Puncak kegilaanku saat terbius oleh seorang artis dangdut dari kampung sebelah, Grace. Penyanyi dangdut yang usianya selisih 16 tahun denganku, namun aku tak peduli dengan usia, bahkan dengan statusnya yang sudah tidak single lagi.
Tante Grace bersuamikan Bang Zaenal, nama panggungnya pun Grace Zaenal. Aku tergila-gila dan mabuk kepayang oleh Tante Grace, melebihi orang yang terkena pelet dari dukun sakti.
Aku bahkan rela melakukan apa pun demi dia. Termasuk menjadi ojek pribadinya secara gratis. Dimana pun dia manggung, jika tidak ditemani suaminya, maka dengan penuh percaya diri dan sedikit songong, aku menawarkan diri jadi bodyguardnya.
Bukan hanya sekolah yang hampir acak-acakan, aku pun hampir masuk kandang karena sering terlibat adu jotos dengan beberapa penonton yang aku pikir sudah kelewatan dan kurang ajar saat berjoget dengan Tante Grace.
Tante Grace tidak terlalu cantik. Dia bukanlah seorang primadona panggung. Aku mulai kehilangan akal sehat hingga rela menjual dan menggadaikan barang-barang pribadiku, termasuk motor pemberian orang tua. Semua aku lakukan demi memblokir para penjoget lain yang ingin menggoyang artis idolaku di atas panggung.
Kemarahan dan nasihat orang tua dan keluarga sudah tidak mempan lagi. Nasihat dari para sahabat dan kerabat pun semua aku abaikan. Aku benar-benar jatuh cinta pada wanita berusia 34 tahun yang sudah bersuami dan beranak dua.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Tante Grace menerima cintaku dengan setulus hati. Kami menjalani hubungan gelap secara sembunyi-sembunyi. Terutama bersembunyi dari suaminya yang seorang residivis.
Dengan berbagai cara, aku berusaha mendekati Bang Zaenal, kalau perlu menjadi murid kesayangannya agar bisa lebih leluasa dekat dengan istrinya. Lelaki berbadan kekar, berwajah horor mirip pemain film laga legendaris, Advent Bangun itu hatinya luluh.
Akhirnya aku dipercaya untuk menjadi pengawal istri seorang preman yang sangat ditakuti dan disegani karena reputasinya sebagai pelaku kriminal tindak kekerasan dan penganiyaan yang tak kenal belas kasihan.
Aku dan Tante Grace bersorak kegirangan karena memiliki kebebasan untuk melampiaskan hasrat asmara dan birahi cinta kami yang kian panas bergelora. Di belakang Bang Zaenal, aku lebih disayang dan diperhatikan Tante Grace.
Tante Grace pun semakin tergila-gila denganku karena suaminya yang berpenampilan gagah laksana si Hulk itu, tak mempu memberikan kepuasan batin pada istrinya. Keperkasaan di atas ranjang tak mampu mengalahkan aku yang hanya brondong polos dengan perawakan yang tinggi langsing.
Aku telah berhasil menjerat Tante Grace dengan tampang dan keperkasaan si Bangla. Antara aku dan Tante Grace tak ada lagi hitung-hitungan uang. Hampir sebagian besar penghasilan dia di atas panggung diberikan padaku. Hingga aku mampu menebus kembali motor yang digadaikan.
Baru kali itu aku merasakan sensasi ngeri-ngeri sedap berpetualang ranjang dengan istri seorang manusia raja tega. Melampiaskan hasrat b******a yang tak pernah padam sekaligus menjaga rahasia agar jangan sampai ketahuan suaminya. Jika sampai dia mengetahuinya, maka kelar lah hidup kami berdua.
Ketika sudah lulus sekolah, aku mulai bosan, capek dan menyadari segala kebodohan itu. Namun tak semudah itu melepaskan diri dari Tante Grace, karena justru dia yang terlanjur tergila-gila si Bangla.
Setahun kemudian, Tante Grace pindah entah kemana dengan suaminya. Sejak saat itu kami tak pernah bertemu lagi.
Pukul 19.58 WIB. Motor memasuki wilayah hutan angker yang sangat sepi dan mencekam.
"Wil, kamu merasakan sesuatu gak?" tanya Tiara dengan suara yang bergetar.
"Pastilah, pegangan kamu pada si Bangla makin keras dan kuat gitu, masa gak merasa, hehehe," jawabku asal.
"Iiih! malah bercanda" Tiara mencubit perutku. "Ini sudah masuk hutan angker kan, Wil?" Tiara berbisik.
"Dari tadi kali. Emang kenapa?" tanyaku seraya tersenyum m***m.
"Pantesan, aku merasa seperti ada yang ngikutin kita, gak tahu bulu romaku kaya berdiri semua, Wil." Tiara makin merapatkan tubuhnya.
"Masa sih, Itu cuma perasaan kamu aja, Sayang," hiburku.
"Serius Wil, sumpah!" Tiara makin serius.
"Tenang Sayang, aman kok. Angker juga bagi para penakut, kan ada aku. Masa kamu gak percaya aku yang udah terbiasa lewat sini. Gak usah banyak pikiran, fokus aja pegangan sama si Bangla, biar gak takut, oke." Aku terus menghiburnya.
Tiara tak menjawab dan tangannya kembali meremas dan mengelus si Bangla yang makin panas dan keras. Konsentrasiku mulai kabur dengan pikiran yang semakin ambyar. Laju motor pun sedikit oleng karena tahanan pada stang sedikit terganggu.
Si Bangla yang hampir seluruhnya keluar dari celana, sepertinya menuntut perlakuan lebih. Dia ingin mendapat ruang dan tempat yang lebih bebas untuk menunjukan ekspresinya.
Ketika sampai di jalan yang cukup landai dengan pepohonan yang tidak terlalu rapat aku pun menghentikan motor dan mematikan mesinnya. Hanya sinar rembulan yang pucat melalui celah-celah dedaunan yang menerangi kami.
"Kenapa berhenti di sini, Wil?" Suara Tiara makin bergetar.
"Kita di sini aja ya, Sayang," jawabku perlahan.
"Di sini mau ngapain lagi, Wil?" Tiara kembali bertanya dengan nada sedikit tersentak.
"Si Bangla sepertinya udah gak kuat untuk melanjutkan perjalanan. Dia ingin diberikan diservice lebih. Udah gak bisa lagi diajak jalan, harus dilemaskan dulu," jawabaku sambil menstandarkan motor.
"What?" Tiara berseru. "Wildan! ini di tengah hutan. Kamu kan tahu ini hutan angker, gimana sih? Aku gak berani, Wil!" Tiara melepaskan genggamannya. Lalu memeluk perutku seraya menyembunyikan wajah di punggungku.
"Kan ada aku, masa takut?"
"Masa di tengah jalan begini, kalau ada orang yang lewat gimana?"
"Siapa yang mau lewat sini? cuma aku dan kamu doang yang malam ini berani lewat sini, hehehe," hiburku sambil melepaskan pelukannya.
Dengan sangat pelan aku memiringkan kepala lalu menciumnya dengan mesra. Tiara membalas ciumanku. Kedua tangannya makin kuat memeluk perutku. Penyanyi dangdut yang dulu sangat ukhti ini, lambat laun mengendorkan syarafnya dengan napas yang mulai menanjak.
"Wil, sumpah aku gak kuat, takut," Tiara kembali protes.
"Hmmm."
"Wil pulang yu!"
"Si Bangla udah gak kuat, Sayang. Santai aja, nanti di rumah lain lagi. Dimana pun yang penting 'Jangan Lupa Bahagia', iya gak?"
"Aku takuuut, Wil."
"Makanya turun dulu dari motor, sebentar aja."
Beberapa saat Tiara terdiam. Tampaknya dia pun sedang berpikir-keras. Aku yakin gairahnya sudah memuncak sementara rasa takut pun sedang bertarung dalam hatinya.
Dengan sangat pelan aku memiringkan kepala lalu menciumi pipinya dengan mesra. Tiara membalas ciuman di bibirku. Kedua tangannya makin kuat memeluk pinggangku. Penyanyi dangdut yang dulu sangat ukhti ini lambat laun mulai mengendorkan syaraf dan membuang ketakutannya dalam deru napas yang mulai menanjak.
Di pinggir jalan, di atas motor yang distandarkan miring, aku dan Tiara b******u mesra saling melabuhkan gairah dan hasrat yang terpendam. Tiara janda dua kali yang sudah lama memendam rasanya pada tak kuasa lagi menolakku.
"Kita turun dulu sebentar, yu, Sayang!" ajakku lagi.
"Mau kemana lagi? Ini di tengah hutan, Wil?" Tiara menatapku ragu.
"Tenang, Sayang, aman kok. Percayakan pada si Bangla, hehehe."
Tiara yang sudah terhipnotis dengan cumbuanku yang mungkin saja sudah dia impikan sejak lama, akhirnya turun dari motor mengikutiku yang sudah lebih dulu turun.
"Sayang, jangan di sini, mending kita pulang, yu," Tiara mempererat pelukannya. "Aku gak mau. Sumpah aku takut. Aku bener-bener takut, Wil." Tiara menyembunyikan wajahnya di dadaku.
"Kamu gak merasa ada sesuatu yang memandangi kita? Coba lihat deh ke pohon besar di belakangmu. Ada dua bayangan hitam yang ngintipkita, Wil." bisik Tiara dengan suara yang makin mendesah. Sekujur tubuhnya terasa sangat dingin.
"Masa sih?" tanyaku tanpa menoleh ke belakang. Bulu kudukku mulai sedikit merinding. Samar-samar aku pun mencium bau sesuatu yang tak aku kenali.hio atau mungkin kemenyan.
"Kamu mencium bau yang aneh gak?" Tiara kembali bertanya.
"Iya sih, tapi aku benar-benar gak tahan. Kalau gak sekarang mau kapan lagi, tanggung kita sudah hampir telajang sayang,” rayuku tak menyerah.
“Kamu berani tanggung jawab kalau ada sesuatu?” Tiara masih meragukan.
“Aku jamin aman dan semua akan baik-baik saja, kamu rileks aja dulu sauang. Nikmati senasainya dan resapi auranya." Aku tak mau mengalah. Ini benar-benar kesempatan emas yang tak boleh aku lewatkan. Kapan lagi bisa b******a di tempat seangker ini. Jarang ada wanita yang mau konyol begini.
“Will, aku nyerah. Aku gak tahan, takut. Ini hutan angker beneran." Tiara menyembunyikan wajahnya di leherku.
Aku segera membalikan tubuh Tiara, membelakangiku. Lalu memeluknya dengan sangat kuat dan mesra. Napas Tiara mulai memburu, bagian tubuh belakangnya mulai menengang terkena tekanan si Bangla yang keras.
"Hmmmm," gumam Tiara. Tampaknya sentuhan si Bangla memberikan getaran rasa yang tidak biasa. Perlahan namun pasti dia mulai bergoyang mengikuti gerakanku.
Aku tersenyum penuh percaya diri. Lambat laun Tiara mulai mengikuti irama permaiannku. Cita-citanya untuk dipeluk dan merasakan si Bangla sebentar lagi akan kesampaian. Ini akan memberinya pengalaman tersendiri. Aku harus membawanya pada fantasi terliar yang selalu menggoda dalam benakku.
“Ini namanya sensasi hutan angker, Sayang. Beda banget kan rasanya?” bisikku.
Tiara mengangguk pelan seraya memegang si Bangla. "Hmmmm," gumamnya. Tampaknya sentuhan batang si Banglaku pada pantatnya, memberikan getaran rasa yang tidak biasa. Dia mulai bergoyang perlahan dan aku pun mengikutinya lembut.
^^^