“Cepet pilih cincinnya,” tutur Sean.
Sekarang dia sedang mengajak Rahi beli cincin nikah. Benar-benar jadi dia menikahi putri majikannya. Padahal di tiap do'a Sean selalu menyebutkan: Semoga Tuhan memustahilkan Rahi menjadi pasangan hidupnya. Tapi kenapa malah jadi jodoh begini? Ah, mungkin do'a Sean kalah banyak dengan Rahi yang selalu meminta kepada Tuhan agar suaminya kelak setampan Oh Sehun EXO.
“Om serius mau aku yang pilih?”
“Ya, pilih yang kamu suka.”
Oke. “Aku mau cincin yang ada berliannya, kalo nggak permata merah delima.” Permintaan kurang ajar Rahi dituruti dengan senang hati oleh penjual emasnya.
Sean sesekali meraba isi dompetnya. Dia waspada karena ada Jefri yang mengawasi perjalanan membeli cincin nikahan ini.
“Kalo bisa motifnya yang elegan ya, Mbak. Soal harga gak masalah kan, Mas?” celetuk Rahi sambil menyikut pinggang Sean disertai senyum iblisnya. Emang dasar setan kecil! Sean merutuk dalam hati, dia salah membiarkan Rahi yang memilih. Tapi jika tidak begitu, Irina akan nyinyir menyakitkan dan menjadi beban untuk ibunya kalau sampai masalah kecil ini jadi besar. Merasa geli pula disebut ‘mas’ oleh bocah ingusan.
“Kami juga memiliki cincin nikah dengan permata hitam yang tidak kalah elegan dengan dua cincin ini, Mbak,” tutur si penjual. Lalu menunjukkan cincin pasangan itu kepada Rahi yang nampak berbinar.
“Ini yang paling mahal?” tanya Rahi.
“Oh, bukan. Yang paling mahal itu yang ini, Mbak. Rancangan terbaru kami dengan kualitas terbaik dan desain yang cantik, permata hijau jambrud.”
Rahi mengangguk. “Berapaan?”
Jantung Sean berdetak kencang. Dia tidak sedang jatuh cinta, tapi debarannya melebihi tempo dari orang yang akan menyatakan rasa.
“Lima belas juta.”
Gila. Jual ginjal dulu kalau Rahi ingin beli yang itu. Tapi Sean stay cool. Rahi tersenyum. Dia langsung menggelayuti lengan Sean. “Sayang, aku mau yang itu.”
Sudah di duga. Kalau begini bisa terjun harga diri Sean sebagai lelaki. Mana di belakang mereka ada Jefri yang ditugaskan sebagai pengawas oleh Irina. Sean tersiksa. Dia itu miskin, tapi menikahi anak orang kaya. Orang yang akan menjadi mertuanya tahu bahwa dia miskin, tapi dipaksa untuk menyetarai standaritasnya. Terpaksa, Sean harus ikut-ikutan main drama. Tangannya mulai beraksi.
Rahi dibuat tersentak. Seketika tidak nyaman saat ada lilitan tangan di pinggangnya, memeluk posesif yang tentu tangan itu milik Sean. Bahkan kini, tangan Sean yang lain mengusap wajah Rahi. Di tiap perlakuannya dibonusi senyuman.
“Warna hijau jambrud nggak cocok sama kamu, Sayang,” bisik Sean. Bulu kuduk Rahi meremang. Bibir Sean sampai menggeletiki daun telinganya. Lalu Sean beralih kepada penjual yang salah tingkah akan kemesraannya di mata umum.
“Saya mau yang ini saja.” Sean menunjuk pada cincin yang harganya normal, sesuai dengan isi dompetnya, tidak ada merah delima, tidak ada berlian, tidak ada permata hitam, dan tidak ada istilah jambrud-jambrudan, pokoknya cincin nikah sederhana.
“Istri saya masih remaja. Kalau pakai yang mewah, khawatir dirampok di jalan. Keselamatan nomor satu,” imbuh Sean yang sungguh nggak penting banget didengar sama penjual emasnya.
Sedangkan Jefri, dia dibuat sukses menampilkan tampang bodohnya. Tidak menyangka kalau seperti itulah cara dedek bungsunya main dengan om-om. Kini Jefri semakin yakin kalau di dalam perut Rahi ada isinya. Di depan umum aja mesra-mesraan, apalagi kalau sedang gelap-gelapan. Sudah pastilah mainnya colok-colokan.
Rahi berdeham. Dia jadi kikuk. Sementara Sean bertransaksi, Rahi menunduk. Sebab tangan Sean masih melingkari pinggangnya dengan posesif.
Ih, kok jadi gini, sih?! Misuh Rahi dalam hati.
***
Rahi panas dingin setibanya di rumah. Dia ingat betul bagaimana kokohnya otot bisep Om Sean, meliliti pinggang rampingnya dan memberikan kesan hangat. Wah, inspirasi baru untuk cerita dewasanya. Kemudian Rahi sibuk dengan laptop dan dunia kepenulisannya.
Rider : Kak, Aleabel kapan update? Aku lumutan loh nunggunya.
