Lana baru menyadari bahwa memiliki kekasih sangat menyenangkan, meskipun jarak jauh. Sejak dirinya jadian dengan Natta, ada saja kata-kata mesra yang dia dapatkan di setiap hari. Natta sejak dulu memendam perasaan suka kepada Lana, akan tetapi dia selalu mendapat penolakan, dengan alasan Alana yang merasa seorang anak yang terbuang.
Natta : Liburan semester ini aku akan pulang
Alana : Gimana penelitian kamu?
Natta : Bisa aku bereskan sebelum pulang
Alana : Aku tunggu
Natta : Aku nggak sabar lagi
Alana mengirimkan emoji cinta ke nomor kontak Natta. Setelahnya, dia lajukan mobilnya ke luar rumah. Hari ini adalah hari pertama magang di kantor utama Rubiantara Group.
***
Mungkin Alana adalah sosok yang paling cantik dan rapi hari ini, jika dibandingkan dengan para peserta magang yang lain. Semua memandangnya kagum, bahkan ingin berdekatan dengannya. Karena hatinya sedang berbunga-bunga, Alana melayani perbincangan kecil dari para peserta magang yang lain dengan semangat. Padahal biasanya, dia enggan beramah tamah dengan orang-orang yang baru dia kenal.
Lagi-lagi keberuntungan berpihak ke Alana hari ni, dia ditempatkan di kantor direksi utama, dan dipastikan akan sering bertemu Damian. Tidak dia saja, tapi ada seorang peserta lainnya, Difa namanya.
“Lana, kamu print data ini lima rangkap, setelah itu rapikan. Saya minta tolong kamu kasih hasil print itu ke Pak Damian di ruang kerjanya. Nggak lama lagi akan ada rapat di sana. Saya sedang ada urusan penting dengan Pak Dani. Bisa, ‘kan?”
Tentu bisa, sorak Alana dalam hati. Dia tersenyum semangat dan Putri pun jadi senang dengan kesediaan Alana.
Lana lalu mendekati meja kerja Difa, di mana ada printer di sana. Ini pekerjaan yang sangat mudah baginya dan dia menyukainya.
“Kamu lagi apa, Difa?” tanya Lana ke gadis berkerudung dan berkacamata.
“Lagi datain orang-orang bakal hidup berapa lama dan berapa uang yang mereka butuhkan setiap bulan dan setiap tahun.”
Alana tersenyum kecil, melirik data matematis yang tidak dia mengerti di layar komputer Difa.
“Kira-kira aku bakal hidup berapa lama, ‘ya?” canda Alana.
Difa menggeleng dan mengangkat bahu. “Ini data negara Singapore.”
“Oh.”
Pekerjaan Difa yang terkait IT memang bukan bidang Alana.
Tak lama kemudian, dokumen sudah rapi disusun Alana, dan dia bersiap-siap pergi ke ruang kantor Damian.
Melihat wajah Difa serius ke layar komputer, Alana memilih langsung pergi tanpa pamit. Difa memang sosok serius dan tidak terlalu suka basa basi.
Jantung Alana sudah berdegup keras, ini adalah pertama kalinya dia akan bertemu Damian, orang yang diduga papa kandungnya.
Alana sudah masuk ke dalam ruang kantor Damian, ada beberapa orang berpakaian sangat rapi di dalam sana, duduk mengitari meja rapat. Matanya langsung tertuju ke pria gagah empat puluhan yang duduk di kursi paling besar dan mewah, yang dia yakini adalah Damian. Ternyata Damian adalah pria sangat tampan, dan Alana sekuat tenaga menahan rasa gugupnya.
“Ada apa, Dik?” tanya seorang bapak yang melihat Alana agak kebingungan.
“Saya mau serahkan dokumen dari Bu Putri.”
“Oh.” Bapak itu langsung menyadari sesuatu. “Kamu langsung serahkan ke Pak Damian. Itu dia orangnya.”
Alana mengangguk, dia akhirnya bisa menguasai diri. Berjalan pelan dan menunduk hormat, semakin dekat ke Damian, perasaan kagum menyelimuti dirinya, dan dia semakin semangat. Apalagi aroma parfum mahal dari tubuh Damian terendus ke penciumannya.
“Apa ini?” tanya Damian saat Alana berada di dekatnya.
“Ini titipan dari Bu Putri, Pak Damian,” ujar Alana yang matanya tertuju ke wajah tegas Damian. Entah kenapa perasaan dendam musnah seketika dari diri Alana sekarang. Berdekatan dengan pria setengah baya yang sedang dalam masa jaya, membuat perasaan nyaman dan memabukkan.
“Baik. Terima kasih, kamu peserta magang di kantor ini?” tanya Damian yang sekilas menatap Alana dan penampilannya.
“Iya, Pak Damian.”
“Oh, bagus. Sekali lagi terima kasih,” ucap Damian dengan wajah senyumnya.
Alana bergidik melihat gigi putih rapi Damian saat tersenyum.
“Sama-sama, Pak Damian,” balas Alana lalu pamit.
Terdengar suara Damian yang memulai rapat bersama para pimpinan perusahaan. Benar kata Fiza, ternyata sosok Damian lebih gagah dari foto-foto yang beredar di internet. Alana senang bukan main, meskipun dia belum mengungkapkan jati dirinya di depan Damian. Ini bukan kesempatan yang tepat, Alana akan mencari kesempatan yang baik suatu hari. Toh, dia masih memiliki waktu berbulan-bulan di kantor ini.
Alana kembali ke ruang kerjanya, masih melihat Difa yang sibuk dengan pekerjaannya. Baru beberapa saat duduk, Putri datang menghampiri Alana.
“Sudah, Bu. Baru saja.”
“Oh, syukurlah, jangan lupa kamu tulis data kerja kamu hari ini.”
“Oh, sudah, Bu. Tadi Difa yang melakukan untuk saya.”
“Wah, bagus sekali. Kalian tim kerja yang baik. Makanya saya posisikan kalian berdua di sini. Ini adalah gerbang utama, dan akan sering bertemu direktur utama. Jadi selama magang saya harap kalian bisa bekerja dengan baik, dan jangan segan diberi tugas remeh temeh.”
“Baik, Bu.” Difa dan Alana mengangguk dengan senyum semangat. Senang sekali diberi apresiasi dari sekretaris direktur utama.
“Maaf, kalo saya berlebihan. Karena tahun kemarin, beberapa peserta magang terkesan malas-malasan dan tidak mau disuruh-suruh. Padahal pekerjaan yang diberikan sangatlah mudah,” keluh Putri, lalu dia pun pamit ke luar dari sekat ruang kerja Alana dan Difa.
“Ya ampun, hanya sekadar mengantar surat, tapi pujian setinggi langit,” gumam Alana yang seolah tidak percaya bahwa Putri memberi pujian seperti tadi.
“Jangan salah, Alana. Soalnya aku dengar dari direksi lain, ada peserta magang yang tidak mau disuruh membuat kopi untuk beberapa orang di kantor.”
“Oh ya?”
“Ya. Makanya Bu Putri seneng banget kamu mau disuruh tadi, malah senyum-senyum lagi. Mereka yang malas itu berpendapat bahwa pekerjaan yang diserahkan ke mereka itu adalah pekerjaan rendahan, padahal, ‘kan juga namanya magang … justru kita itu dihadapkan kondisi perusahaan secara menyeluruh dan belum ke spesialisasi. Beda kalo sudah diterima bekerja.”
Alana mengangguk-angguk, memahami pendapat Difa. “Tapi, anyway, pekerjaan kamu sulit dan membutuhkan kemampuan di atas rata-rata deh.”
“Itulah gunanya punya skill, kalo nggak mau disuruh-suruh, tunjukkin skill terbaik kalo pekerjaan nggak mau diganggu.”
Alana tertawa kecil, Difa memang mahasiswi yang pintar. “Jadi semisal kamu disuruh mengerjakan pekerjaanku tadi, kamu memilih menolak?” tanyanya.
Difa memutar kursi kerjanya menghadap Alana, lalu berkata, “Aku akan melakukannya dengan senang hati. Tapi masalahnya, tidak ada yang menyuruhku, mereka yang bekerja di sini profesional, tahu siapa-siapa saja yang pantas mereka suruh-suruh.”
Kata-kata Difa terkesan sok, tapi Alana mengerti. Pekerjaan Difa sangat sulit, membutuhkan ketelitian tingkat tinggi dan risiko dipecat juga tinggi.
Alana kembali beralih ke komputernya, mulai bekerja. Dia benar-benar puas hari ini, bertemu Damian yang gagah dan perkasa. Dia terbuai akan sosok Damian, bahkan notifikasi dari Natta dia abaikan begitu saja.
Bersambung