2021
Japan — Kyoto
.
.
.
Suara teriakan dan hentakan kaki yang seirama saat pedang kayu digerakkan ke depan sebagai tolak ukur tenaga terdengar menggema memenuhi seluruh aula latihan.
Di ruangan 328M² itu ada sekitar tiga ratus remaja mulai dari yang usianya lima belas tahun hingga dua puluh tahun, yang berlatih dengan Keikogi lengkap.
Keikogi sendiri adalah pakaian sejenis Gi atau jaket dan Hakama yang terbuat dari bahan katun tebal yang ditujukan untuk melindungi pemakai dari luka goresan, serta di desain untuk mengurangi efek benturan juga untuk membuat penggunanya lebih bebas bebas bergerak daripada menggunakan celana biasa yang sering mereka pakai sehari-hari. Selain Keikogi, mereka juga menggunakan Tare, atau pelindung pinggang yang terdiri dari Wakihimo dan Haraobi juga Oodare atau Kodare yang berbentuk seperti penutup besar dan kecil untuk melindungi daerah paha. Bukan hanya itu, mereka juga memakai Kote atau lebih dikenal sebagai sarung tangan yang menjadi modal utama para murid untuk berlatih, agar tangan mereka tidak terluka atau kapalan parah saat memegang pedang kayu. Atau Katana kayu.
Meski sebanarnya pedang kayu tidak seberat pedang besi, tapi Togashi tetap memberlakukan pemakaian Kote yang terbuat dari bahan kulit sapi dengan tingkat fleksibilitas yang tinggi, tujuannya tentu untuk tidak membuat tangan para muridnya terluka karena latihan berat yang diberikan oleh Togashi.
Selain Keikogi, Tare, Kote, mereka juga menggunakan Do, atau pelindung bagian d**a yang terbuat dari serat plastik dan kulit, yang dihubungkan menggunakan tali dari bahan kulit yang sama, mereka juga diwajibkan menggunakan Men atau pelindung kepala yang dibuat dengan kisi-kisi pelindung wajah yang terbuat dari campuran logam dan duralium, yang juga dilengkapi oleh Menfuton, atau kain tebal memanjang hingga ke bagian bawah leher yang ditujukan untuk melindungi area tersebut saat latih tanding berlangsung.
Hanya saja, semua perlengkapan itu tidak pernah berlaku untuk Megumi.
Kadang, gadis berambut panjang yang selalu dia kuncir kuda ini hanya akan berkomentar iri pada dirinya sendiri karena tidak pernah mendapat perlakuan yang sama dari ayahnya. Namun, memang seperti itulah dia dilatih. Tanpa pengaman, tanpa aturan dasar kompleks yang diberikan padanya untuk melindungi diri dari serangan. Karena, selama ini ayahnya selalu mengajarkan Megumi untuk bisa menahan semua serangan-serangan itu, meski hanya dengan kulit dan sedikit daging yang terkoyak.
Sambil menonton para murid lain latihan dari sisi tepi aula, beberapa kali Megumi selalu melihat telapak tangannya yang diperban dan masih sedikit mengeluarkan darah.
Kemarin, setelah dilatih sangat keras oleh ayahnya, telapak tangan gadis cantik dengan sepasang mata bulat besar dan wajah oval yang mungil itu terluka, banyak goresan yang terlalu dalam, hingga mengeluarkan darah dan rasanya pun sangat perih jika harus dia mengeluh, hanya saja Megumi selalu tidak pernah berani melakukannya. Karena setiap kali dia mengeluh, maka Togashi — ayahnya — akan langsung memberikannya hukuman dengan bermeditasi di ruangan gelap di salah satu bangungan Dōjō yang tidak pernah disentuh siapa pun.
Bangunan itu berada jauh di belakang rumah atau pun Dōjō. Berada di paling belakang dan jauh dari apa pun, tentu saja menjadikan ruangan itu sangat sunyi, bahkan Togashi Ozusha sama sekali tidak mengizinkan satu pun anak didiknya melewati lorong atau hanya sejengkal pun wilayah bangunan itu. Benar-benar terisolasi.
Dengan semua itu, Megumi tidak ingin kalau harus dikurung di sana dengan alasan meditasi, karena jika dia sampai masuk ke dalam ruangan itu, maka Megumi tidak akan bisa keluar jika ayahnya belum mengizinkan. Dan itu bisa berlangsung selama berhari-hari. Tanpa makanan, tanpa minuman, bahkan cahaya.
Ya, selain bangunan itu terpencil, dikelilingi oleh pohon bambu yang rimbun, tak ada satu pun jendela di sana, tak ada ventilasi hingga membuat ruangan itu sangat pengap, sangat sunyi hingga membuat telinga pengang dan terasa sakit. Dan butuh tiga hari untuk telinganya kembali berfungsi normal setelah dia ke luar dari bangunan itu.
“Hoa!”
Teriakan, hentakan dan empasan suara pedang kayu yang diayun penuh kekuatan terdengar nyaris memekakan telinga siapa pun yang tidak terbiasa dengan semua itu. Tapi bagi Megumi itu adalah musik harian yang tidak pernah membuatnya bosan.
Setiap hari, sekitar satu jam, murid-murid itu akan berlatih bersama, mengayunkan pedang dengan irama dan gerakan yang sama, setelah itu mereka diharuskan melakukan latih tanding satu lawan satu dan bertarung tanpa ampun, hingga satu dari dua siswa itu mengakui kekalahan mereka, bahkan Togashi tidak peduli kalau salah satu dari muridnya harus muntah darah karena luka dalam sekali pun.
Karena bagus semua murid yang ada di sana, kekalahan artinya kehilangan kehormatan. Dan hal itu, membuat siapa pun enggan untuk mengakui bahwa mereka menyerah.
Terdengar mengerikan, karena mereka akan seperti itu dalam balutan Keikogi lengkap tanpa ada siapa pun yang bisa melihat darah mereka mengalir dari mulut atau sebiru apa lebam di tubuh mereka nantinya, usai Keikogi mereka dilepas. Karena memang seperti itulah cara mengajar Togashi setiap hari.
.
.
“Jika kau ingin bertahan hidup, maka kau harus bertarung.”
.
.
Kalimat yang selalu diulang dan diulang oleh Togashi pada anak didiknya selama bertahun-tahun. Bahkan tak sedikit alumni dari Dōjō Ozusha -Shi menjadi salah satu pelatih dan mengabdikan diri mereka untuk Dōjō.
Megumi pikir, semua itu adalah hal yang biasa dan hanya sebagai bentuk loyalitas juga bentuk rasa terima kasih mereka, karena Klan Ozusha sudah banyak sekali membantu para murid yang berlatih di Dōjō ini, hingga menjadi bagian penting dari pekerjaan mereka masing-masing.
Dengan ketsngguhan mental dan fisik itu, tidak akan pernah menjadikan mereka canggung dalam dunia keras di luar Dōjō, jika mereka sudah menapaki bisnis mereka masing-masing, dan hal tersebut sudah terbilang lumrah hingga tidak pernah ada hal yang terlihat aneh dalam bisnis tiap klan.
Sama seperti klan Ozusha. Ketiga klan lainnya juga mendapat perlakuan yang sama dari alumni murid mereka, bahkan tak jarang ada yang mengabdi hingga mereka wafat dalam pelayanan mereka di klan tersebut.
Ketiga klan lainnya tidak jauh berbeda dengan klan Ozusha yang mengajarkan ilmu pedang. Mereka pun melakukan hal yang sama meski tidak menggunakan pedang sebagai dasar ilmu mereka.
Dan selama ratusan tahun, keempat klan selalu saling membantu dan melindungi, meski sebenarnya di balik semua itu Megumi selalu tahu kalau dalam keinginan mereka ada hasrat untuk memiliki dan memanipulasi pewaris Taika untuk kepentingan mereka sendiri.
Setelah tiga jam berlalu, latihan sesi pertama pun selesai dan Megumi memilih untuk berdiri dan menyingkir sebentar untuk mencari udara segar karena atmosfer kuat dari para murid yang sedang berlatih terasa sangat mengganggunya, hanya saja saat dia ke luar dari aula, dia melihat beberapa orang pria memakai setelan jas lengkap berjalan bersamaan bersama salah seorang murid yang entah siapa namanya.
Ya, jelas saja Megumi tidak bisa mengingat satu per satu nama mereka yang berlatih di Dōjō ini, karena jika harus dia hitung, semua murid yang berlatih di bawah bimbingan Togashi — ayahnya — mungkin ada sekitar lima ribu orang lebih, dibagi ke dalam hari dan sesi latihan yang berbeda.
Orang-orang itu berjalan melewati Megumi. Berbeda dengan murid dari Dōjō yang terlihat sangat sopan padanya, orang-orang itu sama sekali angkuh, terlihat sangat sombong. Bahkan saat Megumi mencoba memerhatikan mereka, salah satu dari mereka yang beridiri di barisan paling depan meliriknya tajam sambil sedikit mengulas senyum dingin. Sementara orang-orang yang berjalan di belakang mengikutinya lebih terlihat sangat angkuh dari orang pertama, selain itu terlihat seorang pria yang membawa sebuah koper bersamanya.
Orang-orang itu ada sekitar enam orang bersama seorang pria berwajah keras dengan rahang tegas, wajah pria itu memiliki guratan panjang dari bawah tulang pipi hingga ke atas dagu di kedua pipinya, guratan itu terlihat jelas saat pria tersebut menyunggingkan senyum. Sepasang matanya berwarna abu-abu muda, dengan alis senada warna rambutnya yang berwarna pirang terkesan putih.
Tanpa mengatakan apa pun, murid itu langsung membawa orang-orang tadi masuk ke dalam aula latihan di mana Togashi berada, hanya saja ayahnya itu tidak langsung menyambut kedatangan mereka. Togashi hanya terlihat duduk pada bantalan di bagian paling depan aula sambil memoles Katana miliknya dengan kapas dan minyak khusus.
Sungguh tidak biasa di mata Megumi, karena setiap kali ada tamu datang, sesibuk apa pun Togashi, ayahnya itu akan langsung menghampiri tamunya dan membawa mereka ke ruangan pribadi di sisi lain aula untuk melanjutkan diskusi mereka, tapi tidak kali ini.
Saat orang-orang itu masuk, seluruh murid yang mayoritas adalah laki-laki diminta langsung keluar dari aula hingga yang tersisa hanya mereka.
Karena tidak ingin dicurigai, Megumi memilih bersebunyi di balik Shoji, pintu geser kayu yang dilapisi kertas tipis yang menjadi sekat pemisah aula dengan koridor.
Megumi pikir, dari tempatnya, dia bisa mendengar apa yang orang-orang itu dan ayahnya bicarakan, tapi ternyata tidak. Dia hanya bisa melihat, bagaimana ayahnya duduk pada banta duduk di lantai sambil terus mengelap Katana miliknya seolah dia tidak peduli atau bahkan mengharapkan kedatangan orang-orang itu, bahkan saat salah satu dari orang-orang itu terlihat mengeluarkan sebuah koper yang mereka bawa, membukanya, memperlihatkan isi di dalam koper itu pada Togashi namun masih tidak membuat pria dengan sepasang alis tebal itu terlihat antusias.
Togashi hanya diam sambil terus fokus pada Katana di tangannya. Hingga orang-orang itu terlihat menyerah kemudian berjalan kembali keluar.
Seperti yang para penguntit lainnya lakukan, Megumi juga tidak ingin ketahuan karena sudah mencuri dengar percakapan orang lain, jadi gadis dengan rambut panjang itu segera melarikan diri dari sana, kemudian bersembunyi di balik Shoji ruangan lain.
Dia harus berkata kalau dirinya beruntung, karena dari latihan berat yang ayahnya berikan setiap hari, langkah Megumi selalu terasa sangat ringan hingga tidak menimbulkan bunyi meski di lantai kayu sekali pun. Berbeda dengan orang-orang itu, langkah masing-masing dari mereka terdengar sangat berat, terentak setiap kali mereka melangkah.
“Pastikan dia menerima tawaran kita.” Ujar salah satu dari mereka. Hanya saja, karena dia sedang bersembunyi, Megumi tidak bisa melihat orang yang mana yang baru saja bicara.
Setelah tidak lagi mendengar suara langkah orang-orang itu, Megumi memberanikan diri untuk keluar dari tempat dia bersembunyi, namun betapa terkejutnya dia saat dia melihat Togashi — ayahnya — sudah berdiri entah sejak kapan di depan pintu. Segera saja Megumi membungkuk dengan wajah, lutut dan telapak tangan berada sejajar di lantai, memberi hormat pada Togashi.
“Aku sudah berkali-kali mengajarkan padamu tentang sopan santun, bukan?” ujar Togashi tanpa melihat wajah Megumi.
Sepasang mata indah gadis berambut panjang ini bergerak gelisah. Meskipun ikatan darah antara ayah dan anak sangat kental dalam tubuh mereka, tapi bukan berarti Megumi bisa berbuat seenak hatinya, di dalam Dōjō ini dia tetaplah seorang murid. “Ma— maafkan aku.”
Masih mempertahankan arogansinya, Togashi hanya melirik Megumi yang masih belum mengangkat wajah dan terus membungkuk di hadapannya penuh rasa bersalah.
“Aku akan pergi, kau urus murid yang lainnya.”
Begitulah, setelah Togashi mengatakan apa yang ingin dia katakan, Megumi kembali menjawab ‘iya’ dengan suara lembut penuh ketegasan dalam setiap maknanya.
Selesai dan merasa cukup memberikan instruksi pada Megumi, Togashi pun berjalan menjauh dan saat itulah, Megumi mulai bisa mengangkat kepala untuk kembali berdiri seperti semula.
Dilihatnya punggung lebar dan kokoh milik Togashi yang berbalut Keikogi dan Hakama berwarna hitam dengan lambang klan dengan tulisan “ * ” yang berarti Api, dengan lingkaran berbentuk diagram segel membungkusnya. Untuk pertama kalinya, Megumi merasa kalau punggung kokoh itu terlihat sangat gentar.
Sesuai instruksi yang diberikan oleh ayahnya, Megumi memilih kembali ke dalam Dōjō, memastikan kalau semua murid akan berada dalam pelatihannya setelah ini.
“Ketua mau pergi ke mana?” tanya seorang murid yang sudah belajar dengan Megumi sejak kecil, nama pemuda itu adalah Takanori Eijima, seorang remaja bertubuh tinggi berkepala plontos dengan sepasang mata sipit yang terlihat sangat tajam.
Selain belajar bersama dengan Megumi sejak kecil, Takanori Eijima juga sudah memiliki potensi paling bagus di antara semua murid lainnya. Bahkan terkadang, Togashi sering membandingkan Megumi dengan pemuda berkepala plontos itu untuk semua hal.
“Entahlah, ayah hanya biang kalau dia menyerahkan sisa latihan ini padaku.”
“Benarkah? Tidak biasanya ketua pergi di tengah latihan, bukan?” Eijima berkomentar, namun dijawab gelengan ringan lagi oleh Megumi.
“Hei, kau sudah makan siang? Aku baru saja kembali dari ruang penyimpanan dan belum makan sama sekali sejak pagi, sekarang perutku sangat lapar bagaimana kalau kita makan bersama?” ajaknya lalu dijawab anggukan yang sama oleh Megumi.
_