Luka Dari Suami

1007 Kata
Aku pergi mengendarai mobilku ke luar rumah. Ku dengar Mas Arfan memanggil tapi tak ku hiraukan. Ku banting setir secepat mungkin, aku tak bisa menahan sakit hati ini. Mas Arfan sudah berubah, dia memperlakukan aku dengan tak adil. Aku tak tahu harus kemana jadi aku memilih ke rumah Erina. "Kinan, kamu kenapa?" tanya Erina ketika melihatku datang dengan berderai air mata. "Mas Arfan...dia sudah menamparku. Hanya karena aku protes atas perubahannya. Dia menyalahkan aku, dia membandingkan aku dengan Ana," jawabku. Erina memelukku, hanya dia tempat aku mencurahkan isi hatiku. Mau ke rumah papa juga yak mungkin. Mereka pasti akan menyalahkan aku. "Kalau kamu ada masalah jangan sekali-kali pergi dari rumah. Kasihan Kiara, Arfan juga pasti akan semakin marah," nasehat Erina. "Aku hanya ingin menenangkan pikiranku," kataku. Setelah hampir dua jam aku di rumah Erina. Ku putuskan pulang, aku masuk dengan perlahan. "Dari mana saja kamu? Seenaknya saja pulang pergi tanpa peduli dengan Kiara," tegur Mas Arfan. Aku kira dengan aku pulang, Mas Arfan akan meminta maaf karena telah menamparku. Namun, aku salah. Dia malah menegurku. Aku memilih diam dan masuk ke kamar Kiara. Aku memeluk Kiara yang terlelap. Mas Arfan tak akan berani memarahiku di dekat Kiara. *** Paginya Ana sudah memasak bersama Bibik. Aku memilih diam saja jika Ana tak menyapaku. "Semalam Kiara nanyain Mbak Kinan, dia kangen didongengin Mbak Kinan," kata Ana. "Iya, nanti malam aku akan dongengin dia," ucapku. "Mbak Kinan kemana? Setelah ribut dengan Mas Arfan kenapa pergi?" tanya Ana. "Aku pergi karena Mas Arfan udah nyakitin hati dan fisikku. Kamu tahu apa yang dia lakukan?" tanyaku pada Ana. "Dia menamparku, dia bilang aku sibuk kerja dan kerja dan aku tidak penurut seperti kamu," sambungku. "Semalam aku pulang, dia sama sekali tak meminta maaf malah menegurku karena baru pulang," kataku. "Maafkan aku, Mbak. Sepertinya kehadiranku membuat Mbak Kinan dan Mas Arfan semakin jauh," kata Ana. "Nah, itu kamu sadar. Aku kira Mas Arfan bakal adil nyatanya apa? Dia membandingkan aku dengan kamu," kataku. Sengaja ku buat Ana tak enak hati. Aku ingin dia menyerah dan meminta Mas Arfan menceraikannya. "Akh akan bujuk Mas Arfan, Mbak," kata Kinan. "Gak perlu, biar dia sadar dengan sendirinya. Dia bukan lagu anak kecil, Ana," kataku. Kiara datang, dia memelukku. "Mama semalam tidur denganku?" tanya Kiara. "Iya, Sayang. Maaf ya semalam mama pergi gak pamit Kiara. Nanti malam mama akan baca dongeng buat Kiara," jawabku berusaha tersenyum di depan putriku. Kami lalu makan bersama, Mas Arfan sama sekali tak menyapaku. Ini hari minggu, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan. Sebelum ada Ana, setiap kali aku ngambek tiap hari libur dia membujukku dengan jalan-jalan. Kita lihat saja nanti yang dia lakukan. Selesai sarapan aku bermain dengan Kiara. Ku lihat Ana dan Mas Arfan masuk kamar. Sepertinya Ana sedang menasehati Mas Arfan. *** Tak ada pergerakan apapun dari Mas Arfan. Dia malah pergi setelah berdebat dengan Ana. "Kemana Mas Arfan, Na?" tanyaku saat Ana keluar kamar. "Entah, Mbak. Dia gak ngasih tahu aku. Sepertinya dia marah karena aku tegur," jawab Ana. Selang satu jam kemudian, Mas Arfan pulang. Dia membawa sesuatu di dalam plastik. "Papa bawa apa?" tanya Kiara. "Ini martabak manis buat Kiara sama mama Ana," jawab Mas Arfan. "Loh kok cuma buat kita berdua, Mas. Buat Mbak Kinan mana?" tanya Ana. "Dia gak suka martabak manis. Jadi ya buat kalian saja," jawab Mas Arfan santai. "Ya udah, kalian makan aja. Aku mau kr belakang lihat tanaman bungaku," kataku. Dalam hati aku sakit hati sekali dengan Mas Arfan. Jika tahu aku tak suka martabak manis setidaknya dia belikan aku makanan lain biar bisa ikut makan sama-sama. Tapi apa dia malah memilih tidak membelikan aku apapun. Di halaman belakang, akh menangis di depan bunga-bunga milikku. Aku senang menang bunga. Jadi halaman rumahku banyak sekali tanaman bunga. "Sampai kapan aku begini?" tanyaku. Ku dengar suara tawa Kiara, Mas Arfan dan Ana. Mereka tampak bahagia tanpa mengerti perasaanku. Aku melihat mereka dari balik jendela. Air mata ini tak tertahan lagi. Rasanya aku ingin protes, tapi yang ada aku akan disalahkan Mas Arfan lagi. Sepertinya Ana sadar kalau aku mengintip. Dia terlihat tak enak hati. Aku segera kembali ke halaman belakang. "Mbak, maafkan Mas Arfan ya," kata Ana yang ternyata menyusulku ke belakang rumah. "Iya, gak apa-apa," ucapku. Dalam hati padahal sakit banget karena diperlakukan berbeda. Tapi aku harus bersikap santai. Aku harus melawan rasa sakit ini. "Aku tahu Mbak Kinan sayang sama Mas Arfan. Dan melihat aku ada diantara kalian pasti sangat menyakitkan. Andaikan bisa diputar kembali, aku akan tolak lamaran Mas Arfan." Ana terlihat sendu. "Apa kamu menyesal?" tanyaku. "Aku menyesal karena Mas Arfan mengingkari janjinya untuk adil. Aku merasa gagal menjadi madu yang baik buat Mbak Kinan," jawab Ana. "Sudahlah, Mas Arfan saja tak mau mengakui kesalahannya. Padahal kuncinya ada pada dirinya. Kalau diabisa adil tak akan seperti ini," ucapku. "Sayang, sini!" panggil Mas Arfan. "Ada apa, Mas?" tanyaku. "Bukan kamu tapi Ana," jawab Mas Arfan. Sepertinya tak ada panggilan lain lagi. Harusnya tidak sama panggilannya biar aku tak terlalu percaya diri. "Aku ke sana dulu, Mbak," kata Ana mendekati Mas Arfan. "Emh...." Hanya itu yang bisa ku ucapkan. Kiara mendektiku, dia menemani aku melihat bunga-bunga bermekaran. *** "Mas, aku sedang halangan kamu tidur sama Mbak Kinan ya." Ku dengar suara Ana. "Tapi dia lagi marah sama aku," bantah Mas Arfan. "Kan aku udah bilang minta maaf sama Mbak Kinan. Lagian Mas yang salah karena menampar dia," bantah Ana tak mau kalah. Aku hanya mendengarkan di balik pintu kamar Ana. "Iya nanti," kata Mas Arfan. "Sekarang bukan nanti," kata Ana. Ternyata Ana punya keberanian juga pada Mas Arfan. Kita lihat saja nanti apa Mas Arfan akan meminta maaf atau tidak. Karena sudah malam dan Kiara sudah tidur. Aku kembali ke kamarku. Ada Mas Arfan di sana. Aku berbaring di sisi yang lain. Mas Arfan memunggungiku karena aku menghadapnya tadi. Ternyata Mas Arfan masih gengsi untuk meminta maaf padaku. "Kinan," panggilnya. "Iya, Mas," kataku. "Bisa kamu temani aku malam ini?" tanya Mas Arfan. Ku kira dia meminta maaf ternyata meminta jatah. Dasar pria egois yang penting hanya nafsu belaka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN