Bab 01

1032 Kata
2021 Japan — Kyoto. . . . Setiap hari, sepanjang tahun, selama hidupnya, Megumi Ozusha tidak pernah meninggalkan Dōjō yang sudah dibangun oleh kakek buyutnya sejak generasi pertama. Tiga ratus tahun lalu, hingga detik ini dan masih berdiri sangat kokoh. Di tempat ini dia selalu ditempa, dilatih dengan sangat baik dan terus diajarkan nilai-nilai luhur yang tidak pernah ditinggalkan oleh orang tuanya, nilai yang selalu diajarkan oleh kakek kepada cucunya, hingga buyut kepada cicit mereka. Megumi adalah salah satu dari yang beruntung karena memiliki silsilah keluarga yang sangat menjaga nilai-nilai luhur tentang tradisi kuno, karena ketika ayahnya menjadi pewaris dan penerus Dōjō setelah kakeknya Karakuro Ozusha meninggal, secara otomatis semua pengetahuan tentang keluarga dan leluhurnya diturunkan langsung oleh ayahnya — Togashi Ozusha — pada Megumi. Dōjō Ozusha -Shi adalah Dōjō Kendo tertua dengan penerapan ilmu pedang paling klasik yang pernah diajarkan oleh Dōjō lainnya di Jepang. Klan Ozusha sendiri adalah satu dari empat klan besar yang masih tersisa dan terus memelihara kekuatan murni yang mereka sebut sebagai Taika. Kekuatan jiwa yang bisa direfleksikan menjadi media apa pun, yang terkuat di alam. Hanya saja, dalam seratus generasi hanya akan satu pewaris yang bisa menguasai dan mengendalikan Taika dalam dirinya. Karena Taika sendiri adalah jenis refleksi jiwa yang identik dengan kekuatan paling besar, tidak sedikit yang ingin menggunakan Taika sebagai kekuatan penghancur paling dahsyat. Hanya saja, selama lebih dari dua ratus tahun, tidak pernah ada satu pun keturunan dari empat klan yang berhasil menguasai Taika, hingga Taika mulai disebut sebagai legenda, bahkan tak jarang beberapa orang menganggapnya sebagai omong kosong. Setiap hari, setelah pulang sekolah, Megumi selalu dilatih dengan sangat keras oleh ayahnya. Setiap kali Togashi menyentuh tangan Megumi, remaja perempuan berusia lima belas tahun ini bisa merasakan bagaimana besar dan kasarnya tangan seorang pewaris Dōjō itu,  juga tonjolan-tonjolan penuh kulit mati di telapak tangan ayahnya yang terjadi dari hasil latihan keras selama puluhan tahun. Seolah tidak ingin melukai tangan Megumi, Togashi selalu menempatkan tangannya sedikit mengambang di atas punggung tangan anak gadisnya itu, membimbing Megumi untuk setiap gerakan baru yang belum benar-benar dikuasai olehnya. “Ketika kau mengayunkan pedangmu, ada jiwa yang ikut terbawa bersamanya. Jadi, lakukan setiap gerakan dengan tulus, karena jika kau melakukannya dengan benar maka ruh dari pedang akan keluar dan ikut bertarung bersamamu, hal ini juga berlaku sebaliknya.” Ujar Togashi masih terus membimbing tangan Megumi untuk terayun lembut ke kanan dan kiri, seolah menyayat angin dengan gerakan yang sangat pelan namun siapa pun bisa melihat kalau ketegasan ada di dalamnya. Katana yang dipegang Megumi terus terayun, sesekali ke atas melewati kepala hingga terus turun dengan gerakan menusuk sangat kuat, dengan irama kontras penuh ketenangan yang menyejukkan, namun tidak menyingkirkan kengerian yang tersisa. Bagi sebagian orang mungkin mengangkat sebuah Katana memang tidak akan mudah seperti kelihatannya. Karena sebuah Katana akan memiliki berat sekitar tiga hingga dua kilogram, tergantung dari material yang digunakan untuk membuat pedang itu sendiri. Tapi tidak untuk Megumi. Gadis berambut panjang yang selalu dikuncir kuda ini sudah diajarkan memegang Katana oleh Togashi sejak usianya menginjak empat tahun. Bukan pedang kayu yang harusnya dikenalkan pada anak-anak, tapi pedang sesungguhnya. Tubuh Megumi yang masih sangat kecil waktu itu selalu dipaksakan oleh Togashi untuk berlatih menggunakan pedang yang sesungguhnya. Mengangkat benda yang tidak seharusnya diangkat oleh anak dengan bobot yang mungkin tidak jauh berbeda dengan apa yang sedang diangkatnya sekarang, tapi Togashi sama sekali tidak pernah memberi toleransi pada anak perempuannya tersebut. Bukan tidak jarang Megumi kecil menangis, merajuk, terkadang lainnya, Megumi kecil juga pernah mencoba mengurung diri untuk bersembunyi dari latihan berat yang diberikan ayahnya setiap hari. Namun gagal. Latihan keras yang diberikan Togashi padanya selalu sukses membuat telapak tangan anak itu berdarah-darah, hingga berhari-hari dia kesulitan melakukan kegiatan kesehariannya, seperti belajar, menulis, atau bahkan berpegangan saat menaiki kereta untuk pergi ke sekolah. Hanya saja, Megumi selalu kembali dan kembali lagi pada latihan berat yang diberikan ayahnya, karena setiap hari juga Togashi selalu mengatakan kalau dia harus siap.  Siap untuk apa? Peperangan? Perang apa? Bukankah kedamaian sudah ada sejak seratus tahun terakhir, tidak ada lagi yang berperang untuk memperebutkan wilayah hanya untuk sebuah kekuasaan. Setidaknya itu yang Megumi tahu. Tapi pertanyaan sederhana itu tidak pernah bisa dijawab Togashi. “Ayah ...,” panggil Megumi di tengah latihan, “kapan aku bisa menguasai semua teknik yang kau ajarkan padaku?” Tapi seperti biasa, Togashi tidak pernah menyahut setiap kali Megumi memanggilnya di tengah latihan mereka. Tangan besar Togashi masih terus membimbing Megumi melakukan gerakan yang lebih mirip sebuah tarian. Karena jika dia sebut sebagai latihan berat, ini sama sekali tidak bisa dikategorikan sebagai latihan berat dan lebih bisa disebut sebagai latihan yuk mengatur Chi dalam tubuh dan aliran pernapasan biasa. Sudah dua belas tahun sejak Megumi mulai dilatih oleh Togashi cara menggunakan pedang, tapi dia merasa kalau dia sama sekali tidak bisa menyaingi ayahnya meski hanya satu persen pun. “Kunci ilmu pedang adalah kesabaran.” Ujar Togashi menjawab pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh Megumi, “Meski kau ayunkan seribu kali setiap hari, belum tentu kau bisa menguasainya.” Togashi menggenggam tangan Megumi semakin erat setelah kalimatnya selesai. Gadis berambut panjang itu bisa merasakan bagaimana tonjolan-tonjolan kulit mati yang ayahnya miliki, terasa sangat kasar dan kuat, bahkan jika saja Togashi tidak bisa mengontrol kekuatannya, tangan pria berusia empat puluh dua tahun itu mungkin akan melukai tangan Megumi. Kesalahan yang sama. Itulah yang selalu Megumi lakukan saat konsentrasinya buyar. Membuat Togashi akan langsung tahu dan sangat marah untuk hal yang sama, yang selalu diulangi oleh putrinya. “Lakukan gerakan tadi sampai aku mengizinkanmu berhenti.” “Ba— baik.” Megumi menurunkan pedangnya, merapatkan sepasang kakinya sebelum membungkuk penuh hormat kemudian pada ayah sekaligus guru baginya. Sementara Megumi kembali mengambil kuda-kuda untuk memulai kembali latihannya dari awal, Togashi berjalan masuk, duduk di bangku bersila pada bantalan yang tersedia, sambil terus memerhatikan Megumi mengayunkan pedangnya. Megumi sudah melihat Togashi sejak dia masih jadi bayi merah dan memanggil pria itu ayah setiap hari, tapi sekuat apa pun hubungan darah mereka, Megumi tidak pernah tahu apa yang selalu dipikirkan ayahnya. Untuk apa dia terus melatihnya? Mengayunkan pedang, memperkuat pertahanan diri, tapi yang Megumi dapatkan untuk semua pertanyaan membingungkan itu hanya satu.  “Jika kau ingin bertahan hidup, maka kau harus bertarung.” _  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN