Chapter 4

1184 Kata
“Ibuuuuu!!” Anya berteriak memanggil ibunya, saat dia baru saja pulang dari Kantor. Sari yang sedang memijat-mijat kakinya karena pegal sehabis bekerja langsung segera menemui putrinya di ruang tamu. Dilihatnya Anya sedang membuka stoking di kakinya sambil duduk di atas sofa. “Ada apa kamu memanggil ibu sambil berteriak seperti itu, Anya? Ibu masih bisa mendengar suara kamu tanpa perlu kamu berteriak segala.” “Ibu ini gimana sih? Apa ibu tidak cek and ricek dulu sebelum menyerahkan Sofia pada tuan Datta, rentenir licik itu?” “Memangnya kenapa?” “Ternyata keponakan tuan Datta yang menikahi Sofia adalah Yesaya. Pria incaran aku selama ini. Dia CEO yang bekerja di perusahaan tuan Datta. Dia bos aku, bu!” “Be-benarkah itu?” “Iya, bu. Mati-matian aku berjuang untuk mendapatkan Yesaya selama ini, tapi gara-gara kecerobohan yang ibu lakukan, aku harus kehilangan pria yang aku cintai.” Mendengar kabar itu membuat Sari langsung bergeming. Dia berpikir dalam mengenai nasib putrinya, yang memang dia ketahui kalau putrinya sangat mencintai bosnya selama ini. “Sekarang Anya harus gimana, bu? Harapan Anya untuk menikah dengan Yesaya pupus sudah. Padahal, sudah banyak uang yang harus aku keluarkan demi bisa merubah penampilanku agar bisa menarik perhatian Yesaya.” “Tenang saja Anya. Kamu tidak usah khawatir, karena Yesaya menikahi Sofia hanya secara siri saja, tidak secara resmi. Pernikahan mereka juga disembunyikan dari kedua orang tua Yesaya.” “Ibu tahu dari mana soal semua itu?” “Tuan Datta sendiri yang mengatakannya pada ibu.” “Apa ibu yakin itu?” “Tentu saja.” “Itu berarti, aku masih punya kesempatan untuk menjadi istri Yesaya.” “Sofia kan menghilang. Dia kabur dari Yesaya, entah apa alasannya. Ibu sendiri tidak mengetahui keberadaan Sofia ada di mana sampai sekarang. Karena beberapa bulan yang lalu Yesaya datang menemui ibu dan menanyakan keberadaan Sofia. Tapi, ibu sama sekali tidak tahu kalau pria yang kamu incar selama ini adalah Yesaya.” “Lalu, apa alasan tuan Datta menikahkan keponakannya dengan Sofia?” “Hanya dia dan Yesaya yang mengetahui alasannya. Kalau kamu penasaran, tanyakan saja pada Yesaya langsung.” “Mana mungkin aku bertanya padanya soal kehidupan pribadinya. Dia saja masih mengabaikan aku sampai detik ini. Menyebalkan!” “Makanya, sekarang adalah kesempatan untuk kamu mendekati Yesaya sebelum Yesaya menemukan Sofia kembali.” “Benar yang ibu katakan. Aku harus bergerak cepat demi tujuanku selama ini.” ** “Selamat, pak. Bayi kembar anda telah lahir dengan selamat, bayi kembar anda berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hanya saja bayi kembar anda lahir dalam kondisi prematur jadi mereka harus dilakukan perawatan di dalam inkubator sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Tapi, anda tidak perlu khawatir, karena bayi kembar anda akan baik-baik saja selama masa perawatan mereka ada perkembangan yang baik nantinya.” “Alhamdulillah.” Yesaya berucap syukur. “Lalu, bagaimana dengan kondisi ibunya?” “Ibu Sofia masih belum siuman, karena pengaruh obat bius yang harus dibius secara total melihat kondisi dari pasien saat dibawa ke rumah sakit tadi. Dua jam lagi pasien bisa dipindahkan ke kamar perawatan kalau pasien sudah siuman nantinya di ruang observasi. Kami akan memberitahu anda nanti, kalau istri anda sudah siuman.” “Baik. Terima kasih dokter.” Dokter pun pergi setelah menjelaskan tentang kondisi Sofia dan bayi kembarnya. Lalu Miya mendekati Yesaya yang masih berdiri di depan ruang operasi. “Yesaya,” Miya mendekati Yesaya yang tampak kelelahan. “Saya akan mengambil pakaian Sofia dulu di kosan.” “Tidak usah. Biar saya saja yang mengambil pakaiannya, sekalian saya mau melihat tempat kosannya. Nanti tolong share location tempat kosan Sofia ke nomer ponsel saya.” “Baiklah kalau begitu.” “Saya harus pergi dulu. Tolong kabari saya jika ada kabar mengenai Sofia dan bayi kembar saya.” “Ya, baik.” “Terima kasih...” “Miya.” Miya memperkenalkan namanya, karena mereka belum sempat berkenalan sejak tadi. “Iya. Miya.” Yesaya bergegas pergi menuju ke sebuah tempat di mana dia akan bertemu dengan Ronald dan anggota gengnya. Jarak yang cukup jauh yang harus ditempuh oleh Yesaya sendirian ke kota berbeda. Dia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi di tengah jalanan tol yang sepi saat waktu sudah larut malam. Setibanya dia di tempat tujuannya, dia langsung di hadapkan oleh Ronald berserta beberapa anak buahnya, yang tampak bersiap untuk menghajarnya. Peralatan lengkap berupa senjata tajam sudah anggota geng Ronald siapkan untuk membuat Yesaya babak belur. Sedangkan Yesaya tidak membawa senjata apapun selain tubuhnya sendiri. Tapi, Yesaya tidak merasa takut sama sekali untuk menghadapi para anggota geng Ronald yang selama ini menjadi musuh bebuyutannya. “Anak buahku mengatakan, kalau kau ingin melakukan gencatan senjata padaku.” “Kau pikir, aku akan benar-benar melakukannya setelah apa yang telah kau perbuat pada keluargaku di masa lalu!?” “Sudah aku duga, kalau alasan itu hanya akal-akalanmu saja untuk membawaku padamu ke sini.” “Ternyata kau masih saja menyimpan dendammu itu padaku.” “Dendamku tidak akan berakhir sampai kematian datang menjemputmu dari tanganku sendiri.” “Jadi, kau berniat ingin menyerangku secara keroyokan? Kenapa kau tidak menyerangku sendirian? Apa kau takut?” “Kau pikir begitu?” “Iya.” “Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan menyentuhmu secara langsung.” “Come on, bung. Matahari masih terbit dari timur. Selama kau masih menyimpan dendam padaku, seharusnya kamu menghadapiku sendirian bukan dengan bantuan dari para anak buahmu yang cupu ini.” “Kurang ajar kamu! Apa kamu masih belum jera juga setelah apa yang aku perbuat pada hidupmu sekarang ini!!?” Yesaya terdiam ketika pembalasan dari Ronald padanya beberapa waktu lalu kembali Ronald bahas. “Siapa yang hidupnya hancur sekarang? Aku atau kamu?” Yesaya masih bergeming. “Sudahlah jangan terlalu banyak berdebah. Sebenarnya kamu ini sudah kalah dariku, hanya saja kamu tidak mau mengakui kekalahanmu itu. Aku bisa saja menghabisi keluargamu kapanpun aku mau, kalau saja tidak ada Datta yang mencegah aksiku.” Keberanian Yesaya kembali muncul ketika Ronald menyebut nama pamannya, orang yang paling Yesaya benci sekaligus orang yang paling membuatnya tunduk melebihi tunduknya pada kedua orang tuanya. “Berhenti menggangguku. Aku hanya ingin hidup dengan normal.” “Oh iya, aku dengar, istri bayaranmu itu mengandung anakmu. Bagaimana kalau aku menghabisi mereka saja? Daripada harus menghabisi nyawamu yang tidak akan ditangisi oleh banyak orang.” “b******k kamu, Ronald! Sampai kamu berani menyentuh mereka sedikit saja, maka aku pun akan menghabisi nyawamu juga!” “Wow. Wow. Wooo!! Kamu berani mengancam ingin menghabisi nyawaku? Punya nyali juga kamu, Yesaya!?” “SERANG!” Titah Ronald pada para anggota gengnya. Yesaya pun langsung diserang oleh para anggota geng Ronald. Dia melawan mereka sendirian dengan tangan kosong. Tapi tak lama serangan itu Yesaya dapatkan, para anggota geng Yesaya pun datang membantunya. Mereka semua saling bergelut untuk beradu kekuatan mereka masing-masing. “Yesaya, awaaaas!!!” Niko berteriak sangat kencang, saat dia melihat salah seorang anggota geng Ronald akan menikam Yesaya dengan sebuah pisau. Yesaya yang sedang berkelahi dengan anggota geng Ronald yang lainnya langsung mendengar teriakkan Niko. Dia segera menoleh ke belakang dan langsung melihat ke arah pisau yang siap untuk menikam tubuhnya saat ini juga. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN