Bab 4

1224 Kata
Notifikasi chat masih beruntun dari ibu-ibu yang lain. Aku menarik nafas panjang, sedang menimbang pesan balasan seperti apa untuk mematikan obrolan mereka. Geng BPJS di komplek ini memang selalu membuat huru-hara. Ya, aku menyebut Bu Haminah dan dua orang temannya itu Geng BPJS yang artinya Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita. “Apakah sudah saatnya aku membuka jati diriku? Toh Mas Indra sudah terbukti mencintaiku, kami sudah bisa melewati tahun keenam pernikahan dengan baik-baik saja, tapi aku berharap bisa mendidik Adinda dalam kesederhanaan, sehingga dia bisa menjadi wanita tangguh dan kuat tempaan,” batinku. “Hmmm lagi pula, aku sudah terbiasa hidup seperti ini, merasa nyaman bisa berbaur dengan semua kalangan di sini. Jika mereka tahu aku orang kaya, apakah Hana, Bu Nani, masih bisa seakrab itu denganku?” “Biar aku mencoba mendidik ibu-ibu biang rese itu dengan caraku dulu, jika nanti masih tidak bisa menghentikan ke angkuhannya mungkin tidak ada salahnya jika kumiskinkan dia untuk sementara. Semua menjadi selalu rusuh semenjak nyonya tua itu selalu merasa paling wah dan suka merendahkan orang lain, Bu Minah—ketua geng BPJS.” Ah, segera kutepis pikiran-pikiran aneh ini. Kembali kualihkan fokus pada layar laptop yang masih menyala. Sesekali kumelirik Dinda yang terlihat masih bermain boneka panda kesukaannya. Sesekali gadis kecilku sudah mulai menguap. Namun keinginan untuk memberinya pelajaran terus memutar di otakku. Entah hasutan dari mana akhirnya aku membuka aplikasi berwarna biru berlambang huruf F yang kini hanya sesekali kubuka. Kembali kuabaikan layar laptopku bersama sederet pekerjaan di dalamnya. ‘Ok, fix ... aku akan membuat sebuah akun baru, dia pamer mas murni, aku pamer berlian, dia pamer uang puluhan juta, aku pamerkan sekalian dalam angka miliaran, toh akun palsu ga ada yang tau juga siapa sebenernya aku, kalau asli aku pun takut perampok Mak ... biar dia sadar diri dulu, di atas langit masih ada langit,” gumamku. Jemari segera menari membuat email baru dan akun sss baru. Ah sudah selesai, segera aku mencari wajah model cantik thailand yang raut wajahnya mirip-mirip dengan wajah orang indonesia. Photo yang tidak memperlihatkan wajah namun akan tetap terlihat elegan dan eksotis. Akun baruku kuberi nama R.Serena Hartawan--R kependekan dari namaku Restika. Ah, sudah terlihat keren. Karena ini akun baru, butuh waktu beberapa hari untuk menyempurnakan tampilan. Jadi kuputuskan belum menambahkan Bu Haminah dalam daftar pertemanan. Seminggu ini aku harus menambahkan list pertemanan agar terlihat betul-betul akun bukan rekayasa. Keasikanku terganggu oleh satu panggilan masuk. Ternyata dari Hana. “Hallo, assalamu’alaikum Hana?” “Res, kamu di rumah ga? Aku di depan nih, tapi sepi amet, pager juga kuncian.” “Bentar, aku bukain.” Aku bergegas keluar. Terlihat Hana sedang berdiri di depan pagar. Sepeda motor maticnya sudah dia standardkan. Aku membuka pagar dan mengajaknya masuk. Hana mendorong sepeda motornya dan mengambil parkir di bawah pohon mangga agar joknya tidak terkena panas. “Ayo masuk, Han, habis dari mana emang?” Hana mengikutiku dari belakang. “Aku habis dari rumah Bu Indah, tadi kan di grup pada mau hunting perhiasan, ya? Aku kira dia sudah pegang uang, cuma mau nagih utangnya lima bulan lalu yang lima ratus ribu.” Hana duduk di sofa ruang tengah. Aku mengambilkan minuman dari dalam lemari es dan disuguhkan untuknya. “Ya, alhamdulilah kalo udah balik uangnya, Han.” Aku duduk pada sofa yang ada di sudut lainnya. “Apaan, panjang lebar bikin alesan, katanya uangnya belum di ambil di ATM, terus ATM-nya ke blokir, dia janjiin aku minggu depan lagi, huh ... padahal aku butuh banget buat beli seragam Devita,” ucapnya dengan wajah murung. Aku menatapnya iba. “Sabar, ya Han. Aku ada uang simpanan, kalau mau pake dulu gak apa, nanti minggu depan kamu tagih lagi aja sama Bu Indah.” Aku menawarinya pinjaman. Bagiku, Hana sudah seperti saudara sendiri. Dan dia bukan tipe orang yang gampang meminjam uang namun susah bayar seperti ketiga orang yang hobinya bersenang-senang. “Emang kamu beneran ada Res? Kamu juga kan harus beli perlengkapan sekolah Dinda,” tanyanya terlihat sungkan. Aku berdiri dan menepuk bahunya. “Tenang aja, kita tetangga harusnya saling membantu dan saling menitipkan. Aku ambilin dulu, ya Han.” Aku segera berlalu ke kamar, terlihat Dinda telah tertidur sambil bersandar memeluk boneka. Aku memindahkannya ke atas dipan dan kukecup keningnya. Dalam dompet cadanganku ada nominal lima juta rupiah. Aku sengaja memisahkannya agar tidak terpakai kebutuhan harian yang tidak ada habisnya. Uang ini cadangan jika terjadi hal emergency sehingga tidak perlu berteriak dan meminjam tetangga. Kuambil lima lembar seratus ribuan. “Ini Han, pakai aja dulu. Bisa kamu ganti kalau udah ada, syukur-syukur kalau minggu depan Bu Indah beneran bayar.” Hana mengambil uang yang kusodorokan. “Maaf ya, Res, jadi merepotkan. Padahal aku kesini cuma mau numpang curhat, abisnya ya ampun kesel banget Res. Selalu ngegampangin mentang-mentang kaya. Aku udah bosen di janjiin sama Bu Indah, Res, selalu saja ada alasannya,” keluh Hana sambil memasukan uang lima ratus ribu itu pada dompetnya. “Sabar Han, nanti kita beri pelajaran mereka biar mengerti,” ucapku sambil tersenyum. “Yang bikin ga nahan tuh, ya Res, mereka selalu pamer kekayaan, uang, perhiasan, jalan-jalan di sosial media, nyebelin banget kan kalau sama utang aja lelet minta ampun ... dan tahu gak Res?” Ah, Hana ini memang seringkali memancingku untuk keasyikan ghibah. Namun tetap saja aku penasaran akan kelanjutan ucapannya. “Apaan, Han?” “Reni kan ikut belajar ngaji di Bu Itoh,” ucapnya. “Bu Itoh?” Sebuah nama yang terasa asing bagiku. “Ih itu, lho, Bu Siti Masitoh ....” “Oh iya, iya, terus? ....” “Sudah setahun kan ya Res, masa dia belum bayar iuran bulanan sama sekali, alesannya katanya jumlahnya terlalu kecil, nanggung, nanti bayarnya sekalian ... ujung-ujungnya di cicil engga, di lunasin sekali juga engga.” Hana melanjutkan informasinya. Mengobrol dengan Hana tidak akan ada habisnya. Hampir satu jam, akhirnya Hana berpamitan. Aku kembali melanjutkan pekerjaan. Menyisir satu per satu email. Menganalisis data yang memerlukan pertimbangan. Sudah pukul tiga sore. Kulihat Dinda masih terlelap. Aku segera membersihkan beras dan memasaknya menggunakan magic com. Kemudian mengambil sayuran yang bisa di masak dari dalam lemari es. Ada bunga kol, jamur dan ba’so serta satu potong tempe. Kuambil bahan-bahan tersebut untuk membuat sop jamur campur baso dan tempe goreng. Bahan-bahan tersebut dengan cekatan kupotong dan kubersihkan. Setelah itu aku meracik bumbu sop dan bumbu marinasi untuk tempe. Sambil menggoreng tempe, aku teringat masih memiliki labu siam. Segera kuambil untuk di rebus sebagai lalapan. Mas Indra sangat menyukai lalap dan sambel. Bahan-bahan untuk membuat sambal segera kucuci bersih dan kutiriskan agar ketika di goreng tidak terlalu banyak cipratan. Ah, rupanya stock tomat dan penyedap rasa habis. Segera ku matikan kompor dan mengambil uang sepuluh ribuan di atas lemari es. Kebiasaan burukku suka menaruh kembalian tercecer. Segera berjalan keluar, nasib baik tidak bertemu dengan Bu Minah. Gerbang rumahnya tertutup, mungkin ibu sosialita itu masih tidur siang. Namun keberuntungan tidak bertahan lama. Suara seseorang memanggilku dari belakang. “Mba, Resti!” Kumenoleh, terlihat Lela tergopoh mengejarku. Malas sebetulnya berbicara dengannya. Lela—wanita yang pernah menaruh hati pada Mas Indra di masa lalu. Wanita bermuka dua yang memihak kemana saja tergantung keuntungan yang akan dia dapatkan. Lela yang mulutnya lembut tapi sifatnya lebih licin dari pada Bu Hanimah yang blak-blakan. Dialah Lela yang mengejarku sekarang. Yuk lopein juga karyaku yang lainnya 1. Dipandang Sebelah Mata 2. Istriku, Di Mana Kamu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN