PART 5

2285 Kata
"Aku mau tidur, Sa! Mumpung aku bisa lagi sekarang!" Sasa bersidekap. "Gak mau tau. Harus ke Supermarket dulu! Ntar aku temenin tidur," pungkas Sasa menarik tangan Rafa agar bangun. Ia tidak begitu mencerna maksud kalimat Rafa barusan. Rafa memang menurut untuk bergerak ketika Sasa menarik tangannya. Tapi pria itu malah bergerak mengurung Sasa dengan memeluk pinggangnya. Kakinya juga ikut mengurung kaki gadis itu yang masih dalam posisi berdiri. "Rafaaa." Tanpa sadar Sasa sedikit merengek, membuat Rafa tersenyum. Ayolah, sedari dulu Rafa begitu kesulitan hanya untuk membuat Sasa merengek manja seperti ini. "Coba ulang," titahnya dengan matanya yang terus menatap mata Sasa begitu intens. Senyum di wajahnya masih merekah, tapi kali ini ia lebih bisa mengontrolnya. Sehingga hanya senyum tipis yang Sasa lihat. Berbeda dengan Sasa yang wajahnya langsung berubah jutek kembali. Ia baru sadar telah merengek, dan ia malu. "Apa sih?! Udah cepetan, ah!" ketus Sasa dengan wajah masam. Rafa mendengus pelan. Tapi tak urung ia langsung berdiri dan memberikan kecupan singkat di pipi gadis itu. "Rafaaa," keluh Sasa dengan wajah memerah. Untung saja Rafa langsung memasuki walk in closet setelah mengecup pipinya. Jadi Sasa bisa bersyukur Rafa tidak melihat wajahnya yang memerah. Selang beberapa menit, Rafa keluar dengan mengenakan jaketnya. Ia mengambil kunci mobil, ponsel dan juga dompetnya yang ada di atas nakas samping tempat tidur. Tanpa mengatakan apapun, Rafa langsung menarik tangan Sasa agar keluar dari kamarnya. "Ganti celana kamu sana!” titah Rafa datar ketika mereka melewati unit apartemen Sasa. Sejujurnya Sasa agak malas untuk masuk ke apartemennya, tapi melihat mata Rafa yang terus menyorot tajam pada pahanya yang terbuka, jadilah Sasa menurut. Begitu masuk, ia mendapati Nanda tengah menonton TV dengan banyak bungkusan makanan di atas meja. Sasa memang tinggal berdua dengan Nanda di unit apartemen itu. Dan yang menyiapkan apartemen ini sebelum Sasa ke Indonesia adalah ayahnya, Tama. "Ck, beresin lagi tuh kalo udah selesai nyemilnya," dengus Sasa sebelum berjalan melewati Nanda yang kini mencibirnya pelan. Nanda memerhatikan Sasa yang ia pikir baru pulang. Tapi ternyata gadis itu hanya mengganti celananya. "Dari mana sih lo?" Nanda bertanya penasaran. Tadi Sasa keluar dengan baju santai. Apa gadis itu hanya pergi ke suatu tempat di gedung Apartemen ini? Tapi ke mana? "Gak usah kepo," balas Sasa ketus. Nanda mendengus. Sudah biasa dengan respon ketus Sasa. Ini belum seberapa, terkadang perkataan jutek nan ketus Sasa lebih parah lagi. Hanya pada Rafa gadis itu bisa luluh. Sasa langsung menghampiri Rafa yang tengah menunggunya dengan bersender di dinding. Gadis itu langsung menggandeng lengan Rafa. Pria itu sama sekali tidak menolak. Mereka menuju Supermarket yang tidak begitu jauh dari gedung apartemen. Tapi tetap membutuhkan kendaraan untuk ke sana. Rafa merangkul pinggang Sasa ketika keduanya akan masuk ke dalam Supermarket. Tapi saat mengambil troli, Rafa melepaskan rangkulannya dan beralih menggenggam tangan Sasa. Tangan Rafa mendorong troli dengan satu tangannya yang tidak melepas tangan Sasa. Ia membawa tangan gadis itu yang masih ia genggam ke atas pegangan troli dan mendorongnya. Oh, tentu saja Sasa membiarkannya. Lagi pula Sasa memang menyukainya. Rafa hanya pasrah ketika Sasa memasukkan apa saja yang gadis itu inginkan. Tugas Rafa hanya menemani, membawakan belanjaan dan membayarnya. Itu kata Sasa tadi. Ketika selesai, Sasa beralih menggandeng lengan Rafa. Bahkan sampai di kasir pun Sasa tidak melepaskannya. Setelah membayar belanjaan mereka, Rafa membawanya dengan satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pinggang Sasa. "Gak berat? Aku bisa bantu bawa," ucap Sasa memerhatikan belanjaan mereka yang memang banyak. "Gak," jawab Rafa singkat. Sasa mendengus pelan. Tapi ia mengalah saja. Jadi Sasa tidak banyak bicara lagi dan langsung masuk mobil. "Nginep sini, ya?" Sasa langsung menatap Rafa ketika pria itu berbicara. Mereka baru saja sampai setelah dari supermarket tadi. Dalam perjalanan mereka hanya diam, dan baru membuka suara ketika sampai di apartemen. Rafa ingin Sasa menginap di Apartemen milik laki-laki itu sendiri. Belanjaan mereka juga sudah disimpan di dapur. Sekarang Sasa tengah duduk bersampingan dengan Rafa di atas kursi sofa ruang tamu. Kening Sasa mengerut bingung. "Tidur di sofa?" Rafa menatap mata Sasa intens, sebelum menggeleng. "Di kamar," jawab Rafa dengan suara rendah. "Tidur bareng, gitu?" Tangan Rafa terangkat dan mengelus pipi Sasa yang masih menatap Rafa penuh tuntutan. “Hm.” Sasa berdecak masih dengan mata terpejam. Tapi di detik berikutnya, Sasa membuka matanya dan berdiri. Menarik tangan Rafa dan membawa pria itu ke kamarnya. Begitu masuk dan pintu kamar juga sudah ditutup. Sasa langsung mendorong Rafa agar rebahan, kemudian ia menyusul di samping pria itu. Rafa tentu saja langsung memeluk gadis itu. Mereka berbaring menyamping dengan posisi berhadapan, sehingga wajah Sasa tenggelam di d**a Rafa. Sedangkan Rafa meletakkan dagunya di atas puncak kepala Sasa, sesekali mengecupnya. "Kamu gak akan nikah sama Syela, kan?!" Mata Rafa yang tadinya terpejam, langsung terbuka begitu Sasa melontarkan pertanyaan dengan ketus. Pelukan Rafa kian erat. Wajah pria itu menunduk untuk menatap wajah Sasa. Mendekatkan jarak mereka hingga bibir keduanya hampir bersentuhan. "Kita nikah, mau?" bisik Rafa sensual. Sasa refleks menggigit bibir bawahnya, ketika Rafa menatapnya begitu intens. "Jangan digigit, Sa!" tegur Rafa sembari mengelus bibir Sasa yang sontak melepaskan gigitannya. "Emang, kalo kita nikah. Kamu gak akan nikah sama Syela?" Senyum tipis merekah di wajah Rafa. Matanya tak terlepas dari wajah Sasa. Wajah yang begitu cantik dan selalu membuatnya mencintai gadis itu. Untuk pertanyaan Sasa, Rafa tidak menjawab. Pria itu malah mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Sasa cukup lama. Cup! "Good night. Sekarang tidur," titah Rafa beralih menenggelamkan wajahnya pada leher Sasa. "Rafa, aku---" "Tidur. Aku ngantuk." Sasa mendengus pelan. Tapi tak urung, ia mengelus rambut Rafa. Semakin