Pada malam hari, mereka memutuskan untuk menggelar pesta dansa kecil di dekat pondok. Lilin-lilin dipajang dengan rapi pada sudut-sudut ruangan dan ditambah sejumlah manekin juga barang-barang yang terbuat dari porselen antik. Housted Hill memiliki begitu banyak barang bernilai tinggi yang melengkapi setiap sudut tempat, seolah-olah seseorang yang mendesain tempat itu tidak mau menyia-nyiakan sedikitpun ruang di dalam sana. Tirai sutra berwarna emas melapisi jendela manohinya yang sewarna perunggu. Sementara bunga dan tanaman-tanaman hias yang mengisi vas-vas besarnya memberi warna tersendiri di tengah ruangan yang cukup megah.
Ruangan itu lebih besar dari yang diingat Sebastian kali pertama ia melangkahkan kaki ke dalamnya. Sejumlah sofa panjang telah disingkirkan kemudian diganti oleh meja-meja berlapiskan kain satin yang diisi oleh sejumlah camilan. Cahaya lampu memberi penerangan yang tepat di setiap sudutnya, menampilkan bentuk-bentuk elegan yang sebelumnya tidak diperhatikan Sebastian. Sementara itu, lantai marmernya dilapisi oleh karpet hijau yang senada dengan warna dindingnya. Jendela-jendelanya dibiarkan terbuka sehingga mereka semua dapat melihat langsung ke halaman belakang, tepat dimana gerbang labirin berada.
Mengangumkan ketika mengetahui Housted Hill memiliki sebuah labirin di dekat propertinya yang mengah. Labirin itu cukup luas untuk memungkinkan seseorang tersesat di dalamnya. Sebastian mengamati dinding semak setinggi tiga meter yang membentuk labirin itu berputar disatu sudut. Ia melihat ada pintu rahasia untuk masuk ke dalam sana, bola lampu yang dipasang sebagai petunjuk dan juga pohon oak besar yang berdiri tepat di tengah pusaran labirin yang nantinya akan menjadi penanda arah. Angin yang bertiup dari arah utara akan menggerakan dahan pohon di satu sisi sehingga, siapapun dengan mudah akan menemukan jalan keluar jika mereka tersesat di dalam sana. Sebastian tergugah untuk memasuki labirin itu. Meskipun mungkin akan membutuhkan waktu lama baginya untuk keluar dari sana, itu akan mengalihkan perhatiannya dari Greta.
Greta tampil sangat memikat malam ini. Sebastian tercekat, dan perhatiannya langsung terkunci pada sosok yang dengan berani mengenakan dress sewarna merah anggur dengan potongan d**a redah yang menyingkap kulit mulusnya itu. Sebastian berusaha keras untuk tidak mengamatinya, tapi rasanya sia-sia saja ketika wanita itu masih berada di dalam ruangan yang sama. Greta seakan mencuri oksigen dari paru-parunya, membuatnya sulit bernafas saat ia memandangi wanita itu.
Ketika musik dinyalakan, semua orang bersenang-senang, kecuali Sebastian. Ia berusaha untuk menjaga tatapannya tertuju pada meja-meja yang terisi penuh oleh makanan berlimpah dan juga bir. Ada begitu banyak bir dari yang sanggup ditelannya. Dan meskipun malam itu cukup sejuk, suhu di dalam ruangan itu terasa lebih panas dari yang seharusnya. Namun yang membuatnya jengkel adalah sikap dingin Greta yang muncul secara tiba-tiba. Sejak kehadirannya di dalam ruangan itu, wanita itu sama sekali tidak membalas tatapannya. Greta menyapa teman-temannya yang lain dengan hangat, tapi tidak dengan Sebastian sehingga membuat Sebastian berpikir kalau Greta berusaha mengabaikannya. Bahkan, sikap ramah yang ditunjukkannya saat hari pertama kedatangannya disana sudah lenyap. Greta meninggalkan Sebastian berdiri sendirian di sudut ruangan, menggenggam gelasnya yang masih penuh dengan erat, sementara tubuhnya sakit oleh perasaan mendamba. Tapi Sebastian mendapati Greta beberapakali mencuri pandang ke arahnya. Wanita itu pasti menyadari kalau Sebastian juga hadir disana, meskipun begitu Greta tidak berusaha menyapa atau bahkan mendekatinya seperti yang biasa dilakukan wanita itu. Malahan Greta mengulas senyuman tipis, kemudian berjalan mendekati teman-temannya. Sialan wanita itu!
Saat musim waltz dimainkan, para lady telah berdiri di atas lantai dansa bersama pasangan mereka: Daphne dan Dale memimpin di ujung barisan. Setelahnya ada William bersama Anne, adik bungsunya, Lady Sabrina bersama Jeffrey, Greta bersama Caspian, sementara Lady Philippa harus memaksa Sebastian untuk ikut berdansa dengannya. Meskipun enggan, Sebastian tetap menerima ajakan Sang Lady. Itu bukannya kali pertama Sebastian membawakan tarian waltz, Arthur sudah memastikan Sebastian mempelajarinya dengan baik. Meskipun percaya bahwa ia akan mengacaukan lantai dansa dengan tariannya yang buruk, Sebastian terkejut mendapati kemampuannya membawakan waltz tidak seburuk itu. Lady Philippa berusaha mengajaknya berbicara, tapi perhatian Sebastian sepenuhnya tertuju pada Greta yang berputar-putar dengan anggunnya di atas lantai. Sebastian merengut melihat cara Caspian meletakkan tangannya di atas pinggul wanita itu, sesekali melempar senyumnya yang menjengkelkan ke arah Greta dan juga kedekatan mereka. Sebastian begitu kesal sampai ia tidak memperhatikan langkahnya dan hampir saja membuat Lady Philippa jatuh di atas lantai dansa. Dan ketika sang Lady memprotes, Sebastian dengan segera memperbaiki kesalahannya, tapi sekaligus mencegah dirinya untuk mengikuti putaran tarian kedua. Ia memutuskan untuk menikmati brendinya selagi mengamati Greta berputar-putar di atas lantai, tampak begitu gembira.
Baru setelah musik berhenti, Sebastian meletakkan gelasnya yang kosong di atas meja, kemudian memtuskan bahwa sudah saatnya ia menarik sang Lady keluar dari lantai dansa, tidak peduli jika hal itu akan mengecewakan Caspian.
Lord Caspian adalah pria yang menarik: tampan, mendominasi, dan tahu cara menghibur para Lady - sikap-sikap yang sejalan dengan reputasinya dikalangan ton. Tidak diragukan lagi bagaimana para wanita bisa terpikat begitu mudah dengan kata-kata manisnya. Sang viscount jelas tahu apa yang diperlukan untuk menaklukkan mereka dengan humor dan juga wajahnya yang begitu memikat. Tapi Greta nyaris tidak merasakan apa-apa. Ia menertawai semua humor yang disampaikan Caspian, tapi sama sekali tidak menanggapinya secara personal. Kalau saja Greta tidak sedang memikirkan seseorang, Lord Caspian dapat dipastikan akan mencuri perhatiannya. Sang Lord tidak hanya sopan, penampilannya dan aksen khas timur tengahnya terdengar sangat elegan di telinga wanita manapun yang mendengarnya. Kalau para wanita tidak berhati-hati, mereka akan mudah jatuh dalam bujuk dan rayuan laki-laki itu.
Yang mengejutkan, Greta tidak merasakan dorongan sedikitpun untuk sampai pada tahap itu. Status Lord Caspian yang masih lajang memang cocok untuk apa yang sedang dicarinya, tapi Greta sama sekali tidak memiliki bayangan apapun tetang sang viscount. Mustahil bahwa Greta benar-benar mengabaikan pesonanya. Ia merasa lebih nyaman berbicara dengan sang viscount sebagai teman biasa - laki-laki dan perempuan yang tidak sengaja bertemu di pesta dansa dan melewati suasana membosankan yang sama. Tidak lebih dari itu. Kecuali karena Greta menyadari bahwa kedekatannya dengan sang viscount entah bagaimana membuat Cleveland merengut masam.
Greta mungkin naif, tapi ia juga tidak bodoh untuk mengenali kecemburuan dalam tatapan sang earl: cara laki-laki itu mengawasinya di sudut ruangan, cara berdirinya yang kaku, dan juga kegugupannya saat sang Earl tanpa sengaja menginjak kaki Lady Phillipa di atas lantai dansa, Segera setelah musik berakhir, sang earl langsung menarik diri. Ia meneguk dua gelas brendi dengan cepat, yang mana hal itu cukup mengejutkan Greta, tapi juga membuatnya merasa geli. Sesuatu di dasar perutnya bergejolak. Entah bagaimana mendapati Cleveland memandanginya dengan cemburu membuat Greta merasa senang. Setidaknya rasa sakit hatinya terhadap sang earl terbalaskan. Tapi itu saja tidak cukup. Greta merasa perlu untuk diyakinkan bahwa sang earl juga menginginkannya. Jika tidak, Greta akan merasa lebih konyol lagi. Jadi ia menjaga dirinya tetap berdekatan dengan Caspian, sengaja berlama-lama berbicara dengan laki-laki itu setidaknya sampai Greta merasakan langkah kaki seseorang bergerak mendekat dari belakang. Sudah tidak diragukan lagi, pria itu adalah Cleveland. Greta bisa merasakan panas tubuhnya yang familier begitu sang earl sampai di dekatnya. Rasanya aneh mengetahui Greta bisa merasakan keakraban dengan orang asing begitu cepat. Namun, sang Earl bukanlah orang asing lagi baginya – setidaknya Greta sudah mengenal pria itu dua hari terakhir.
Dua hari tidak cukup untuk memercayai seluruh hatinya pada pria yang masa lalunya begitu misterius. Greta menelan ludah, kepalanya menunduk, tiba-tiba merasa jengah bahkan hanya untuk menatap laki-laki itu. Di hadapannya, Caspian menyuguhkan tatapan penuh pengertian.
“Cleveland!” sapa sang Viscount.
“Caspian..” sang earl berjalan ke samping dan memaksakan pandangannya ke arah Greta, seolah-olah berusaha mencari perhatiannya. “Bagaimana kalau aku mengajak Lady Greta untuk putaran dansa selanjutnya, apa kau keberatan?”
Mendengar pertanyaan itu, Greta memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap langsung ke sepasang mata biru yang sedari tadi mengawasinya itu.
“Aku disini My Lord, kau bisa langsung bertanya padaku apakah aku keberatan atau tidak.”
Wajah Cleveland menjadi kaku, sementara itu Caspian tertawa lepas. Namun sang viscount cukup bijaksana untuk menanggapi situasi itu karena kini ia melangkah mundur perlahan, memberi celah bagi Cleveland untuk meluruskan niatnya. Dan meskipun masih kesal, Greta benar-benar menantikan momen itu.
“Kurasa sebaiknya aku pergi. Lady Greta..” Caspian menunduk dengan anggun untuk mencium punggung tangannya kemudian dengan sopan bergerak pergi meninggalkan Cleveland yang masih berdiri diam mengamatinya.
Greta mengedarkan pandangannya ke sekitar, berharap hal itu dapat mencairkan suasana. Namun, ketika sang earl tidak kunjung melepas tatapannya, Greta merasa seperti ditelanjangi. Ia mengengencangkan ikatan gaunnya, kemudian mengangkat wajah untuk mengusir ketidaknyamanan yang dirasakannya.
“Apa kau akan mengajakku berdansa atau kita hanya akan berdiam diri disini, My Lord?”
“Mana yang lebih kau suka?”
“Maaf?”
“Itu pertanyaan sederhana.”
Greta kembali mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ia masih tidak percaya bagaimana Cleveland dapat bersikap setenang itu setelah membuatnya kesal.
“Mungkin berdansa..”
“Berdansa kalau begitu.. izinkan aku..” sang earl menjulurkan satu tangannya yang segera disambut oleh Greta. Mereka berjalan ke lantai dansa dan bergabung dengan yang lain. Sementara musik mengalun lembut, Greta menjaga tatapannya tetap terarah pada sepasang mata biru itu. Ia tidak ingin Cleveland berpikir bahwa laki-laki itu berhasil mengintimidasinya, atau membuatnya jengah. Greta mau Cleveland berpikir bahwa ia sedang menantangnya.
“Apa kau menyukainya?”
Kedua mata Greta menyipit dengan penuh tanya. “Siapa?”
“Kau tahu siapa yang kubicarakan.”
“Tidak, sejujurnya aku tidak tahu.”
Sang earl memejamkan kedua matanya saat menarik nafas. Langkahnya sama sekali tidak goyah dan genggamannya pada pinggul Greta begitu kuat seolah laki-laki itu hendak menjaganya agar tidak pergi kemanapun.
“Caspian. Kau menyukainya?”
Greta merasa terkejut dengan pertanyaan itu, tapi semuanya menjadi semakin jelas setelah mengamati bagaimana Cleveland mengawasi pergerakan mereka sedari tadi. Laki-laki itu merasa cemburu! Greta tidak yakin tentang emosinya, tapi ia tidak bisa menghentikan rasa geli yang menggelitik perutnya saat memikirkan hal itu. Meskipun tidak yakin apakah Cleveland akan senang melihat reaksinya, Greta masih ingin menikmati momen kemenangan itu untuk dirinya.
“Tentu saja aku menyukainya! Dia baik..”
“Hmmm.. orang akan mencoba bersikap baik padamu sampai satu titik tertentu. Pada titik itu, kau mungkin tidak akan bisa mengenalinya lagi, atau yang terburuk, kau bisa saja membencinya.”
Merasa tertarik, Greta memiringkan kepalanya untuk mengamati sang earl lebih jelas. Siapa sangka memandangi wajah laki-laki itu dari dekat mampu menciptakan percikan emosi yang tak menentu dalam dirinya; antara hasrat dan juga rasa takut jika kedoknya terungkap.
“Benarkah? Apa kau juga seperti itu?”
“Jika diminta untuk jujur, aku bukan sepenuhnya orang baik.”
“Jadi maksudmu kau orang jahat?”
Cleveland tersenyum. “Tidak, hanya saja pada titik tertentu aku berhenti berusaha untuk menjadi baik.”
“Menarik. Apa yang membuatmu berhenti menjadi baik?”
“Judi, alkohol, wanita..” Ketika ekspresi Greta berubah muram, Cleveland mengangkat sebelah alisnya. “.. itukah jawaban yang ingin kau dengar?”
“Tidak, kurasa kau tidak seperti itu.”
“Apa yang membuatmu begitu yakin?” lempar Cleveland. “Bukankah rumor itu mengatakan kalau aku lord misterius yang hidupnya sudah hancur? Bukankah rumor itu juga mengatakan kalau aku seorang hidung belang yang suka menghabiskan waktu bersama wanita di bar-bar..”
“Apakah itu benar?” tanya Greta dengan takut. Ia membenci dirinya karena memercayai sebagian besar rumor itu, tapi bagian lain dalam dirinya juga percaya bahwa Cleveland tidak seperti itu dan Greta tidak bisa tenang sebelum ia memastikannya sendiri. Greta mungkin sudah cukup beruntung jika laki-laki itu bersedia menikahinya dan membebaskannya dari utang-utang, tapi Greta juga tidak berharap akan menghabiskan sisa hidupnya bersama penjudi dan pemabuk seperti ayahnya.
“Lihat aku dan katakan apa yang kau pikirkan!” tantang Cleveland. “Apakah aku terlihat seperti itu?”
Greta terdiam cukup lama. Langkah kakinya kini hanya bergerak mengikuti kemana Cleveland membawanya pergi. Tiba-tiba segala hal yang ada di sekitar mereka terasa samar, yang ada hanya laki-laki itu dan tatapannya yang berhasil menghangatkan Greta.
“Tidak,” jawab Greta akhirnya. Ketika Cleveland tersenyum, ia kembali membuka mulut, “tapi aku benar-benar ingin tahu apa yang membuatmu hilang kendali hingga kau memutuskan untuk berhenti menjadi orang baik?”
“Kau.”
Greta merasa tersentuh, tapi ia menyembunyikannya dengan rapi. Boleh jadi, Cleveland tidak bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Boleh jadi laki-laki itu hanya berusaha membuat pertahanannya goyah, persis seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pria yang mendekatinya. Greta ingin sekali memercayai apa yang disampaikan Cleveland barusan, tapi ia tidak dibesarkan untuk memercayai fantasi seindah itu. Hidupnya terasa cukup keras dan tiga tahun terakhir bahkan terasa seperti cobaan berat, Greta sama sekali tidak diizinkan untuk luluh oleh bujuk rayu dan omong kosong para pria.
“Itu kedengaran konyol, bukan?” tanya Greta sembari berusaha memaksakan senyum.
“Kenapa begitu sulit untuk memercayainya?” sang Earl memindahkan satu tangannya ke pinggul Greta dan kali ini Greta merasa seperti laki-laki itu hendak berniat untuk mengangkat tubuhnya.
“Karena.. ada begitu banyak pria..”
“Jangan meletakkan pengetahuanmu tentang semua pria itu padaku. Aku bukan pria manapun yang pernah kau jumpai sebelumnya.”
“Kau benar, maafkan aku. Jadi, beritahu aku, pria macam apa kau ini?”
Cleveland tidak dapat menahan dirinya untuk tertawa. Ketika laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke sekitar, Greta merasakan dorongan kuat untuk mengalungkan lengannya ke seputar leher laki-laki itu dan ketika Greta melakukannya, sang earl tiba-tiba menunduk, kedua matanya menjadi gelap.
“Mungkin tidak seperti yang kau harapkan..” tantang sang earl.
“Apa yang kuharapkan?”
“Beritahu aku!”
Greta tertegun. Sang earl menguncinya dengan pertanyaan itu, dengan mudahnya membalikkan suasana dan Greta tidak mungkin mengatakan bahwa ia mengharapkan banyak hal - mungkin lebih banyak dari yang seharusnya. Jadi untuk alasan yang sama, Greta dengan cepat mengalihkan pertanyaan.
“Bagaimana denganmu? Apa yang kau pikirkan tentangku? Apa kau berpikir aku cukup baik?”
Greta kembali menyesali ucapannya. Sungguh, ia tidak pernah belajar. Tapi setidaknya kali ini sang earl tidak mengabaikannya.
“Agak sulit menggambarkannya.”
“Apa maksudmu?” Greta tersenyum. Sepasang kilat muncul di matanya yang terbuka lebar. Ia berusaha menggoda laki-laki itu dengan membeokan ucapannya. “Itu hanya pertanyaan sederhana.”
Sang Earl mendengus keras kemudian mengatakan, “menurutku kau berbeda.”
Greta diam sembari terus menatap laki-laki itu.
“Kau sedikit.. berani. Jelas tidak polos sama sekali.”
“Apakah itu buruk?”
“Tidak. Aku menyukainya. Aku tidak pernah menemui seorang Lady yang begitu terang-terangan mengungkapkan apa yang dipikirkannya..”
“Tunggu sampai kau menjadi akrab dengan Daphne..”
“Tapi aku tidak menginginkan Daphne..”
Siapa yang kau inginkan? Greta ingin berkata demikian, tapi malah diam membisu memandangi laki-laki itu sampai musik berakhir. Mereka kembali pada kawanannya segera setelah sesi dansa itu berakhir. William meminta para laki-laki berkumpul di aula untuk permainan kartu dan Daphne terus menuntut perhatiannya untuk urusan pesta yang rencananya akan digelar dua hari ke depan. Meskipun Greta masih merasa perlu berbicara dengan Cleveland lebih jauh, ia menyimpan semua itu untuk lain waktu. Ia hanya berharap keinginannya untuk berada dekat dengan Cleveland tidak begitu kentara. Namun, siapa diantara dirinya dan Cleveland yang berani mengelak kebenaran bahwa mereka menginginkan satu sama lain? Itu sebuah pertanda baik untuknya. Apa yang ditakutinya tidak akan terjadi, Greta tidak harus menikahi seseorang yang tidak dia cintai. Dia hanya perlu melakukan satu hal: meyakinkan sang earl untuk menikahinya. Itu akan menjadi bagian tersulit, terutama ketika Greta masih enggan untuk mengungkapkan masalah utang-utangnya.
“Dia mengatakan sesuatu yang bagus?” tanya Daphne saat mereka duduk di satu ruangan yang sama, sibuk memilih menu apa yang akan dihidangkan saat pesta lusa.
“Ya, kurasa begitu.”
“Jadi dia mengungkapkan perasaannya padamu?”
“Tidak, tidak sepenuhnya begitu, tapi.. dia tertarik.”
Daphne memutar kedua bola matanya dengan geram. “Kenapa sulit sekali untuk mengatakannya.”
Greta juga berpikir demikian, tapi rasanya sulit untuk menilai hal itu ketika ia berada begitu dekat dengan Cleveland. Menilai dari cara laki-laki itu begitu berhati-hati memilih kata-katanya, Greta akan berasumsi kalau ada sesuatu yang menahan Cleveland. Meskipun tidak yakin apa persisnya, Greta menduga kalau mungkin itu berhubungan dengan masa lalu sang earl yang misterius.
“Jadi apa rencanamu? Menurutmu dia akan melamarmu?”
Greta memandangi temannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah. Daphne tampak begitu bersemangat, wanita itu mendukungnya dengan Cleveland, tapi apa yang akan dikatakan Daphne jika Greta hanya bermaksud menjerat Cleveland ke dalam sebuah pernikahan - memanfaatkan laki-laki itu untuk membebaskannya dari utang.
Tidak, Greta yakin bahwa ia tidak sepenuhnya memanfaatkan Cleveland. Cleveland menyukainya dan Greta juga menyukai laki-laki itu. Tapi tetap saja..
“Tolong katakan sesuatu!” desak Daphne. “Sikap diammu akhir-akhir ini membuatku resah..”
“Tidak, aku hanya.. aku rasa.. aku tidak tahu Daphne. Jika dia menyukaiku mungkin dia akan melakukannya.”
“Ya, tapi mengingat betapa misteriusnya pria itu.. dan reputasinya..”
“Aku tidak percaya tentang semua itu.”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, semua rumor tentangnya itu hanyalah omong kosong belaka. Aku tidak memercayainya sedikitpun.”
Daphne mengangkat kedua alisnya dengan kaku. “Kau belum mengenalnya cukup dekat untuk menyimpulkan begitu.”
“Tapi aku berbicara dengannya. Dan aku berpikir dia jauh berbeda dari apa yang dikatakan orang-orang tentangnya.”
Pundak Daphne merosot, Greta tahu bahwa itu adalah tanda bahwa sang Lady menyerah untuk mendebatnya.
“Jika kau pikir begitu, aku selalu mendukungmu, Greta.”
“Bagaimana denganmu?” lempar Greta. Tiba-tiba wajah Daphne memerah, pada detik itu Greta tahu kalau ia sudah menjadi terlalu fokus pada dirinya sendiri sampai tidak memerhatikan sahabatnya. Tapi Daphne selalu begitu, wanita itu tidak akan mengatakan apa-apa sampai Greta bertanya. Terkadang sikapnya menentang keyakinannya sendiri mengingat bagaimana Daphne begitu mendesak Greta menceritakan semua yang dialaminya bersama Cleveland. Greta juga perlu mendengar sesuatu dari wanita itu.
“Tidak ada apapun..” sahut Daphne, lirih.
Greta memincingkan kedua matanya ketika menatap wanita itu. Daphne masih muda dan begitu cantik. Wanita itu memiliki aura feminin yang memancar kuat dalam dirinya. Greta sampai penasaran bagaimana mungkin tidak ada seorang lord yang mendekati Daphne selama ini - kecuali karena Daphne menolak mereka semua dan secara diam-diam merahasiakan semua itu darinya.
“Aku tidak memercayaimu sedikitpun.”
Setelah keheningan yang mencekik, sang lady baru memutuskan untuk berbicara. “Aku berbicara dengan Dale..”
“Sang Duke?” mata Greta melebar. Ketika mengangguk, wajah Daphne tampak bersemu.
“Apa yang dia katakan?”
“Seperti kataku, bukan sesuatu yang besar. Aku berusaha menggali sesuatu darinya, tapi.. dia benar-benar pendiam. Dia nyaris tidak mengatakan apa-apa atau bahkan menjawab pertanyaanku. Terkadang kebisuannya itu menyebalkan.”
“Tapi kau menyukainya?”
“Masih terlalu dini untuk disebut begitu.”
“Oh.. bisa kumengerti. Jadi kau hanya merasa tertarik.”
Daphne tersenyum lirih. “Kau tahu dia pernah menikah sekali, bukan?”
Greta tidak yakin ia mengingat hal itu, dan karena sang Duke tidak masuk dalam daftarnya, Greta tidak benar-benar menggali informasi tentang laki-laki itu.
“Mungkin aku pernah mendengarnya. Dimana istrinya sekarang?”
“Istrinya sudah meninggal. Ditembak dua kali di sebuah pondok tak jauh dari rumahnya. Banyak yang mengatakan sang duke memiliki keterlibatan tentang kematian istrinya itu.”
“Oh..”
“Aku tahu. Aku tahu,” seperti biasa, Daphne mulai berasumsi kalau wanita itu mengetahui isi pikirannya. “Itu terdengar mengerikan, dan berbahaya. Tapi William tidak mungkin berteman dengan orang-orang jahat, jadi aku berpegang teguh pada keyakinan itu.”
Tiba-tiba Greta teringat ucapan Cleveland di atas lantai dansa tadi.
“Kau tidak pernah tahu itu. Orang akan mencoba bersikap baik padamu sampai satu titik tertentu.”
Daphne mengerutkan dahi saat mendengarnya. “Darimana datangnya pikiran itu?”
“Seseorang mengatakannya padaku..”
“Mmm.. Kurasa kita hanya perlu berhati-hati.”
“Benar.”
Greta bersungguh-sungguh saat mengatakannya karena ia memang perlu berhati-hati.