Rahi mendesah. Dia ingin sekali update cerita-ceritanya, tapi akhir-akhir ini dia terkena writer’s block. Ide memang ada di otak, tapi saat menghadap laptop kosa katanya yang miskin.
“Rahi!”
Tersentak. Suara maminya.
“Iya, Mi?” Rahi beranjak mendekat.
“Minum s**u dulu.” Rahi mengangguk, menerima segelas s**u, lalu mengernyit saat aneh rasanya. Atau karena dia yang memang tidak suka s**u?
“s**u apa ini, Mi?”
“s**u ibu hamil—” Seketika Rahi membekap mulutnya. Irina mengusapi punggung kecil anaknya. “Mual, ya? Wajar kok, kebanyakan ibu hamil suka mabok gitu kalo minum s**u bumil.”
Yang membuat Rahi membekap mulutnya bukan karena mual, tapi campur aduk rasanya, antara terkejut dan ogah-ogahan. DIA KAN GAK LAGI HAMIL! Langsung saja Rahi muntahkan. Diikuti Irina di belakang sambil terus mengusapi punggungnya, sesekali memijat tengkuk Rahi.
“Dulu waktu Mami hamil abang kamu juga gini, Ra. Nggak doyan susu.”
Ugh, Rahi mau menangis rasanya. Tapi demi ketemu TRIPLE KIM. Kesampingkan dulu soal karma.
“Mi—”
“Gak apa-apa, nanti juga normal lagi.”
“Mami—”
“Jefri!” Selalu dipangkas. Sampai kemudian abangnya datang hanya dengan sehelai handuk di pinggang.
“Apa, Mi?” tanya Jefri.
“Cepet mandi, terus susulin Sean ke sini. Rahinya kumat nih, kasian. Rahi juga belum makan dari pagi.”
Astaga, Mami. Bibir Rahi melengkung ke bawah. Jefri berdecak. “Telepon aja kan bisa, Mi. Susulin segala.”
“Kamu lupa? Dia itu miskin, nanti lama nyampenya karena naik angkot terus angkotnya ngetem dulu.”
Otomatis Jefri memutar malas bola matanya. Kenapa sih orang miskin selalu nyusahin?
***
Sean berdecak pelan melihat kedatangan tamu tak diundang di rumahnya. Kenapa sih orang kaya selalu berlaku seenaknya?
“Bu, Sean berangkat!” pamitnya kepada sang ibu.
Sean itu anak baik. Tapi tidak menyangka mendapat calon istri dari seburuk-buruknya sifat wanita. Katanya jodoh itu cerminan diri … mana? Sean nggak percaya kalau begini.
Setelah dijemput oleh Jefri, kemudian tiba di rumah keluarga Martapatih, Sean langsung disuruh masuk ke kamar Rahi dan dijadikan baby siter—disuruh menyuapi Rahi. Kalau bukan baby siter, terus apa coba namanya?
“Makan!” Rahi semakin memeluk lututnya di ranjang. “Buka mulutnya!”
Lagi, dia dibentak. Ada bagian dalam diri Rahi yang tidak terima dibentak seperti itu oleh mantan pengawalnya. Sean mendengkus. Dia tidak bisa ramah lagi kepada seseorang yang sudah merusak alur hidupnya.
“Kamu gak mau makan?” Rahi memalingkan wajahnya. “Saya gak masalah kalau kamu mati.”
Kejamnya. Rahi menjauh dua dudukan dari Sean yang bertempat di sisi ranjang.
“Senggaknya minum s**u,” bujuk Sean dengan nada yang kembali datar. Rahi merapatkan bibirnya.
“Rahi, jangan bikin saya marah!” Sean geram.
“Dari tadi Om udah marahin aku!” Tidak kuat menahan kecamuk dalam d**a, Rahi teriak juga. Oke, emosi Rahi sedang labil karena hari ini adalah masa haidnya.
“Itu karena kamu gak mau makan dan gak mau minum s**u, saya sampai repot ke sini.”
“Kalo repot, ya, ngapain datang?”
Sean jengah. Berharap Rahi mikir sendiri. Rahi melirik Sean yang sedang menatapnya. Sejak kejadian di toko emas jantung Rahi jadi gawat darurat kalau sadar jarak mereka terlalu dekat.
“Minum susunya, ya?” Baik, Sean akan bersabar dan menghadapi remaja labil sebisanya. Dia semakin naik ke ranjang dan mencoba meraih pundak Rahi, tapi ditepis.
Rahi merinding. Dia yang keseringan bikin adegan nananina di ranjang antara pria dan wanita seketika waspada saat merasakan sendiri betapa kokohnya lengan pria. Bisa dibilang, Rahi jadi terbawa suasana.
“Ra—”
“Itu s**u hamil, Om. Aku gak mau, Om aja yang minum!”
Sean berdeham. “Ya udah, makan aja.”
“Aku gak suka hati, tapi Mami malah masak hati dan maksa aku buat makan, katanya bagus buat kehamilan. Persetan! Aku nggak hamil,” erang Rahi.
Please, jangan hujat!
“Sekarang kamu nyesel?” ledek Sean. Rahi memilih masuk ke dalam selimut dan memunggungi Sean yang terus-terusan bilang, “Sukurin, kualat kan jadinya.”
***