membuat lelaki itu mengantuk. Memang, itu cara ampuh untuk membuat Rafa cepat mengantuk. Tatapan Sasa beralih pada nakas di samping ranjang. Menghela nafas pelan, Sasa kembali melirik Rafa yang nafasnya mulai teratur. Pertanda jika pria itu telah tertidur. Karena posisinya yang cukup dekat dengan nakas di samping ranjang, tangan Sasa bergerak untuk membuka lacinya dengan gerakan yang hati-hati, tak ingin membangunkan Rafa dari tidurnya. Begitu laci itu terbuka, mata Sasa langsung menemukan sebuah botol obat. Sasa tidak begitu tau tentang obat itu tapi ia harus mencari tau. Untuk saat ini, ia tidak bisa mengambil obat itu karena tubuhnya yang benar-benar dikuasai Rafa. Sasa mengelus rambut Rafa lembut. "Kamu belum nyeritain semuanya kan, Raf? Tapi aku harap kamu mau cerita nanti. Secepatnya." *** "Halo? Kamu sibuk, gak?" "Ada apa? Kamu ada perlu?" "Mau minta tolong aja, sih. Temenin nyari hadiah buat Mama. Hari ini ulang tahun. Cuma mau kasi hadiah aja meskipun mama gak mau ngerayain ulang tahun dia." "Mau sekarang? Aku gak sibuk, kok." "Sepuluh menit lagi jam istirahat. Nanti jemput aja, ya." "Oke, sayang." Tut tut! Sambungan telepon diputuskan oleh si penelpon barusan. Rafa tersenyum tipis melihat layar ponselnya yang tertera nama Sasa di sana. Seseorang yang baru saja menelfon untuk meminta ditemani. Di depan pria itu berdiri sekretaris sekaligus asisten pribadinya yang sangat ia percayai, Dion. "Kosongkan jadwalku setelah istirahat sampai malam." "Tapi Tuan, Mr. Ramon dari MOP Company ingin bertemu di jam setelah makan siang---" "Atur ulang jadwal atau batalkan saja, Dion. Hal kecil seperti ini tidak perlu aku ajari, kan?" desis Rafa tidak peduli. "Baik, Tuan." "Mereka yang ingin mengajukan kerjasama. Dari proposalnya saja tidak begitu menarik keuntungan untukku," decak Rafa berat. "Baik, Tuan." "Tetaplah di kantor. Jika ada yang mencariku, katakan aku pergi bertemu dengan client." Rafa beranjak sembari merapikan pakaiannya yang agak kusut. "Baik, Tuan." Rafa tersenyum puas. Kinerja Dion memang selalu memuaskan. Karena itulah, Rafa merasa tenang dan nyaman untuk pergi meninggalkan kantor dari sejak siang ini hingga tidak kembali lagi. Menjemput Sasa yang ternyata telah menunggunya di butik gadis itu. "Selalu cantik." "Ya?" Sasa tidak begitu mendengar gumaman Rafa barusan. "Enggak apa-apa," kilah Rafa tersadar akan terpesonanya ia pada sang mantan yang telah resmi menjadi kekasihnya kembali. Sasa menghela nafas saja. "Baiklah, kita ke Mall terdekat saja. Nanti makan di sana juga, ya." "Kamu udah lapar?" tanya Rafa. "Emm sejujurnya belum. Tapi kita mending makan dulu, deh. Takutnya jam istirahat selesai dan kamu belum sempat makan, padahal harus balik ke kantor lagi." Rafa menggeleng pelan. "Aku gak balik lagi ke kantor." "Loh, kenapa gitu?" "Kerjaan aku udah selesai, kok." Jika Dion mendengar ucapan Rafa barusan, mungkin dia akan mengumpati atasannya itu. Jelas-jelas masih banyak yang harus Rafa kerjakan, tapi ia melimpahkan semuanya pada Dion demi menemani sang kekasih. "Beneran?" Tatapan mata Sasa tampak berbinar, membuat Rafa tak sadar jika telinganya memerah melihat wajah menggemaskannya. Rafa memang tidak gampang gugup atau salah tingkah. Tapi jika merasa malu atau salah tingkah, telinganya langsung memerah padam. Karena itulah Sasa seringkali berkata jika Rafa tidak bisa bohong tentang perasaannya. Rafa mengelus puncak kepala Sasa sembari tersenyum tipis. "Iya, sayang." Wajah Sasa memerah malu. Ia tersenyum lebar. "Kita makan aja deh dulu. Supaya tenaganya full pas nyari hadiahnya." Rafa menyetujui saja apapun keinginan kekasihnya itu. Jadi sesampainya di Mall. Mereka langsung menuju restauran yang menyediakan makanan berat untuk makan siang. Ada satu hal yang terlewat. Sejak mobil Rafa terparkir di basement Mall, ia meminta Sasa mengenakan masker untuk menutupi wajah mereka. Hubungan mereka tidaklah aman untuk terlihat di depan publik. Pertunangan Rafa baru berlalu beberapa hari yang lalu. Wajah Rafa dan Syela masih menjadi gosip hangat di kalangan masyarakat yang mengenal pengusaha muda yang tampan itu. Akan sangat heboh jika Rafa terlihat jalan berdua dengan Sasa yang jelas-jelas akan menimbulkan gosip miring. Rafa tidak masalah akan dirinya. Ia hanya mengkhawatirkan Sasa. Bagaimana jika nama Sasa diseret dan dituduh sebagai pelakor? Ia akan dihujat oleh semua orang yang tidak tahu bagaimana cerita aslinya. Sasa pun tidak protes. Ia tidak masalah meskipun harus sembunyi-sembunyi. Meskipun kesal karena tidak bisa bebas seperti dulu saat mereka masih sekolah. 'Sejak awal, ini udah jadi pilihan gue. Gue gak akan menyesal.' "Maaf, sayang," lirih Rafa merasa bersalah. Sasa tersenyum di balik maskernya untuk menenangkan Rafa. Tangan mereka berdua selalu bergandengan sepanjang Mall. Sasa menghentikan langkahnya. Sedikit berjinjit, ia melabuhkan kecupan di pipi Rafa. Meskipun terhalangi oleh masker. "Gapapa, Raf. Aku seneng banget sekarang." Rafa bisa percaya perkataan Sasa barusan melalui binar mata gadis itu. Ungkapan itu jujur dari dalam hati Sasa, dan Rafa merasa begitu beruntung menjadikan Sasa sebagai satu-satunya pemilik hatinya saat ini. "Kita ke toko tas itu, ya? Mama suka banget koleksi tas atau sepatu." Sasa menarik tangan Rafa yang hanya pasrah mengikut. Di sisi lain, Dion tengah fokus pada pekerjaannya. Mejanya tepat di depan ruangan Rafa. Siapapun yang akan ke ruangan Rafa, pasti harus melewatinya dulu. Langkah kaki seorang perempuan yang berhenti di depannya, membuat fokus Dion pecah dan teralihkan. "Hai? Kak Rafa ada?" Dion menatap wajah gadis itu. Berusaha mengingat wajahnya yang rasanya tidak asing. 'Astaga! Dia tunangan Tuan Rafa!' Dion sedikit tersentak dan hampir terserang panik. Dion langsung berdiri. "Maaf, Nona. Tuan Rafa tidak ada di ruangannya." Ya, perempuan yang menghampiri Dion itu adalah Syela, tunangan Rafa. Syela sedikit cemberut. "Terus kak Rafanya ke mana?" "Tuan Rafa menemui client, Nona." "Berarti balik lagi ke sini. Aku tungguin aja di ruangannya." Syela ingin langsung masuk, tapi Dion menghentikannya. "Sekali lagi maaf, Nona. Tuan Rafa berpesan tidak akan kembali ke kantor. Tuan Rafa akan menemui client lain. Hari ini Tuan Rafa sibuk bertemu beberapa client di luar kantor," jelas Dion panjang lebar. Syela menghela nafas pasrah. "Ya udah, deh." Ia kemudian pergi dari sana. Syela yang merasa bosan memilih pergi ke Mall yang jaraknya tidak begitu jauh dari kantor Rafa. *** "Makasih loh kamu beliin ini buat Mama juga." Sasa mengangkat paper bag yang isinya untuk hadiah Mamanya dari Rafa. Bahkan pria itu tadinya sempat akan membayar milik Sasa juga, tapi Sasa menolak. Karena tas pilihannya adalah hadiah dari Sasa untuk sang Mama. Rafa pun mengerti. "Sampein salam aku ke Mama sama Papa kamu." "Kenapa gak ngomong langsung?" gumam Sasa begitu pelan, ia pikir Rafa tak akan mendengar. Padahal Rafa mendengarnya. Rafa hanya tersenyum tipis tanpa menjawab gumaman Sasa. Ia menoleh ke arah stand ice cream. "Mau ice cream?" tawarnya pada sang kekasih. Binar antusias ditunjukkan Sasa begitu melihat stand ice cream yang cukup ramai. "Mau!" Dengan antusias ia menjawab tawaran Rafa. Pria itu membawa Sasa ke sana dan langsung memesan dua cup ice cream untuknya dan Sasa. Cukup lama mengantri, namun keduanya tetap sabar. "Kita duduk di sana aja," tunjuk Sasa pada kursi meja yang biasanya diduduki beberapa pengunjung untuk apa saja. "Boleh." Keduanya duduk dengan anteng memakan ice cream masing-masing. Bahkan saling mencicipi ice cream yang memang dipesan dengan varian berbeda. "Punya kamu lebih manis," ucap Rafa namun matanya malah mengarah pada wajah Sasa. "Emang iya?" Sasa belum menyadari tatapan intens kekasihnya. "Iya. Mungkin karena bekas kamu." Sasa sontak terkekeh. Begitu dengan Rafa yang malah tersentak. Ia tidak sadar jika kalimat yang ia pikir hanya di isi hatinya malah terlontar keluar. Telinganya langsung memerah. Ia malu. "Ih gak usah malu, sayang," bisik Sasa sengaja menggodanya. Rafa memalingkan wajahnya cepat. Ia pura-pura fokus pada ice cream miliknya. "Iya, iya. Kamu gak malu, deh." Sasa mengalah, namun berusaha keras menahan tawa kecilnya yang ingin keluar. Sasa yakin, jika ia tertawa, Rafa mungkin tidak akan mau menatapnya sampai pulang karena sangat malu. Betapa menggemaskannya kekasihnya ini. 'Syela mana bisa kaya begini,' batin Sasa licik. Mereka menghabiskan ice cream masing-masing dan membuangnya ke tempat sampah yang tak jauh dari sana. Melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan mungilnya, ternyata mereka telah menghabiskan waktu berjam-jam di Mall dari siang hingga sore hari. Selain makan dan membeli hadiah untuk Mama Sasa, mereka memang sempat bermain-main cukup lama di time zone. Bahkan sudah ada boneka kecil hasil dari mainan capit yang dimainkan Rafa untuknya. "Pulang, yuk," ajak Sasa berniat beranjak berdiri, begitupun Rafa. Namun suara panggilan seseorang membuat tubuh keduanya membeku. "Kak Rafa? Kamu di sini? Bukannya ketemu client?" Syela. Pemilik suara itu. Memergoki tunangannya yang sepengetahuannya sedang bertemu client, tapi berada di Mall dengan seorang perempuan. Dilihat dari punggung perempuan itu yang tengah membelakanginya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN