"Mulai malam ini aku membebaskanmu dari tanggung jawab sebagai suamiku," ucapnya sambil menatap dalam mataku.
Aku menarik napas sedikit kesusahan dengan jantung yang mendadak berdegup kencang saat Najwa menggenapi kata-katanya.
Tidak! Aku bukan bersedih karena dia menginginkan perpisahan. Jelas bukan. Aku hanya sedang merasa terhina dengan permintaannya.
Jelas ini penghinaan besar untukku!
"Kau serius dengan ucapanmu, Najwa?" tanyaku mencoba tetap tenang meski ada yang terasa menggelegak dalam d**a.
Dia mengangguk samar.
"Ya, aku serius," ucapnya dengan suara bergetar.
Wanita itu terlihat berjalan menuju ke arah lemari dan lantas mengambil satu persatu baju-baju miliknya. Dan seperti orang bodoh, aku hanya bisa berdiri menyaksikan saat dirinya memasukkan baju-baju itu di dalam tas ransel yang tak seberapa besar.
Dia berjalan mendekatiku dan menatapku dengan serius saat mungkin merasa cukup dengan baju-baju yang akan dibawanya. Di dalam tas itu.
"Aku pamit, Mas. Maaf jika selama ini baktiku masih belum mampu meluluhkan hatimu. Maafkan aku juga kalau usahaku menjadi istri yang baik sama sekali tak ada artinya untukmu. Aku minta maaf," ucapnya dengan air mata yang perlahan menetes di pipi.
Aku mendengkus pelan. Merasa dia terlalu percaya diri saat memutuskan untuk pergi.
"Memangnya mau ke mana kau, ha?"
Dia diam tak menjawab. Dan aku yakin betul jika dia sendiri memang tak tahu arah tujuannya setelah pergi dari sini. Bukan apa-apa, kedua orang tuanya sudah berpulang setahun yang lalu, dan dia tak punya siapa-siapa selain ... Zhafira. Kakak yang hampir tak pernah menganggapnya seperti saudara.
Wait! Bukankah sebelum ini aku sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan wanita itu?
Ck! Persetan lah. Urusan Najwa yang sekarang ini berubah jadi pembangkang lebih urgent dari segalanya.
Aku memang ingin pisah dengannya, tapi bukan dengan cara konyol seperti ini.
Aku tersentak saat melihatnya benar-benar keluar kamar dengan tas ransel di punggungnya.
Oh, hei! Apa dia serius ingin pergi?
"Kau ingat, kan, pesan almarhum ibumu, yang bilang harus berbakti pada suami?" Aku terpaksa mengejar langkah wanita yang mendadak jadi sekeras batu sekarang.
Dia menatapku dengan pandangan nyalang.
"Sekarang, jangan coba-coba pergi dari rumah ini," ucapku memperingatkannya dengan tegas.
"Biar apa, Mas? Biar aku bisa melihatmu tertawa dan tersenyum saat ber-chatting ria dengan Mbak Fira, begitu? Bahkan, selama tiga tahun kita menikah, aku belum pernah melihatmu sebahagia itu. Kau selalu menekuk muka saat bertatapan denganku." Lagi-lagi kudengar ada getaran dalam suaranya.
Bibirku terkatup rapat. Tak tahu harus menyanggah bagaimana ucapan wanita yang selama ini entah seperti aku menganggapnya selama ini.
Suasana yang terasa kalut mendadak pecah oleh suara bel yang terdengar berdentang beberapa kali.
Ck! Siapa yang bertamu lewat jam tujuh malam seperti ini?
Mengganggu saja!
"Najwa, sebaiknya kau masuk kamar dan jangan pergi ke mana-mana," ucapku sebelum menarik langkah menuju ke depan.
Dia bergeming pada posisinya.
Aku membuka pintu gerbang dan mendapati sepupuku datang sambil membawa entah apa di tangannya.
"Hai, Bro." Fatih menyapaku dengan gaya slengean-nya yang menyebalkan.
"Ada perlu apa?" sahutku dingin.
"Santai lah, Bro. Kalem-kalem."
Aku mendengkus kecil, sama sekali tak tertarik dengan semua yang diucapkannya.
"Najwa mana?" Dia celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu.
Aku membatu.
"Gue bawa martabak manis dia," ucapnya sambil mengangkat bungkusan plastik di tangannya dengan lebih tinggi.
Aku mendecak kesal.
"Lo ngehina gue? Lo pikir gue nggak punya cukup duit cuma buat beliin dia martabak?"
Emosiku tersulut tanpa bisa dikendalikan.
"Santai, Men, Santai. Pas kuliah dulu, yang gue tahu Najwa paling suka makanan begini. Jadi tadi pas di jalan lihat tukang martabak, keinget, deh, gue sama bini lo."
Aku menyipit menatapnya.
"Lihat martabak lo inget bini orang?"
"Lah, apa yang salah. Najwa dulu teman sekelas gue pas kuliah. Mana gue tahu dia bakal berjodoh sama lo pas selesai kuliah. Sekarang, mana dia? Gue pengen ketemu."
Aku yang sedang berdebat dengan Fatih tersentak kaget saat menyadari Najwa sudah berdiri tak jauh dari tempat kami berdiri.
Fatih ternganga. Terang saja, bukankah tas ransel di punggung Najwa memang bukan pemandangan yang lumrah?
"Kamu ... mau ke mana, Wa?" tanya Fatih masih dengan wajah cengo-nya.
Najwa tersenyum tipis.
"Memangnya kakak sepupumu belum cerita? Kami bakal bercerai sebentar lagi," ucap Najwa, tak bisa menahan isakan. Matanya yang mulai terlihat sembab, tampak meneteskan bulir bening.
"Kalian ... beneran mau cerai?" tanya Fatih sambil menatapku dan Najwa secara bergantian.
"Ya. Tentu saja," balas Najwa terdengar mantap, meski masih dengan suara serak.
Fatih tersenyum menatap wanita berjilbab hitam yang tampak muram malam ini. Dan ... entah kenapa aku sangat muak melihat ekspresi wajahnya.
Apa dia suka mendengar kata cerai? Apakah dia bersaudara dengan se-tan?
"Baiklah kalau begitu. Aku akan menunggu dengan sabar sampai akta ceraimu turun. Setelah itu, akan kukenalkan pada Mama jika kau adalah calon istriku."
Rasa panas tak tertahankan menggelegak dalam d**a saat mendengar Fatih dengan jelas mengucap kata demi kata itu.
Perasaan macam apa ini?