Renata menggeliat. Mentari hangat mulai menyelinap masuk dari ujung gorden hijau pastelnya. Tidur dalam keadaan menunggu memang sedikit meremukkan badan. Dan ia baru sadar bahwa malam tadi dia bahkan tak mengenakan pakaian yang hangat. Hingga seluruh tubuhnya kini seperti meriang.
Mungkin mandi air hangat akan mengubah suhu tubuhnya kembali normal.
Disela-sela mandi rileksnya itu, sembari Renata menatap dirinya sendiri. Menikmati kesendirian yang bahkan sudah dua tahun ia rasakan. Tapi entah kenapa, itu tetap terasa begitu menyakitkan. Sudah terbiasa, tapi tetap tak merelakan. Apakah semua akan lebih baik jika Renata mengakhiri semua ini?
Satu kopi hangat menemaninya berdandan. Masih ada waktu satu jam lagi mengejar bus untuk pergi ke dunia berbeda. Renata bersiap. Menikmati sarapan paginya yang terlampau biasa yaitu nikmati kesendirian. Memperhatikan sekitar ruangan dengan perasaan hampa. Apalagi sisa makan malam yang teronggok tak berarti. Renata mengutipnya dan segera memasukkannya ke dalam microwave. Menunggu lagi sekitar lima belas menit sembari menghabiskan sisa kopi hitam original kesukaannya.
Ia teringat lagi yang janji yang sudah-sudah. Adam akan melewatkannya dan ia akan berakhir di ranjang sendirian. Terkadang Renata ingin berhenti sampai di sini. Waktunya hanya terbuang sia0-sia dengan menjadi istri kedua dari Adam.
Andai saja kecelakaan itu tidak terjadi ..
KILAS BALIK
Hujan deras. Jalanan amat licin dan menegangkan. Keluarga Renata masih tak menyadari situasinya. Mereka masih saja bersenda gurau di jalan yang sebenarnya sudah cukup untuk membuat pengguna jalan menepi untuk menghindari hujan.
Hari ini keluarga kecil itu tengah bersiap. Pergi ke sebuah acara pernikahan dari teman baik papanya, sekaligus seseorang yang juga Renata kenal baik – Steve Lamberg. Acara itu akan dimulai setengah jam lagi, dan pak Wilhimina sama sekali tak ingin terlambat. Begitu perfeksionisnya pria itu hingga ia terus mengkritik kebaya yang Renata kenakan. Ia sebenarnya tak suka melihat puterinya itu terlihat terbuka.
“Papa pikir orang-orang akan memperhatikan kalian berdua,” sindir sang pengemudi sekaligus kepala keluarga Will itu.
Nyonya Will terkekeh saja sambil menunjukkan bagaimana belahan V di bagian dadanya sedikit menonjol. Padahal usianya sudah di atas lima puluh tahun, tapi entah bagaimana caranya istri yang telah ia nikahi dua puluh empat tahun yang lalu itu bisa masih secantik dulu.
“Oh itu sudah pasti. Tentu saja aku tidak mau kalah dengan penampilan nyonya Lamberg nanti –“
“Dia yang memiliki acara. Tentu saja dia yang menjadi ratu di sana.”
Keduanya malah tergelak sampai tak menghiraukan Renata yang duduk di belakang sambil merengut. Gadis itu sebenarnya tak ingin pergi ke acara ini. Kalau saja bukan karena jadwal pernikahan itu dimajukan, harusnya Renata kini ada di sebuah pulau berpasir putih menikmati liburannya bersama rekan kuliahnya.
“Masih merengut lagi? Jangan tampilkan wajah itu di depan om Steve yah Re,” pesan sang papa yang khawatir anaknya masih cemberut di acara nanti.
“Iya pa –“
Nyonya Will mengamati dari arah spion, “Kamu kan bisa susul mereka nanti.”
“Ah..momentnya tentu sudah hilang Ma –“
“Kalau begitu ganti saja dengan kita liburan bersama ke pantai itu,” ajak nyonya Will yang tengah berusaha membujuk sang puteri semata wayang untuk menikmati acara mereka hari ini.
Renata mendengar ide itu tidaklah buruk. Mereka lantas saling beradu pandang untuk mencari kesepakatan. Terlintas dipikiran gadis itu. Dia ingin memiliki pernikahan bahagia seperti kedua orang tuanya. Saling bertengkar dan juga memaafkan dengan cepat. Bersenda gurau dan melengkapi satu sama lain. Mereka selalu tampak bahagia dan menikmati kebersamaan. Walau dalam situasi apapun.
“Hei..ini sudah melewati asal muasal pembicaraan ini. aku tadi menanyakan tentang pakaian kalian –“
“Ah..papa jangan berkelit.”
“Kalian yang berkelit dan lagi --, ah sudahlah lihat Steve sudah tak sabar menunggu kedatanganku.“
“Ya..dia memang orang yang tak sabaran. Jangan angkat ponselnya sayang. Biarkan dia menunggu.”
Tapi sudah pasti, Will tak mengendahkan ucapan istrinya itu…
Renata menatap ke depan. Sebuah mobil truk besar siap menghantam mereka. Dan teriakannya, terlambat untuk membuat tabrakan itu tak terelakkan.
Suasana menyeramkan itu berubah. Kini lebih baik dengan lampu-lampu yang menyoroti Renata yang baru saja terbangun dari komanya. Kejadian itu sangat cepat dan seperti dalam potongan adegan film aksi. Tak sempat untuk bersuara bahkan sekedar untuk melompat dan bergerak menggeser punggung.
Semua itu terlihat bagai mimpi buruk. Dan Renata pikir ia kini tengah berada di kamar hangatnya menunggu sang mama memanggilnya dengan membawa secangkir cokelat panas. Tapi panggilan lembut itu sama sekali tak terdengar. Mungkin lebih tepatnya takkan pernah Renata dengar lagi.
Mimpi buruk itu benar-benar terjadi. Truk itu menghantam mobil mereka. Hanya dirinya yang mendapatkan luka yang tak mencapai lima puluh persen. Suara-suara sumbang tentang nasib Renata pun mulai terdengar. Salah satu yang paling terdengar keras adalah tangisan seorang pria yang begitu mendalam.
Tangisan itu bahkan membuat sekelilingnya tak mampu berkata-kata. Tangisan yang menyesali fakta bahwa dirinya yang tak sengaja menyebabkan kecelakaan itu terjadi.
“Ini semua karena aku..ini semua kebodohanku. Sahabatku mati seperti ini –“
Renata tahu suara siapa itu. Isakan yang begitu amat mendalam itu tak pernah keluar dari bibir om Steve yang ia hormati . Dalam keadaan setengah lelah dan sadar dari koma, Renata hanya bisa terdiam tanpa bisa menangis. Kenyataan bahwa ia telah kehilangan yang begitu berharga, sudah tergambar jelas sebelum orang-orang itu masuk melihat keadaannya.
Om Steve yang pertama kali ia lihat masuk ke kamarnya. Dengan berurai air mata, pria setengah abad itu tak mampu untuk menutupi kesedihan. Lalu setelahnya, ada pria lain muncul. Pria yang menjadi cikal bakal pernikahan pertama gadis yatim piatu itu. Kalau saja, Renata bisa menahan diri untuk tak terpesona pada pandangan pertama, mungkin om Steve tidak akan menikahkan mereka berdua setelah pemakaman orang tuanya.
Tapi sialnya cinta pada pandangan pertama itu nyata. Renata tak mampu mengelak bahwa ia – yang masih dalam keadaan berduka itu – malah tersanjung dengan perhatian Adam terhadap seorang wanita yang masih mengenakan gaunnya datang dan masuk untuk melihat kondisi Renata saat itu. Perhatian yang sempat melukis rasa kecewa Renata saat itu bahwa cintanya berakhir lebih cepat. Perempuan yang beruntung itu adalah istri Adam yang hingga saat inipun takkan bisa ia gantikan.
Andai saja..cinta itu datang lebih relevan dan masuk akal, mungkin Renata tak perlu repot-repot untuk merasakan sakitnya diabaikan.
Tapi itulah konsekuensi.
Renata menganggapnya demikian. Ia harus terima sebagaimana dia terima begitu saja saat om Steve menikahkannya dengan Adam. Padahal saat itu ada hati yang lebih terluka ketika pernikahan mereka terjadi.
Renata harus terima bahwa cinta pada pandangan pertamanya harus dijalani demikian. Kenyataan bahwa ia hanya orang ketiga mesti ia telan bulat-bulat akibat cinta terlarangnya itu. Meski pada akhirnya, Renata mulai merasa lelah juga untuk mempertahankan cinta yang ia anggap murni itu.
.
.
bersambung