Greta tersenyum, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti dan meninggalkan sang Earl di belakangnya. Nafasnya terasa mencekik. Ia masih tidak percaya akan mengatakan hal itu Cleveland. Biasanya Greta tidak pernah seterang-terangan itu. Greta tidak senang melihat laki-laki manapun berpikir bahwa mereka telah memengaruhinya, berkuasa atas dirinya - tapi tidak dengan Cleveland. Meskipun malu, Greta sama sekali tidak merasakan penyesalan mendalam setelah mengungkapkannya. Orang-orang akan menyebutnya gadis yang begitu berani dan juga lancang. Dalam lingkungan tempat ia dibesarkan, para wanita tidak memiliki hak yang sama besarnya seperti para laki-laki untuk mengutarakan perasaannya. Tapi Greta sadar bahwa dirinya tidak seperti wanita kebanyakan. Beberapa pria arogan yang ditemuinya akan berpikir bahwa tindakan itu terlalu lancang dan tidak sopan. Mereka akan menganggap rendah Greta karena telah berani berkata demikian, tapi sepertinya tidak dengan Cleveland. Karena beberapa detik setelah Greta mengatakannya, keheningan yang terasa begitu mencekik sempat singgah. Greta berpaling dengan cepat dan melanjutkan langkahnya hanya agar ia tidak perlu melihat ekspresi sang earl. Namun, Greta dapat merasakan dengan jelas bagaimana tatapan sang earl melubangi punggungnya. Kemudian dengan langkah panjangnya, laki-laki itu dengan mudah menyusul Greta.
Kuda yang dipeganginya sesekali meringkik ketika sang earl membawanya terlalu dekat ke tepi danau. Kemudian laki-laki itu menarik tali kekangnya dengan cepat dan membawa kudanya menjauhi tepian. Sementara satu tangannya yang lain terjulur untuk menghentikan Greta. Ketika berbalik, Greta menyadari bagaimana ucapannya benar-benar memengaruhi laki-laki itu. Greta berharap Cleveland akan mengatakan sesuatu yang sama, namun apa yang dikatakan laki-laki itu setelahnya terdengar sedikit mengecewakan.
“Hari sudah mulai gelap. Sebaiknya aku mengantarmu pulang.”
Sang Earl mengatakan kalimat itu seolah apa yang diungkapkan Greta tentang perasaannya sama sekali tidak penting. Meskipun Greta melihat api menyala dalam sepasang mata birunya yang tajam, sang earl sama sekali tidak berusaha membuktikan ketertarikan yang sama. Hal itu membuat ternggorakannya tercekat. Sesuatu seakan menusuk hatinya dan membuat wajahnya panas. Perlahan-lahan Greta menyesali apa yang dikatakannya barusan. Ia menunduk dengan malu sembari mengutuki dirinya. Memangnya apa yang diharapkannya? Apa Greta benar-benar mengharapkan sesuatu yang lebih dari sekadar pernyataan penikahan? Mengapa begitu penting baginya untuk memenangkan hati laki-laki itu ketika Greta hanya berharap laki-laki itu untuk membantunya keluar dari kesulitan?
Perasaan tidak menentu itu menyeretnya pada situasi yang membuatnya tidak nyaman. Akibatnya, perjalanan kembali ke manor menjadi terasa begitu menyiksa. Meskipun Greta cukup yakin bahwa sang earl juga merasakan hal yang sama, laki-laki itu jauh lebih tenang dan pandai dalam menyembunyikan emosinya, yang mana hal itu justru memperburuk suasana hatinya.
Sang earl mengantarnya sampai di depan lorong panjang yang gelap dan hening, jauh dari pengawasan para penghuni manor itu. Seolah tidak terjadi apa-apa, laki-laki itu menyunggingkan senyuman tulus ke arahnya. Meskipun masih sedikit kesal, Greta tidak bisa menggubris bahwa sikap sang earl telah menghangatkannya. Ia berpamitan sebelum berbalik pergi menyusuri lorong. Setelah berjalan jauh, Greta baru teringat kalau mantel pria itu masih terikat di pinggulnya. Greta memandang ke sekeliling, kemudian ketika menyadari tidak apa siapapun yang berjalan di lorong yang sama, ia langsung berlari menaiki tangga.
Kamarnya terletak di lantai dua, persisnya di sayap kanan bangunan yang jauh dari aula dan juga perpustakaan. Hanya ada satu jendela di sudut lorong, dan cahaya bergerak masuk melewati jendela itu, membanjiri seisi lorong dengan penerangan yang minim. Di lorong yang sama ada dua kamar tamu lain yang letaknya saling berseberangan. Masing-masing dari ruang itu memiliki bentuk dan ukuran yang sama, kecuali karena mereka mendapat pemandangan yang berbeda dari balik jendela. Kamar Greta sendiri letaknya di bagian ujung lorong, persis seperti yang diharapkannya. Itu bukan kali pertama Greta berkunjung di manor itu dan sejak ia dan Daphne berteman dekat, Daphne selalu mengosongkan ruangan itu untuk Greta. Ketika masih muda, Daphne suka menyusup masuk ke kamar Greta pada tengah malam. Mereka bisa terjaga sepanjang malam, saling bercerita, atau bahkan tertawa cekikikan tanpa terdengar oleh siapapun di dalam sana. Bahkan hingga sekarang, Daphne masih suka mengunjungi kamarnya untuk berbagi ranjang dengan Greta. Karena mereka sudah bersahabat begitu dekat, Greta tidak merasa ada yang perlu disembunyikannya dari Daphne - kecuali rencananya terhadap Earl of Cleveland, tentu saja. Greta jadi bertanya-tanya bagaimana Daphne akan bereaksi saat mengetahui hal itu? Sudah dapat dipastikan kalau Daphne akan merasa kecewa, tapi Greta juga tidak ingin menimpakan seluruh masalahnya pada wanita itu. Daphne sudah cukup baik karena bersedia menerima Greta dalam lingkaran pertemanannya terlepas dari semua skandal yang melibatkan kedua orangtuanya. Greta tidak perlu memberitahu Daphne bahwa ia sedang kesulitan dengan masalah utang-utangnya ketika Greta cukup yakin bahwa ia akan menyelesaikan masalah itu nantinya, karena sekarang tampaknya semua berjalan sesuai rencana.
Setidaknya ia menganggapnya begitu.
Ketika Greta sudah berada di ujung lorong, ia terkejut mendapati pintu kamarnya sedikit terbuka, tapi Greta tidak meletakkan kecurigaan apapun dan bergegas masuk ke dalam sana. Setidaknya, sampai ia mendengar suara gerakan ringan di atas kasurnya.
Tiba-tiba tubuhnya tersentak, Greta berbalik dan mendapati Daphne sedang duduk tegak di atas kasurnya. Kedua matanya membeliak seolah wanita itu baru saja melihat hantu. Kemudian, tatapan itu berubah menjadi tatapan penuh tanya. Greta sudah menduga bahwa akan sulit menyembunyikan sesuatu dari sahabatnya itu.
“Astaga, Daphne! Kau mengejutkanku.”
Daphne tidak mengacuhkan Greta dan malah balik bertanya, “darimana saja kau? Aku mencarimu di perpustakaan, tapi kau tidak ada disana.”
“Ya, aku perlu mencari udara segar.”
Sang Lady mengangkat sebelah alisnya dengan penuh curiga. “Lalu mantel siapa yang kau pakai itu? Dan kenapa pakaianmu berantakan sekali..”
Greta menunduk menatap penampilannya dan tiba-tiba menjadi gelagapan. Saat Daphne bergerak turun untuk memasksanya duduk di atas sofa, Greta menurutinya tanpa perlawanan. Namun ketika Daphne duduk meringkuk di atas karpet sembari menunggu penjelasannya, Greta diam seribu bahasa.
“Ayo! Katakan apa yang terjadi!”
“Tidak ada yang terjadi,” bantah Greta. “Well, maksudku.. tidak seperti yang kau pikirkan.”
“Aku bahkan tidak tahu apa yang kupikirkan. Dan jangan coba berbohong padaku karena aku melihat Lord Caspian dan Jeffrey kembali ke pondok itu, tapi tidak dengan Lord Cleveland. Kakakku. Dale, dan Henry pergi untuk memeriksa kuda, jadi.. aku menduga kalau lord Cleveland ada bersamamu, bukan begitu?”
Tiba-tiba wajah Greta memerah. Ia merasa konyol karena bertingkah seperti seorang gadis yang baru saja tertangkap basah. Sementara itu Daphne sama sekali tidak mau mendengar kebohongan, tidak ada gunanya berbohong, Daphne akan tahu bagaimanapun caranya. Bahu Greta tiba-tiba merosot. Ia merasa putus asa untuk menyampaikan yang sebenarnya.
“Aku sedang berjalan-jalan, tapi salah satu perangkapmu itu mengenaiku. Lord Cleveland ada disana - kami tidak sengaja bertemu..” Ketika Daphne melayangkan tatapan curiga, Greta menegaskannya dengan cepat. “Aku serius. Itu bukan kebetulan yang disengaja. Dia membantuku melepaskan diri dari perangkap itu, tapi pakainku sobek.. dia melepas mantelnya dan meminjamkannya untukku.”
“Itu romantis sekali..”
Greta mengibaskan satu tangannya di udara. “Oh, percayalah itu jauh dari kata romantis. Aku terlihat konyol sekali.”
Daphne tertawa cekikikan. “Lalu apa dia mengantarmu kesini?”
“Ya.”
“Apa saja yang dia katakan?”
Greta merasa malu untuk menceritakan seluruh bagian dari percakapannya dengan sang earl, dan meskipun Daphne sudah cukup akrab dengannya, Greta masih merasa perlu untuk menyembunyikan bagian dimana ia mengungkapkan perasaannya secara gamblang pada laki-laki itu dan mendapat respons yang tidak diharapkan. Sebagian dari dirinya menanggapi tindakan itu sebagai bentuk rasa malu, sebagian yang lain menanggapi tindakan itu sebagai aksi untuk melindugi dirinya. Manapun yang benar, menyembunyikan sesuatu selalu terasa lebih mudah ketimbang mengungkapkan kebenaran yang kasar.
“Tidak banyak..”
“Tidak banyak?” Daphne kembali menyipitkan kedua matanya.
“Dia mengatakan sesuatu tentang dirinya, tentang rumor yang beredar..”
“Ah ya, apa yang dia katakan tentang itu?”
“Dia mengatakan kalau dia tidak begitu memedulikan semua rumor itu.”
“Tapi apakah itu benar?”
Greta mengingat kembali percakapannya dengan sang earl malam itu kemudian menggeleng dengan yakin. “Tidak. Kurasa tidak.”
“Kau rasa tidak?”
“Kurasa tidak. Kurasa dia pria baik-baik.”
“Tentu saja itu yang ingin ditunjukkannya pada siapapun. Bagaimana kau bisa begitu yakin?”
“Aku tidak tahu, aku hanya meyakininya saja. Cara dia berbicara padaku, sikapnya saat membantuku.. aku yakin dia pria yang cukup sopan, terlepas dari semua rumor buruk tentangnya itu.”
“Apa dia juga sudah mengatakan padamu tentang kematian orangtuanya yang misterius? Menurut kabar orangtuanya meninggal dalam perjalanan berlayar, tapi beberapa orang meyakini bukan itu penyebabnya. Seperti ada seseorang yang berusaha menyembunyikan rahasia itu.”
“Tidak, kami tidak berbicara sejauh itu.”
Daphne memberengut. Kedua mata cerahnya mengamati Greta untuk menilai ekspresinya.
“Dia benar-benar tidak bersikap kasar padamu?”
“Tentu saja tidak. Apa yang membuatmu berpikir begitu?”
“Bukan apapun, aku hanya ingin memastikan saja. Kau kelihatan sedih.”
Greta menggigit bibirnya. Ia tahu bahwa Daphne akan menebak suasana hatinya dengan mudah, tapi Greta juga tidak ingin berbicara apa-apa tentang sesuatu yang membuatnya sedih karena ia sendiri tidak yakin tentang perasaannya.
“Tidak, kurasa aku hanya kelelahan.”
“Baiklah, bagaimana kalau pesta untuk malam ini?”
“Apa?”
“Will memintaku untuk mengadakan pesta dansa dalam waktu dekat. Dan dia mengatakan kalau dia akan mengundang Lord Pryce juga.”
“Apa? Maksudmu Kit Martin?”
Daphne megangguk. Kabar itu cukup mengejutkan Greta. “Kupikir William bermusuhan dengan Lord Pryce?”
“Ya, tapi aku cukup yakin ini ada kaitannya dengan teman-temannya. Kurasa mereka memaksa William untuk mengundang Viscount itu. Tapi kau tahu apa? Dia juga memintaku mengundang Lady Huxley..”
Kedua mata Greta membeliak. “Si tukang gosip?”
Daphne mengangguk.
“Tapi kenapa?”
“Aku sama tidak tahunya sepertimu. Tapi aku yakin itu berkaitan dengan kolom berita di surat kabar yang pernah membahas rumor tentang Caspian dan Cleveland. Kakakku dan teman-temannya percaya kalau Lady Huxley adalah Mr. X yang menulis semua artikel itu.”
“Kakakmu pasti sudah kehilangan akal sehatnya dengan mengundang wanita itu kesini. Aku tidak suka caranya mengkritik orang-orang di pesta saat terakhir aku melihatnya, dan aku yakin kalau kita semua percaya bahwa Huxley pastilah Mr. X yang bertanggungjawab untuk semua berita sampah itu.”
“Aku setuju denganmu, tapi siapa yang bisa menghentikan William kalau dia sudah memutuskan untuk mengundang mereka kesini? Aku hanya berharap Huxley tidak akan menulis sesuatu yang mengerikan tentang tempat ini. Aku sudah menempati manor ini sejak aku kecil dan jika setelah pesta itu berakhir aku menemukan satu kolom disurat kabar yang mengatakan sesuatu tentang tempat ini, aku bersumpah akan mencekiknya!”
Greta tersenyum memandangi Daphne yang begitu berapi-api saat membicarakan wanita itu. Greta tidak sepenuhnya menyalahkan Daphne atas kebenciannya terhadap Adelaide Huxley, alias Mr. X. Wanita itu memang menyebalkan karena menyebar gosip tidak mengenakkan di kalangan bangsawan. Banyak orang menghindarinya karena hal itu. Sementara Martin Pryce atau yang lebih dikenal sebagai Kit Martin si orang Amerika, merupakan saudara laki-lakinya yang juga terkenal sama kacaunya seperti Miss Huxley. Sang Vicount memiliki masalah tempranen sejak usianya masih sangat muda. Bukan hal yang baru jika laki-laki itu ditemukan membuat keributan di bar-bar pinggiran jalan, atau bahkan mabuk-mabukan di pesta dansa. Sang viscount dikatakan gemar bermain judi dan tidak akan ragu mencelakai musuh-musuhnya. Meskipun begitu, sang viscount cukup cerdas untuk menjaga aksinya tetap bersih. Orang-orang menakuti setiap kecaman yang dilancarkannya secara tepat sasaran, tapi kelihatannya William dan teman-temannya tidak merasa gentar akan hal itu.
“Aku butuh bantuanmu untuk mempersiapkan semuanya, apakah kau keberatan untuk tinggal lebih lama disini.”
“Tentu saja. Aku akan menulis surat pada Ellie untuk memberitahunya kalau aku akan tinggal lebih lama.”
Daphne melompat kegirangan. Wanita itu menunduk untuk mencium wajah Greta kemudian berjalan dengan penuh semangat menuju pintu.
“Aku akan meninggalkanmu beristirahat,” ujar Daphne. Langkanya terhenti di ambang pintu. Ketika teringat sesuatu, wanita itu berbalik menatap Greta yang masih duduk di sofa. Kedua matanya menyipit dan Daphne terdiam seolah sedang menimbang sesuatu dengan serius.
“Apa?”
“Menurutku dia suka padamu.”
“Siapa?”
“Cleveland. Tidak ada laki-laki yang memberiku mantelnya secara suka rela. Jelas kalau dia melihatmu.”
“Jangan konyol.”
“Keluarlah malam ini untuk pesta kecil di dekat pondok! Ingat bahwa aku terus mengawasimu..!”
Daphne bergerak keluar dan menutup pintu secara dramatis untuk menggodanya. Sementara Greta tidak bisa menahan tawanya melihat aksi wanita itu. Kemudian begitu ia ditinggalkan sendirian, kesunyian baru terasa memekakan. Greta melepas mantel yang melingkari pinggulnya kemudian mengempaskan tubuhnya yang ramping di atas kasur. Sembari menatap langit-langit kamar, ia memikirkan laki-laki itu: genggaman kuat Cleveland di pinggulnya saat laki-laki itu berusaha menahan Greta akan tidak jatuh, kedekatan mereka, atau bahkan senyum paling menawan yang ditunjukkan sang earl ketika laki-laki itu mengantarnya sampai di lorong tadi. Semua aksi kecil itu membuat darahnya berdesir. Greta tidak pernah merasakan hal yang sama dengan semua pria yang dijumpainya selama ini dan rasanya begitu konyol sekaligus menyakitkan, terutama ketika Greta mengingat bagaimana sang earl mengabaikan apa yang disampaikan Greta tentang perasaannya terhadap laki-laki itu. Rasa malu seketika membuat Greta mengubur wajahnya di atas kasur. Ia mengutuki dirinya dan bersumpah tidak akan mengatakan hal sekonyol itu lagi.