dan nggak usah diladeni.” Mas Indra memang terlalu lembut hatinya, mungkin jika Bu Minah berteriak di depan mukanya pun dia tidak akan melawan. “Udah deh, Mas nggak usah bahas itu lagi. Lagian udah selesai juga berantemnya, kalau mau nelpon, tadi waktu dia melempar uang ke mukaku.” Aku cemberut, selalu saja terkena kultum setiap habis bertengkar dengan Bu Minah. “Hah, dia berbuat seperti itu, Res?” Kekagetan Mas Indra terdengar jelas. “Entar pulang aku ceritain, Mas kerja aja jangan dengerin ocehan orang  terus. Lain kali jangan tanggepi WA-nya si Lela mulu, Mas. Udah tau dia dulu naksir sama kamu, masih saja diladeni kalau dia mengadu apa-apa.” Giliran aku yang komplen pada Mas Indra. Kudengar dia menarik napas panjang. “Gimanapun dia ‘kan sepupu kita Res, dia cuma khawatir kalau kamu kenapa-kenapa makanya ngasih tau aku.” Kudengar Mas Indra mencoba menjelaskan. “Istri dari sepupu kamu, Mas, bukan sepupu kita. Mas Indra nggak peka aja dimodusin mulu ama si Lela. Dah dulu ah, aku banyak kerjaan. Oh, iya, nanti pulang mampir ke toko mainan ya, Mas. Beliin pasir warna lagi buat Dinda.” Aku mematikan telepon, males mendengar ceramah Mas Indra berikutnya. Dia selalu saja berada pada pihak Bu Minah setiap kali kejadian apapun karena mendengar tajuk berita yang berat sebelah. Andai Mas Indra tahu seperti apa kejadian pagi tadi, aku yakin dia pasti akan mendukungku. “Cih, males banget harus mengalah sama orang yang tidak waras, tidak punya etika, haus pujian,” batinku. Mataku kembali fokus pada layar. [Bu Rere, terlampir perkembangan project untuk rumah kost elit mahasiswa di Jogja.] Sebuah pesan email dari kantor cabang yang baru buka di Jogja. [Terimakasih Pak Dimas. Saya akan segera mengeceknya.] Aku segera membalas email untuknya. [Dear Bu Rere, ada beberapa pelanggan baru dari perusahaan Jepang dan Amerika yang hendak menyewa apartement condominium yang terletak didekat kawasan industri Greenland, tetapi minta pengurangan harga di luar standard. Terlampir tabulasi perbandingan, selisih harga untuk satu tahun. Mohon advisenya.] Email kedua ini dari Pak Dermawan. Aku menatap deretan tulisan yang terpampang pada layar laptopku. Apa iya, aku akan tega meminta ayah memecat Pak Dermawan yang sudah bekerja dengan totalitas hanya karena makhluk tidak tahu diri itu? Pikiranku teringat cerita ayah, bagaimana pertama kali sampai bisa memilih Pak Dermawan untuk menjadi manager kantor cabang. Beberapa tahun yang lalu manager kantor cabang yang di semarang resign dan ayah sangat kelimpungan. *** “Ayah, kenapa?” Aku bertanya ketika beliau baru saja pulang ke rumah. Melihat wajahnya yang kusut aku yakin ada sesuatu hal yang tidak beres. “Haryadi mengundurkan diri.” Ayah terlihat lemas mendapati kenyataan manager kepercayaannya memilih untuk meninggalkannya. “Ya, cari saja kandidat lain, Yah.” Aku yang waktu itu masih duduk dikelas dua sekolah menengah menganggap semuanya enteng. Ayah mengusap pucuk kepalaku. “Tidak semudah itu mendapatkan orang yang bisa kita percaya seutuhnya, Nduk. Namun ayah sedikit merasa tenang, melihat kinerja Dermawan—staffnya Haryadi, dia terlihat sigap dan cekatan,” ucap Ayahku sambil tersenyum, pandangannya terlempar ke celah jendela yang terbuka. “Oh, ya, baguslah.” Aku pun tidak tertarik membahasnya. “Tapi dia masih terlalu muda, baru saja satu tahun lalu lulus S1 di UNES. Dan baru enam bulan bekerja sebagai staffnya Haryadi.” Ayah kembali menimbang mengingat kematangan usia calon karyawan pilihannya. “Ya, udah sih, Yah ... daripada pusing coba saja dulu.” Aku memberikan solusi sekenanya. “Mungkin ayah akan mencobanya, ayah dengar dia baru saja menikah dua bulan lalu, mungkin akan menjadi pertimbangannya untuk bekerja dengan serius.” Ayah mengeluarkan sebuah CV dan menunjukkan padaku seperti apa prestasi Pak Dermawan semasa kuliahnya. Aku hanya mengangguk-angguk setuju agar keluhan ayah segera selesai. *** Sejak saat itulah Pak Dermawan menunjukkan kinerja yang baik dan terus meningkat. Aku mendengar ayah memindahkannya ke kota Bekasi ketika melihat peluang bisnis apartement untuk orang asing di sekitar kawasan industri. Karena kinerja Pak Dermawan yang bagus, akhirnya dia yang terpilih dari semua kandidat manager kantor cabang. Termasuk akhirnya mengelola sebuah panti asuhan yang kurintis sewaktu kuliah bersama team pecinta yatim. Pastinya dukungan modal sepenuhnya dari ayah dan beberapa donatur lain yang berhasil kami kumpulkan. Waktu itu aku menempatkan Pak Sudibyo sebagai pengelola, sebelum akhirnya ayah menggantinya dengan Pak Dermawan. Dari komunitas pecinta yatim itulah, aku bertemu dengan Mas Indra sebagai salah satu anggota himpunan dari Bekasi. Pada waktu Pak Dermawan dipindahkan aku pun tidak peduli. Waktu itu aku baru saja meresmikan pernikahan dengan Mas Indra setelah menyelesaikan kuliah S1-ku di Universitas Indonesia. Hingga saatnya kedatangan seorang tetangga baru yang sudah mengubah hari-hariku selama enam bulan terakhir ini. Sebelumnya aku tidak tahu jika tetangga baruku itu adalah karyawan ayah, namun kesombongan Bu Haminah yang selalu menceritakan kehebatan suaminya yang bekerja sebagai manager condominium milik Hartawan grup dan pengelola panti asuhan cinta kasih, membuatku menyadari jika memang Pak Dermawan ini adalah orang yang sama yang sering berkomunikasi via email denganku. Tring Tring Tring Notifikasi pesan masuk pada gawaiku yang tergeletak di samping laptop. @Hana [Mak Emak komplek, apakah akhir minggu ini kita jadi kumpul bersama untuk makan-makan?] @Bu RT [Sepertinya diundur Mbak Hana, ada penyuluhan buat ibu-ibu PKK, jadi banyak yang pastinya nggak bisa ikut.] @Hana [Yaaahhh ....] Emoticon kecewa. @Bu Nani [Iya, alhamdulilah Bu RT kalau diundur, saya belum punya uang untuk urunannya.] Bu Nani memang termasuk warga yang paling susah di komplek ini. Semenjak suaminanya terkena struk dan meninggal, kondisi ekonominya paling terkatung-katung. @Bu Indah [Yah, nggak jadi Jeng @Haminah @Susi ... kita berburu perhiasan model terbaru saja, yuck!] Tema percakapan mulai berubah. @Susi [Okey, udah bosen juga sama perhiasan yang lama, kuno.] @Haminah [Sssttt ... jangan bahas di sini, kasian yang suaminya cuma staff biasa, nggak punya uang lebih, pastinya nanti ngiler membayangkan hunting perhiasan mewah.] Ditambah emoticon tertawa. @Indah [Siapa jeng @Haminah] @Haminah [Ada kok Jeng orangnya di sini, sedang online juga cuma nggak berani nimbrung sepertinya.] Ketawa meledek dan sok keren. Notifikasi chat dalam grup ibu-ibu kece cluster A masih beruntun dari ibu-ibu yang lain. Aku menarik napas panjang, sedang menimbang pesan balasan seperti apa untuk mematikan obrolan mereka. Geng BPJS di cluster ini memang selalu membuat huru-hara. Ya, aku menyebut Bu Haminah dan dua orang temannya itu Geng BPJS yang artinya Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN