Dua bulan telah berlalu sejak perpisahan yang pahit antara Brandon dan Veronica. Namun, Brandon masih belum bisa melepaskan diri.
Dia terus mengganggu Veronica, berusaha memintanya untuk kembali padanya. Saat ini, di tengah pertemuan di sebuah hotel mewah, Brandon menghampiri Veronica dengan hati yang penuh keinginan.
Veronica, yang duduk di sofa dengan sikap tegar, menatap Brandon dengan tatapan penuh kebencian. Dia merasa kesal dengan ketidakmampuan Brandon untuk menerima perpisahan itu sebagai sesuatu yang pasti.
"Brandon," ucap Veronica dengan suara yang dingin, "Apakah kau benar-benar berpikir bahwa aku akan kembali padamu setelah semua yang telah terjadi?"
Brandon, yang berdiri di depannya dengan raut wajah yang penuh harap, menelan ludah sejenak sebelum menjawab, "Veronica, aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Tetapi, aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku merindukanmu. Aku mencintaimu."
Veronica mengangkat alisnya dengan skeptis. "Benarkah?" tanyanya tajam. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Brandon? Apakah kau ingin aku kembali karena kekuasaan dan kekayaan yang aku miliki sebagai pewaris tunggal hotel mewah di kota ini, ataukah karena kau benar-benar mencintaiku?"
Brandon terdiam sejenak, terkejut dengan pertanyaan yang tajam itu. Akhirnya, dengan suara yang ragu, dia menjawab, "Aku mencintaimu, Veronica. Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar, tetapi aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kita bersama lagi."
Veronica menggelengkan kepala dengan geram. "Kau tidak menjawab pertanyaanku, Brandon. Apakah aku hanya menjadi sebuah lambang kekuasaan bagimu? Seandainya aku hanya seorang gadis desa seperti dulu, apakah kau akan terus menerus memohon seperti ini?"
Brandon merasa tertekan. Dia merasa terpojok oleh kecerdasan Veronica. Namun, dia tahu bahwa dia harus jujur. "Veronica, aku ...." Brandon terdiam, sulit menemukan kata-kata yang tepat.
"Kau tidak perlu menjawab," potong Veronica dengan nada tajam. "Aku sudah tahu jawabannya!"
Brandon mencoba memohon lagi, "Veronica, tolonglah. Aku merindukanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu."
Veronica menggelengkan kepala dengan tegas. "Maaf, Brandon. Aku sudah muak dengan semua ini. Aku tidak akan kembali padamu. Dan jangan pernah ganggu aku lagi."
Brandon merasa putus asa. Dia tahu bahwa dia telah kalah. Veronica begitu teguh dengan keputusannya. Dia berbalik dan pergi, merasa hampa dan kesepian.
Veronica, dengan hati yang berat, akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan sebuah rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat dari Brandon.
"Brandon," ucap Veronica dengan suara yang gemetar, "Ada sesuatu yang harus aku katakan padamu."
Brandon menatapnya dengan wajah penuh penasaran, "Apa itu, Veronica? Apakah ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku? Maka dari itu kau menolakku?”
Veronica menelan ludah sejenak sebelum akhirnya mengungkapkan rahasia besar yang selama ini dia simpan, "Brandon, selama dua bulan terakhir, aku telah memiliki lelaki lain. Aku telah mendapatkan penggatimu.”
Brandon terdiam, matanya memperbesar dengan tak percaya. "Apa? Siapa dia?" tanyanya dengan suara yang penuh emosi.
Veronica tersenyum miring, wajahnya mencerminkan rasa puas. "Itu tidak penting, Brandon. Yang penting, dia membuatku bahagia."
Brandon merasa seperti dunia sedang runtuh di atasnya. Dia merasa kecewa, marah, dan hancur. "Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku, Veronica? Apa yang dia berikan padamu yang tidak bisa aku berikan?"
Veronica menatap Brandon dengan tatapan tajam. "Dia memberiku apa yang kau tidak bisa, Brandon. Bahagia. Selama tiga tahun kita bersama, aku tidak pernah merasa benar-benar bahagia. Aku lelah, Brandon. Lebih dari cukup."
Brandon terdiam, mencoba memproses semua informasi yang baru saja dia terima. Dia merasa terpukul oleh kenyataan bahwa dia tidak bisa memberikan kebahagiaan pada Veronica.
"Veronica, tolong berikan aku kesempatan kedua. Aku janji aku akan membuatmu bahagia. Aku akan melakukan apapun untukmu."
Veronica menggeleng dengan tegas. "Semuanya terlambat, Brandon. Aku sudah tidak mau kembali padamu. Aku sudah menemukan apa yang aku cari selama ini."
Brandon merasa terpukul. Dia merasa seperti dunia yang dia bangun bersama Veronica hancur berkeping-keping di hadapannya.
Veronica benar-benar dibuat marah oleh mantan suaminya itu. Sudah cukup lama sejak perpisahannya dengan Brandon, tapi Brandon masih saja mengganggunya, seperti bayangan yang mengejar tak henti.
"Sudahlah, Brandon," gumam Veronica dengan suara yang lirih, meskipun tidak ada yang mendengar. "Apa yang kau harapkan dariku lagi?"
Namun, ketenangan Veronica terganggu ketika pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Brandon memasuki ruangan dengan langkah mantap, ekspresinya tegang.
"Veronica, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku masih mencintaimu," ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Veronica menatapnya dengan tatapan tajam. "Apa yang kau inginkan, Brandon? Aku sudah tahu siapa yang telah membantumu menceraikanku dengan cepat.”
Brandon mengerutkan kening, "Apa maksudmu?"
Veronica menelan ludah, mengetahui bahwa saatnya telah tiba untuk mengungkapkan kebenaran yang telah dia tahu selama ini.
"Brandon, aku tahu tentang orang yang telah mengomporimu untuk menceraikanku, selain dari keluargamu."
Brandon terdiam seribu bahasa, matanya mencari jawaban dalam kebingungannya. Veronica melanjutkan, "Dan sekarang, bukankah sudah ada perempuan yang menunggumu? Luna, bukan?"
Brandon mengangguk, membiarkan Veronica melanjutkan. "Jadi, apa yang kau inginkan dariku lagi? Aku tidak akan kembali padamu, Brandon. Sudah cukup. Kita harus memutuskan semua ini dan melangkah maju."
Brandon merasa kebingungan, tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa tertangkap dalam perangkap masa lalu dan masa depan yang tak pasti. "Aku ...." Brandon terdiam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat.
Veronica menyadari kebingungan Brandon, dan dengan tegas dia menyampaikan, "Jika kau tidak bisa berhenti mengganggu dan terus memohon padaku, mungkin yang terbaik adalah kita menyelesaikan semuanya dengan cara yang lebih baik."
Brandon merasa terkejut dengan kata-kata Veronica, tetapi dia tahu bahwa dia harus menerima keputusan itu. Dia mengangguk perlahan, menelan ludah karena rasa sakit yang teramat dalam.
"Tapi Veronica ...." Brandon mencoba untuk berbicara, tetapi Veronica mengangkat tangannya untuk menyela.
"Sudahlah, Brandon. Aku telah membuat keputusan ini dengan mantap," kata Veronica dengan suara tegas. "Dan sekarang, ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan padamu."
Brandon menatap Veronica dengan tatapan bingung, menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.
"Menikahlah dengannya, Brandon," ucap Veronica tiba-tiba, membuat Brandon terperanjat. "Toh, Luna juga merupakan orang kaya raya, bukan?"
Brandon terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Dia merasa seperti dunia sedang runtuh di hadapannya. "Veronica, aku ...."
Namun, Veronica memotongnya dengan tegas, "Aku tahu Luna menyukaimu, Brandon. Dan kau tidak akan kehilangan apa pun dengan menikahinya. Setidaknya, itu akan membuatku bisa melangkah maju dan menyelesaikan semuanya dengan tenang."