Angin yang dihasilkan oleh helikopter terasa sangat kencang, nyaris menerbangkan coat yang dipakai oleh Megumi, kalau saja dia tidak mengancing dan memasang resleting dengan benar sambil terus memeluk tubuhnya erat, mungkin coat itu akan benar-benar terbang bersama tas berisi makanan yang baru saja dia kumpulkan.
Dean yang tidak ingin Megumi tertinggal terus memegang tangan gadis berambut panjang yang sekarang sudah terlihat sangat berantakan, meski dia sudah mengikat rambutnya kencang.
Helikopter itu sudah setengah melayang dan siapa pun yang akan naik harus sedikit bersusah payah, sama seperti yang dipikirkan Dean. Saat dia mencoba naik, Dean mencoba membantu gadis itu, namun Megumi menolak karena dia bisa melakukannya sendiri.
Setelah mereka masuk ke dalam helikopter, Dean langsung membuang semua makanan yang dia ambil di swalayan tadi ke bagian belakang jok dan mulai sibuk dengan isi tas selempang miliknya. Megumi ingat kalau di dalam tas selempang itu ada monitor tab yang tadi selalu dipegang oleh Dean saat mereka masih di swalayan.
Mengikutinya dari belakang, Megumi melihat Carlos juga Hans berlari menghampiri mereka, hanya saja dua orang itu terlihat sangat waspada dengan seenjata yang mereka pegang berada di posisi siaga. Dan yang membuat menarik, dua orang itu terlihat memakai sebuah kacamata berwarna hijau cerah, padahal sebelumnya Megumi sama sekali tidak melihat dua orang itu membawanya. Namun, gadis ini tetap mencoba menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri untuk saat ini.
Tiba di helikopter, Carlos dan Hans memilih untuk bergelantungan di sisi kanan dan kiri pintu helikopter itu seperti moonyet, namun dengan ssenjata yan terlihat siap untuk memulai peperangan. Dua orang itu seperti terus bersiaga dan bersiap menembak untuk hal yang mungkin tidak bisa mereka prediksi datang dari bawah sana, atau dari sisi lain.
“Go! Go! Go!” teriak Hans setelah dia berpegang erat pada batanngan besi penyangga pintu dan memastikan kalau memang tidak ada apa pun di sekitar mereka sebelum meminta pilot untuk segera menerbangkan helikopter mereka.
“Perlihatkan posisinya.” Ujar Scott yang langsung direspons oleh Dean dengan mengeluarkan layar tab miliknya, kemudian dari layar berukuran tujuh inchi itu kembali memperlihatkan proyeksi bangunan-bangunan di mana titik-titik merah di sana terlihat semakin banyak.
Orang-orang ini terlihat sedikit berbeda dengan orang-orang yang biasa Megumi lihat beberapa tahun terakhir. Bukan hanya karena mereka masih bisa bertahan hidup, tapi juga peralatan dan perlengkapan hidup mereka yang juga terlihat sangat sempurna, begitu pun dengan kemampuan mereka dalam memprediksi semua hal, membuktikan bahwa orang-orang yang sekarang berada bersama Megumi di helikopter ini bukanlah orang-orang biasa.
Seperti sekarang, di dalam helikopter yang sudah mulai bergerak itu, Scott terlihat mulai sibuk mengisi amunisi untuk sennapan mesin dan beberapa revolver miliknya. Sementara Hans dan Carlos terus bersiaga dengan seenjata di tangan mereka, begitu pun dengan Dean yang sudah sibuk dengan dunia digitalnya.
“Kalian ... Rings dari AEGIS?” tanya Megumi spontan dan membuat semua perhatian tiba-tiba teralih padanya.
“Kau tahu kami?” tanya Dean sekaligus menjadi pertanyaan lain untuk Megumi. Siialnya, wajah pemuda dengan janggut halus di ujung dagunya itu terlihat sangat antusias, seantusias dia yang memberikan posisi di mana orang yang harus mereka selamatkan sekarang berada.
Megumi mengangguk, “Aku hanya pernah dengar kalau ada sekelompok orang yang menamai diri mereka sebagai Rings, the Soldier of the AEGIS dan berada di tempat bernama Sektor 72.”
“Lalu kenapa kau tidak pernah datang ke sana? Kalau dilihat dari keggilaanmu, kupikir kau bisa dengan mudah mencapai kami?” tanya Dean lagi, tapi tidak mendapat jawaban apa pun lagi dari Megumi. Gadis itu hanya menatap kosong pada seenjata-ssenjata yang sedang dipersiapkan oleh Scott, sementara Dean, masih terus saja mengoceh.
“Scott! Ada dua di bawah!” teriak Hans, namun dijawab tawa renyah oleh Carlos.
“Hahaha ... aku akan habisi mereka!” ujar Carlos — si pria berkulit hitam menyebalkan — sambil mengangkat ssenjatanya kemudian memberondong peluru entah pada apa di bawah mereka.
“Jangan buang amunisimu, Carlos! Kita butuh lebih banyak di dalam sana.” Ujar Scott itu pada Carlos yang masih sibuk menembaki sesuatu di bawah sana.
“Ch!” hardik Carlos sambil meludah saat tindakannya dilarang oleh Scott.
Sementara Megumi hanya bisa melihat bagaimana orang-orang dalam kelompok ini seperti sedang tidak akur satu dengan lainnya. Bisa dilihat dari bagaimana Scott memerintah dan anak buahnya yang seolah tidak mendengar dia sama sekali.
“Adrian! Kita berhenti di gedung depan sana!” ujar Dean pada pilot helikopter yang kemudian mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi.
“Hans, bersiap.” Kali ini Scott yang bersuara sambil memegang ssenjata di tangan kanannya, sementara tangan kiri dia gunakan untuk mengambil sebuah revolver, memasukannya ke dalam sarung di ban pinggangnya, juga beberapa granat tangan di tempat yang sama.
Helikopter yang dikendarai oleh Adrian bergerak perlahan hingga akhirnya mendarat sempurna di Roof Top sebuah gedung, bahkan sebelum helikopter itu benar-benar mendarat, Hans dan Carlos sudah melompat turun kemudian berlari masuk menggunakan pintu darurat. Begitu juga Scott, sebelum dia turun, dia memakai sebuah kacamata berwarna hijau cerah dan meminta Dean melaporkan berkala kondisi di dalam sana juga memberikan interupsi lain yang bisa menghindarkan mereka dari bahaya.
"Baik!" Dean menjawab penuh percaya diri.
Setelah Scott turun dengan perssenjataan lengkap, Megumi kembali mengalihkan perhatiannya pada Dean yang mulai memakai alat komunikasi, sementara perhatiannya terus tertuju pada monitor tab yang memperlihatkan titik-titik merah di sana.
[ “Di lantai berapa?” ]
Sepasang mata Megumi mendelik saat dia mendengar dengan jelas suara Hans dari sana.
“Dua lantai lagi.”
Tanpa bertanya, Megumi terus memperhatikan bagaimana titik-titik di dalam layar monitor itu terus bergerak mendekat pada titik-titik merah di bagian atas gedung yang mungkin itu adalah Hans, Carlos dan Scott yang berusaha meraih satu titik merah tepat di satu lantai di bawah mereka.
Bukan hanya monitor tab yang digunakan oleh Dean untuk melihat pergerakan mereka di dalam gedung dengan tampilan tiga dimensi itu, tapi dia juga mengambil sebuah laptop yang dia taruh di dalam tas lainnya, dan saat Dean menyalakan laptop itu, tampilan yang diperlihatkan benda itu jauh lebih canggih dari monitor tab yang pertama.
Dalam layar berukuran empat belas inchi tersebut terlihat susunan-susunan pipa saluran air, kabel listrik, lorong-lorong dengan warna dan kalkulasi ukuran yang berbeda satu dengan lainnya, bahkan jalur sempit seperti lift laundry sekali pun terlihat sangat detail di sana bersama titik-titik merah itu.
“Itu— “
“Phantom.” Dean memotong ucapan Megumi, “dan ini, Scott, Hans lalu Carlos, kemudian di sini target kita.” Tunjuk Dean satu persatu.
“Apa mereka bisa melihat makhluk itu?”
“Tentu saja, kau lihat kacamata yang mereka pakai?” tanya Dean dan Megumi mengangguk, “itu cara mereka melihat Phantom. Itu adalah Night Vision Infra Red, safety military yang kami kembangkan agar kami bisa melihat mereka.”
Megumi diam, dia hanya melihat bagaimana tiga titik merah di lantai paling atas itu terus bergerak turun untuk mencapai satu titik di sudut gedung, sementara di bawah mereka mungkin sekitar sepuluh titik merah bergerak cukup cepat mendekati ketiga orang itu.
“Makhluk itu ... bukannya mereka bisa melihat, 'kan?” tanya Megumi.
“Ya, dan sensor panas yang ditangkap oleh kacamata itu membantu kita melihat mereka, menangkap sensor panas mereka, hingga saat kau menggunakan kacamatanya kau bisa melihat dengan jelas seperti apa bentuk makhluk-makhluk itu.”
“Kalian ... apa?” pertanyaan tidak sempurna itu meluncur begitu saja dari Megumi, namun Dean seolah paham dan langsung menjawabnya.
“Kacamata itu bukan hanya menangkap sensor panas dan memberikan tampilan jelas dalam gelap, tapi kami juga mengembangkan banyak fitur visual agar pemakainya bisa melihat dengan jelas seperti apa bentuk Phantom yang sebenarnya.” jelas Dean sambil terus sibuk memandu.
Lagi-lagi Megumi tidak merespon, dia masih berusaha fokus pada layar-layar monitor di hadapan Dean. Meski begitu, Megumi tidak bisa menolak untuk mengakui kalau orang-orang ini ternyata tidak keluar begitu saja seperti kelinci yang mencari makan di kandang Cheetah.
Sesekali Dean berusaha mengarahkan orang-orangnya untuk bergerak hati-hati, dan menghindar beberapa kali. Megumi memang tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana, tapi dari layar monitor itu Megumi bisa melihat bagaimana satu titik merah yang sudah berada sejajar dengan tiga orang itu terlihat padam dan membuat Dean bersorak.
Megumi tidak tahu apa maksudnya itu, tapi hanya dengan gambar dan titik-titik merah yang menghilang begitu saja sepertinya dia paham kalau sorakan gembira Dean mengatakan kalau tim —nya baru saja menghabisi beberapa ekor Phantom di sana.
“Scott, target kita ada di ruangan yang berjarak tujuh meter dari depanmu, tapi hati-hati, ada dua Phantom yang juga sudah ada di sana, mereka sedang mencari posisi kalian.”
[ “Ok!” ]
Suara-suara itu terdengar sangat jelas di telinga Megumi, suara tembakan, teriakan, bunyi benda jatuh dan yang lainnya. Dan di dalam sana, ketiga orang itu mungkin sedang bertaruh nyawa bersama para pemakan daging.
“Kenapa, kau takut?” satu pertanyaan tiba-tiba dikeluarkan oleh Adrian.
“Aku?”
“Ya,”
“Tidak.”
“Baiklah, tapi ... sebaiknya kau jangan meragukan mereka, di dalam sana, orang-orang itu adalah yang paling berpengalaman.” Ujar Adrian sangat bangga. Tapi tidak dengan Dean.
Wajah pemuda itu terlihat mulai sedikit panik, dia terus berteriak mengkhawatirkan ketiga orang di dalam sana, dia bahkan terus berusaha mengarahkan orang-orang itu untuk menyingkir dan membatalkan misi mereka karena dari bawah gedung, Megumi bisa melihat kalau titik-titik merah itu bertambah semakin banyak, dari semula hanya berjumlah sepuluh titik merah, sekarang sudah bertambah menjadi lima belas, bahkan dari jarak yang mungkin beberapa meter dari gedung itu pun dia mulai terlihat lebih banyak titik merah yang bergerak sangat cepat dan berusaha mendekat.
“Scott batalkan misi, sekarang!” Dean meminta. Tapi siaalnya, Scott sama sekali tidak mendengar dan terus berusaha meraih satu titik merah di ujung lorong itu.
"Scott!"
“Bagaimana ini? Scott tidak menjawab sama sekali?” ujar Dean panik sambil mengacak rambutnya frustrasi.
Ya, tentu saja dia frustrasi. Dari posisinya, Scott adalah yang paling dekat dengan target operasi mereka hanya saja dari sisi berlawanan ada sekitar tiga titik merah sedang berusaha bersembunyi dan bersiap menyergap. Sementara alat komunikasi milik Scott terus berdesis seperti terganggu oleh sesuatu.
“Apa alat komunikasinya rusak?” tanya Megumi, dan masih dijawab panik oleh Dean yang kemudian berteriak-teriak berusaha memanggil Carlos dan Hans, tapi siaalnya dua orang itu menjawab kalau mereka sedang sibuk.
Sibuk bertaruh nyawa.
[ “Nyalakan helikopter, aku akan kembali membawa target.” ]
Suara Scott terdengar kembali pada saluran komunikasi, walau suara itu masih berdesis dan tidak jelas, tapi mereka masih bisa menangkap inti ucapannya.
Mendengar itu Dean benar-benar bersyukur, Dean langsung mengiyakan perintah Scott sementara Adrian langsung menyalakan kembali mesin helikopternya. Namun, saat Dean berusaha memberitahu Scott soal dua Phantom di dekatnya, alat komunikasi pria itu kembali terganggu dan menyisakan desisan yang memekakkan telinga.
Bukan hanya Scott, di dalam sana, kedua orang lainnya juga terlihat sudah dikepung.
“Oh, tidak! Mereka tidak akan berhasil.” Ujar Dean frustrasi.
Saat sedang dalam kepanikan itu, terdengar suara Carlos yang berteriak kalau dia tidak bisa melakukan tugas itu dengan benar karena dia kehabisan amunisi, dengan jumlah Phantom yang terlalu banyak.
[ “Argh!” ]
Teriakan Hans terdengar sangat keras menggema melalui alat komunikasi mereka, bukan hanya suara teriakan saja yang memenuhi alat komunikasi, tapi juga suara tembakan dan raungan mengerikan yang keluar dari makhluk yang mereka sebut Phantom itu.
[ “Hans kehabisan banyak darah, aku harus membawa dia keluar sekarang!” ] kali ini suara Carlos terdengar, sementara dari layar monitor Megumi melihat Scott yang sudah berada sangat dekat dengan satu titik merah yang berada di ujung lorong itu terlihat berhenti, beberapa detik hingga akhirnya titik itu berbalik dan bergerak ke arah sebaliknya. Sangat cepat dan mereka akhirnya bertemu.
[ “Hentikan misi, bawa Hans keluar!” ] ujar Carlos lagi.
"Aku kesulitan menghubung Scott!" Dean benar-benar panik.
[ "Alat komunikasinya kenapa?" ]
"Aku tidak tahu!"
[ "Siaal! Tinggalkan dia, Hans lebih butuh pertolongan sekarang!" ]
"Apa?!"
[ "Keluarkan kami dari sini bocah siaal!" ] bentak Carlos seolah pria itu sudah kehabisan sabar.
"B —baik!"
.
.
... Tolong ...
.
.
Sebuah suara terdengar berdengung di telinga Megumi. Suara yang asing tapi sangat jernih. Gadis ini mencoba mencari ke segala arah, akan tetapi tidak ada satu pun orang yang terindikasi mengeluarkan kata-kata tersebut. Megumi mencoba mengabaikan itu dan kembali pada Dean.
“Kalian ... mau meninggalkan teman kalian di dalam sana dengan makhluk itu?” tanya Megumi saat Dean sibuk mencari denah paling aman untuk orang-orangnya meninggalkan gedung tersebut, hingga Adrian lah yang menjawab pertanyaan itu.
“Satu nyawa tidak lebih berarti dari prajurit kita, nona.” Adrian si pilot mulai bersuara. Meski suara pria itu terdengar sangat tenang tapi itu sama sekali tidak menutup bagaimana pria itu mulai panik dengan keadaan mereka.
Mendengar stigma itu keluar dari mulut Adrian, Megumi merasa kalau dia memang tidak bisa hanya duduk dan menonton.
Meski sebenarnya dia sangat ingin menikmati secangkir teh sambil melihat pemandangan indah ramainya kota dari restoran di lantai lima sebuah gedung seperti dulu, tapi Megumi tahu, kalau sekarang dunia sudah tidak sama seperti yang ada dalam ingatannya terakhir kali. Dunia yang dia lihat sekarang sudah berbanding terbalik dari yang dia tahu, sudah tak ada lagi tempat untuk bersantai hanya untuk menikmati secangkir teh, atau hanya sekedar menikmati sunset di balkon rumahnya sekali pun.
Karena itu dia memutuskan untuk melompat keluar dari helikopter dan terus berlari menuju pintu di mana Scott dan kedua rekannya masuk ke dalam gedung.
Karena seperti apa pun, nyawa manusia tetaplah sebuah hal yang layak diperjuangkan. Terlebih setelah mereka bertindak sejauh ini.
Melihat Megumi yang berlari keluar, Adrian terlihat panik, dia berteriak, begitu juga dengan Dean.
“Hei, kau mau ke mana?!” teriak Dean sama kerasnya dengan bunyi baling-baling helikopter yang sudah mulai berputar. Namun, itu semua sama sekali tidak menjadi alasan untuk Megumi behenti.
Setelah Megumi berhasil masuk, dia langsung melompati satu baris anak tangga ke anak tangga lainnya dengan mudah seperti sedang bermain lompat tali.
Sepatu bot bersol tebalnya terdengar menghentak sangat keras setiap kali dia mendarat. Setiap lantai memiliki satu pintu darurat yang menuju ke lantai selanjutnya, dan setiap lantai memiliki tanda, dan sekarang Megumi sudah berada di lantai sembilan. Tempat di mana dia melihat titik-titik merah itu berkumpul dari layar monitor milik Dean tadi.
Tak ada keraguan saat Megumi tiba di lantai tersebut, bahkan suara desingan peluru yang terdengar menggema memperkuat posisinya kalau dia semakin dekat dengan orang-orang itu, dan Megumi mempercepat langkahnya.
Pintu darurat yang menghubungkan dia dengan orang-orang itu ditendangnya sangat keras hingga terbuka lebar, dan di sana, Megumi melihat bagaimana Carlos sedang berusaha bertahan sambil menembak dan merangkul Hans yang kakinya terluka sangat parah.
"Kau? Sedang apa kau di sini?!" Bentak Carlos saat melihat Megumi di sana.
Di sana, darah terus keluar dari kaki Hans seperti air yang mengucur dari keran, menggenang dan membasahi lantai di bawah mereka, bahkan wajah pria berkepala pelontos itu juga terlihat sangat pucat dengan tenaga yang nyaris tak ada.
Bukan hanya darah, tapi Megumi juga melihat liur yang terus bercucuran dari makhluk aneh itu.
"Pergi dari sini, perempuan gilla!" Jerit Carlos saat dia melihat Megumi malah bergerak mendekat.
.
.
... Tolong aku ...
.
.
Suara itu kembali terdengar di telinga Megumi. Suara yang tidak dia kenal tapi sangat dekat.
"Bawa dia keluar dari sini." Ujar Megumi seolah tidak mengindahkan perintah Carlos.
"Apa?! Kau gilla, kau akan mati konyol di sini! Pergi!"
Teriak Carlos seperti tidak ada gunanya untuk Megumi. Gadis berambut panjang itu malah bergerak cepat dan semakin mendekat saat satu dari lima makhluk dengan tinggi nyaris dua meter dengan bentuk mengerikan itu mulai berlari ke arah mereka.
Carlos kembali berteriak saat Megumi berusaha menghampiri makhluk itu, namun saat sol sepatu tebalnya berhasil menendang, makhluk itu terpelanting hingga menabrak dua lainnya di belakang dan mereka jatuh seperti domino.
Melihat itu, Carlos tak habis pikir. Sepasang matanya terbelalak dengan mulut menganga sangat lebar.
"Cepat keluar!" Kali ini gantian Megumi berteriak dengan suara yang sangat keras hingga menghentikan keterkejutan Carlos.
Belum habis suara Megumi, dia kembali melihat makhluk itu berdiri, dengan cepat dia mengambil sebuah batangan besi yang berada di sisi jendela yang telah berkarat dan rusak, kemudian menusukkannya dengan pasti tepat di d**a makhluk tersebut. Terdengar jeritan pilu yang menggema, seperti raungan seekor elang namun lebih berat dan menggeram juga cairan pekat yang mulai merembes keluar.
"Cepat!"
Lagi, suara Megumi kembali terdengar. Akhirnya, Carlos mengikuti interupsi yang diberikan oleh Megumi agar dia membawa Hans yang nyaris sekarat keluar dari sana.
Makhluk itu memiliki darah, namun warnanya tidak seperti warna darah yang dimiliki manusia. Setiap kali Megumi berhasil melukai mereka, cairan hitam, sangat pekat terlihat meleleh keluar dari dalam daging berotot milik mereka.
Setelah memastikan Carlos sudah tidak ada lagi di tempat itu, Megumi mulai memasukkan tangannya ke dalam coat yang dia pakai dan mengeluarkan sebilah Katana dari dalam sana.
"Maaf, tapi aku tidak ingin mati sekarang."
_