BAB 6

1151 Kata
Pagi yang indah menyelimuti kediaman pasangan suami istri ini. Mereka yang tengah berbahagia setelah melewatkan malam panas mereka, akhirnya berkumpul di meja makan. Dewinta tersenyum puas dengan dirinya sendiri. Di depan cermin besar di dapur, ia merasakan aura yang bagus. Kehidupannya tampak sempurna. Suami yang tampan dan sangat mencintainya, kekayaan, kecantikan, kepintaran dan kehormatan, semua dimilikinya dengan sangat mudah. Lalu wanita itu melirik perutnya yang datar. Terbesit kembali ocehan papa mertuanya tentang memiliki keturunan. Dewinta bukan tak ingin menuruti permintaan papa mertuanya itu. Hanya saja sesuatu membuatnya menunda memiliki anak. Mungkin Steve tahu alasan itu, hingga ia dengan sok bijaknya menikahkan Adam dengan Renata. Padahal pernikahan Dewinta dan Adam baik-baik saja tanpa tekanan itu. Pernikahan yang masih hangat-hangatnya itu, terkoyak karena kehadiran Renata. Mengingat hal itu semakin membuat Dewinta kesal. Ingin sekali rasanya ia menyingkirkan Renata segera kalau saja Steve tak lagi berkuasa. Alasannya untuk tetap diam karena papa mertuanya itu. Butuh banyak cara agar bisa mengalahkannya. "Kamu sudah cukup seksi. Kenapa masih betah berdiri memandangi diri sendiri seperti itu?" ungkap pria di belakang Dewinta yang tengah tak mengenakan apapun di bagian tubuh bagian atasnya itu. Rambut basah dengan wewangian musk yang ia beli, semakin membuat Dewinta bangga telah menjadi istri yang tahu apa kesukaan dan yang membuat suaminya itu semakin menarik. Meski sebenarnya Adam suaminya sudah di atas standart pria, Dewinta tetap saja ingin bisa mengatur hidup pria itu seperti apa yang ia mau. Bukankah semua wanita atau istri memang seperti itu? Hanya dirinya yang bisa mengambil kendali suaminya? Meskipun seorang wanita itu lemah lembut tutur katanya dan perilakunya, yang selalu menurut apapun perintah suaminya tapi manakala dia sendiri berpikir, wanita atau istri lemah itu tetap tak pernah ingin suaminya menolak kendalinya. Apalagi dikendalikan oleh wanita lain. Sungguh, istri sebaik apapun, mereka tetap ingin dirinya yang utama. Begitu pula dengan Dewinta. Sehebat apapun Adam dan sesempurna apapun suaminya yang bisa saja memikat puluhan wanita di sana, Dewinta tetaplah istri yang ingin dikendalikan dan mengendalikan. Tidak ada satu orang pun yang berhak melakukannya selain dirinya. Karena hal itu, tentu saja Dewinta harus bisa lebih ekstra ‘menjaga’ suaminya dari godaan apapun. Apalagi dari istri kedua Adam tersebu. Meski Dewinta yakin Adam akan selalu memilih dirinya. Tapi rahasia kehidupan tidak ada yang pernah tahu. Dewinta tak mau menyia-nyiakan waktunya. Selamanya sampai Renata menyerah, ia takkan biarkan Adam berpaling. Dengan cara apapun, ia harus mempertahankan Adam untuk selalu berada disisinya. “Benarkah? Aku rasa masih ada timbunan lemak di sini,” tunjuk Dewinta pura-pura sedih dengan bagian perutnya yang ia rasa masih tersisa lemak. Rengekan manjanya itu berhasil memancing Adam untuk mendekat. Pria tiga puluh tahun itu datang mendekap istrinya lantas menghidu leher Dewinta dengan seduktif. “Apakah itu penting?” tanya Adam sembari terengah-engah. Pria itu terlalu sibuk menelusuri bagian tubuh indah Dewinta yang tak pernah bosan ia pandangi itu. Entahlah. Mungkin bagi Adam hanya tubuh istrinya lah yang sempurna. Dari ujung kaki hingga ujung kepala,baginya tak ada yang bisa menyainginya. Bahkan dengan Renata yang lebih muda dari Dewinta. “Tentu saja. Aku harus bisa membuatmu takkan berpaling.” “Wanita mana yang bisa membuatku berpaling?” Wanita mana yang tak terlena dengan perlakuan manja pasangannya itu. Mereka sedikit bermain panas di depan cermin sebelum akhirnya menyadari waktu tak cukup banyak untuk bercinta. Pekerjaan yang melelahkan seharian tengah menunggu tepat pukul delapan pagi ini. Dewinta melirik sinis. Ia ingin melihat reaksi suaminya tentang hal ini, “Bagaimana dengan Renata?” Adam terdiam sejenak. Tangannya menggantung di atas selai roti yang siap ia oleskan ke rotinya itu. Adam sendiri tiba –tiba jadi teringat dengan janjinya dengan Renata. Ia sudah ingkar entah yang ke berapa kalinya. “Itu tidak akan merubah apapun,” ucap Adam sembari menyunggingkan senyum yang dipaksakan. Dewinta tahu hal itu. Ia tahu Adam menjawab apa yang ingin ia dengar. Bukan apa yang ingin ia ketahui. “Aku harap kamu hanya menemuinya ketika jadwalnya saja. Bukan memberinya waktu ketemu seperti kemarin –“ Adam menaikkan alisnya. Ia menyadari sesuatu. Istrinya tahu bahwa ia membuat janji dengan Renata di luar jadwalnya. Itu berarti, Dewinta sengaja menyuruhnya datang ke sini mala mini untuk membuat Adam melewatkan lagi janjinya. “Kamu tahu darimana soal itu?” “Itu bukan pertanyaan penting. Yang terpenting adalah kenapa kamu ingin menginap di sana?” Adam menghela napas panjang. Menjelaskan sesuatu pada Dewinta sama saja seperti menyiapkan diri untuk bertemu dengan dewan direksi atau guru konseling di sekolah. Butuh alasan yang tepat dan kejujuran agar tidak menjurus ke pertengkaran panjang. “Aku..ingin mengucapkan selamat padanya.” “Selamat apa? selamat ulang tahun?” Dewinta semakin panas. Hal-hal seperti itulah yang malah akan membuat hubungan mereka terjalin. Dewinta tak ingin hal itu terjadi. “Bukan. Dia diterima bekerja di hotel papa. Jadi hari ini adalah hari pertamanya masuk kerja.” “Dan kamu ingin memberinya ucapan selamat? Huh! Itu konyol!” “Sudahlah. Bukankah itu tak terjadi. Aku datang kepadamu, bukan ke sana –“ “Itu kebetulan. Kalau saja tidak, mungkin kalian sudah –“ “Bukankah kamu sudah mengetahuinya lebih dulu? Karena itu kamu memaksaku datang kemari?” Dewinta naik pitam. Ia tak ingin disalahkan. Meski sebenarnya apa yang Adam katakan adalah kebenarannya. Dewinta tahu bahwa Adam akan ke rumah wanita itu. Sebab itulah Dewinta mencari cara untuk membuat Adam jatuh kepadanya. Entah siapa yang patut disalahkan di sini, yang terpenting bagi Dewinta sekarang adalah tak akan memberi kesempatan apapun untuk istri kedua Adam tersebut. “Jangan kesal begitu. Kesepakatan kita tidak akan berubah. Aku tidak akan lupa dengan perjanjian kita,” ungkap Adam yang mulai beranjak untuk bersiap bekerja. Namun riak wajah Dewinta seolah masih belum puas dengan obrolan ini. ia masih terlihat cemburu meskipun seharusnya ia senang karena telah menggagalkan rencana suaminya itu. “Ini semua karena papamu. Kenapa harus ada wanita itu di kehidupan kita? Setiap harinya kita hanya membahas dia selalu!” Adam menoleh. Ditariknya sedikit senyum getir di sana setelah mendengar ocehan Dewinta yang masih terus berlanjut. Mengesalkan. Padahal setiap harinya, Dewinta sendiri yang selalu membuka topic tentang Renata – monolog Adam. “Kalau ingin secepatnya papa luluh padamu, maka tunaikan saja apa yang menjadi keinginannya,” tantang Adam yang secara telak memukul Dewinta tak tampak. Sudah pasti Adam menyindirnya tentang keinginan papa untuk memiliki cucu. Dibalik kebenaran bahwa Dewinta memaksa untuk menundanya dengan alasan yang tak jelas. Mendengar suaminya meremehkan, Dewinta pun tersulut emosinya. Ia semakin tak bisa menunggu lagi untuk balas menyerang. Kekhawatiran Dewinta sepertinya akan terjadi. Bisa saja, Adam meninggalkannya jika ia berulah seperti ini lagi. . . bersambung EPISODE BERIKUTNYA "Aku hanya menilai permintaan papa tidaklah sulit. Sebuah permintaan klasik bagi orang tua untuk memiliki cucu dari anaknya –“ “Seharusnya kamu kan bisa pahami aku dulu. Pekerjaanku banyak dan kondisi tubuh aku juga belum baik untuk hamil. Kita sudah pernah bahas ini dan –“ “Iya dan aku mengerti. Aku tidak menuntutmu akan hal itu.” “Lalu kenapa kamu seolah menyetujui tingkah papa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN