Bab 3. Lulus Magang

1138 Kata
Nirmala memejamkan matanya saat Damian memeluk tubuh polosnya dari belakang. Dingin guyuran air shower justru membuat perasaannya menjadi sangat hangat. Setelah hampir satu minggu absen ranjang karena Nirmala datang bulan, Damian tidak mau menyia-nyiakan kesempatan bercinta dengan istrinya sore ini, dan dia menghendaki bercinta dengan istrinya di bawah guyuran shower mandi. “Kamu apa nggak bosan denganku, Demi?” “Kamu bosan denganku?” “Tentu saja nggak. Kamu … selalu terbaik. Bagaimana bisa aku bosan?” “Kenapa kamu bertanya seperti itu, aku sudah membuktikannya kan? Hidup bertahun-tahun bersama kamu … memiliki anak-anak yang hebat, apalagi yang kamu mau?” Mala tatap sepasang mata teduh Damian, dengan penuh perasaan cinta yang mendalam, lalu berkata, “Aku hanya mau kamu.” Damian terkekeh. Dia tahu Nirmala yang terkadang belum sepenuhnya percaya bahwa dia adalah suaminya. Terutama di saat-saat datang bulan, di mana emosi Nirmala yang naik turun. Maklum, kehidupan Damian di masa lalu sesekali membayangi Nirmala. Damian dulu kerap memesan perempuan nakal kelas atas hingga istri relasi bisnis, hampir setiap malam. Selama menikah dengan Damian, banyak pihak yang menyindir dan seolah ingin menyadarkan Nirmala bahwa Damian bukan laki-laki yang baik. Lucunya, mereka juga memuji Damian, sebagai sosok tenang dan perkasa, terutama urusan ranjang. Pada akhirnya Nirmala mengerti bahwa mereka yang menyindir itu hanya iri saja dengan pernikahannya yang sangat bahagia ini. Damian yang tidak ingin Nirmala resah, mendekatkan wajahnya ke wajah Nirmala dan meraup bibir Nirmala, lalu melumatnya dengan lembut. “Bagaimana bisa aku bosan, kamu sendiri adalah kebahagiaan. Melihat wajahmu membuat hidupku sangat berarti. Lalu kamu hadirkan Nevan, Alaric dan Amanda, masa depan kita.” “Wendy dan Jeanny?” “Mereka anak-anak Agung.” “Haha.” “Mereka juga anak-anakku, Mala. Kamu … ck.” “Iya, iya … aku mengerti, Demi.” Gantian, Nirmala melumat penuh bibir Damian seraya menggerakkan pinggulnya, membuka kedua kakinya agar anggota tubuh bagian bawah milik Damian yang sudah mengeras dengan mudah memasuki tubuhnya. Damian mengangkat satu kaki Nirmala ke pinggangnya yang kokoh sambil memasukkan senjatanya. “Akh, Damian.” Nirmala mengerang, dan mulai menikmati kasih sayang Damian sore itu. *** Damian sekarang berada di puncak kejayaan, terutama sejak menikah dengan Nirmala, anak pengusaha alat berat sekaligus penguasa batubara di Kalimantan asal Pekalongan. Damian yang sudah memiliki usaha jasa keuangan dan property dipercaya pula oleh mertuanya untuk mengelola perusahaannya, karena usia mertuanya itu yang semakin tua. Tentu saja hal ini mengundang iri beberapa pihak, hidup Damian sangat sempurna sekarang. Sesibuk apapun, Damian tetap memperhatikan keluarganya, tidak saja terhadap istri dan anak-anaknya, juga orangtuanya yang tinggal di Singapore. “Halo, Ma?” “Demi. Mama mau memperpanjang masa tinggal Nevan di sini. Please.” Damian melonggarkan dasinya dan terkekeh. Hampir satu minggu Nevan berada di Singapore, dan dia terpaksa libur dari sekolahnya. “Sudah lama dia tidak sekolah, Ma.” Nevan lebih baik pindah ke sini, Demi.” Damian tentu tidak kuat mendengar rengekan mamanya. “Nevan tidak saja bersenang-senang di sini, Papa juga mengajarkannya sempoa lo.” “Haha, Mama.” “Ya? Jangan suruh Alvaro menjemputnya.” “Baiklah, dua hari.” “Satu minggu, Demi.” Damian menelan ludahnya sejenak dan menyetujuinya. Tak lama kemudian, terdengar sorak sorai Nevan dan Opa Hanz. Mereka ternyata juga menyimak pembicaraan Mathilda dan dirinya, menunggu izin darinya. Damian menggeleng, tapi dia juga menghela napas lega setelah menyudahi panggilannya. Baru saja Damian meletakkan ponselnya di atas meja, interkomnya berbunyi dan ternyata salah seorang sekretaris hendak menyampaikan laporan dan berbagai dokumen penting perusahaan untuk Damian tandatangani hari ini. “Pak Damian. Ini data-data peserta magang yang lulus di kantor ini. Sebagian besar adalah mahasiswa yang sedang kuliah semester akhir.” “Penempatan mereka sudah jelas?” “Sudah, Pak. Hm … ini mohon ditandatangani persetujuannya. Pak Dani bilang Senin depan mereka mulai magang.” “Ada berapa—” “Delapan orang.” “Tidak banyak seperti tahun kemarin.” “Yang dibutuhkan hanya delapan tahun ini, Pak.” Damian manggut-manggut, mengerti kebijakan yang diambil Dani, salah satu tangan kanan di perusahaannya. “Baik. Saya setuju.” Damian lalu menandatangani sebuah dokumen yang hendak diambil kembali oleh Putri, sekretaris utama di kantornya. “Terima kasih, Pak Damian.” “Baik, Putri. Silakan.” *** Bukan main senang Lana, dia dinyatakan lulus magang di kantor Rubiantara Group, sebuah perusahaan besar milik Damian Rubiantara di mana Damian bekerja di sana. Dia sudah tidak tahan lagi ingin segera bertemu Damian dan mengatakan bahwa dirinya adalah benih Damian yang terlantar, yang sengaja disembunyikan identitasnya oleh mamanya dengan beragam alasan. “Fizaaa. Aku lulus magang di kantor Damian Rubiantaraaa!” pekik Lana senang bukan main. “Oh ya? Selamat ya, Lana.” “Kamu lulus magang di mana, Fiza?” “Aku di kantor Kashawn Group di BSD. Kita pisah.” “Oh, jauhnya.” “Iya. Tapi nggak apa-apa, mereka menyetujui permohonanku untuk biaya transport. Mereka sangat concerndengan mahasiswa sepertiku.” “Ah, aku turut senang mendengar kabar ini.” “Kabarmu juga, Lana. Jangan lupa, kamu fokus magang dan jangan berpikir yang lain-lain.” “Iya … tapi tujuan utamaku tetap bertemu dengan Damian dan menjelaskan semuanya.” “Tetap saja jangan terburu-buru.” “Aku akan melakukannya dengan caraku.” “Ingat, buang dendammu.” Alana menghela napas sejenak, “Ya,” jawabnya pelan. Fiza akhirnya mendukung langkah Lana untuk bertemu Damian, pria kaya yang disebut mamanya Alana sebagai papa kandung Alana. Dia sangat memahami apa yang dirasakan Lana selama hidupnya, selalu penasaran akan sosok papa kandung. Fiza berpikir seandainya dia adalah Alana, dia mungkin akan melakukan hal yang sama, mencari sosok papa kandung. Namun, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Fiza tetap berharap Lana baik-baik saja saat berada di dalam kehidupan Damian. Meskipun dia tahu Alana adalah gadis yang sangat pintar dan cerdas, akan tetapi dia juga tahu sisi kurang baik Alana yang terkadang ceroboh dan sulit diberi nasihat dan saran. Alana adalah gadis keras kepala. Alana tidak saja menghubungi Fiza atas pencapaiannya yang telah lulus magang di kantor Rubiantara Group di kawasan elit SCBD Jakarta Selatan, dia juga memberitahu sahabat laki-lakinya yang sekarang sedang mengenyam pendidikan di kota Zurich, Natta Erlangga namanya. Natta adalah laki-laki yang sangat menyukai Alana, dan berkali-kali mengatakan bahwa dia ingin menjadi kekasih Alana, tapi Alana selalu menolak. Dan Alana hanya memberitahu bahwa dia lulus, tapi tidak memberitahu niatnya yang paling dalam, yaitu hendak bertemu Damian, yang dia yakini adalah papa kandungnya. “Wow. Itu kesempatan yang baik, Lana. Aku senang mendengar kabar baik ini.” “Kuliah kamu gimana, Natta?” “Lancar. Hanya saja beasiswaku bulan ini telat dibayar, jadi terpaksa aku harus bekerja paruh waktu di café kampus. But … aku malah senang bekerja di sana.” “Natta…” “Ya, Lana?” “Aku ingin jadi kekasihmu.” “Ah? Haha. Lana … apa-apaan ini. Really?” “Ya.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN