TAMU TAK DIUNDANG

2115 Kata
Sebuah mobil sedan mewah berwarna merah metalik memasuki halaman rumah Adrian. Seorang wanita berpakaian kasual turun dari sana. Wanita itu tampak mengamati sekeliling rumah yang baru pertama kali dia kunjungi dengan tatapan kagum. Seorang wanita paruh baya yang tampak tengah membersihkan halaman tergopoh-gopoh menemui wanita itu. Dia sedikit bertanya-tanya tentang siapa yang mengunjungi tuannya tersebut. Mengingat Adrian tidak pernah membawa tamu wanita ke rumah itu. “Selamat pagi, Non. Ada perlu apa, ya?” tanyanya dengan nada sopan. “Selamat pagi, Mbok. Ini benar rumahnya Adrian, kan?” Wanita itu balik bertanya sambil celingukan kea rah pintu yang terbuka. Dia tampak mencari keberadaan seseorang. “Iya benar, Non. Apa sudah ada janji sebelumnya? Soalnya tuan Adrian tidak bilang kalau hari ini mau ada tamu.” Wanita itu bicara apa adanya. “Em … belum sih, Mbok. Tapi Adriannya ada, kan?” Sesuai dugaannya, Adrian memang tidak mengundang wanita itu untuk datang ke rumahnya. “Begini saja, Nona tunggu di gazebo sana, biar saya yang memanggil tuan Adrian. Kalau boleh tahu, siapa nama Nona? Biar nanti saya gampang kalau nanti ditanya sama Tuan.” Wanita itu menunjuk ke arah gazebo menggunakan ibu jarinya. “Baik, Mbok. Terima kasih. Nama saya Mona.” “Kalau begitu saya ke salam dulu ya, Non.” Wanita yang mengaku bernama Mona itu kemudian mengiyakan. Dia melangkahkan kakinya perlahan ke arah gazebo. Walaupun sebenarnya dia berharap bisa langsung masuk ke dalam rumah Adrian. Tapi dia bisa meraba, dari ucapan asiaten rumah tangga lelaki itu, tampaknya Adrian memang sangat menjaga privasinya. Sementara itu, asisten rumah tangga Adrian sudah sampai di hadapan tuannya yang masih belum menyelesaikan sarapannya. Lebih tepatnya, lelaki itu tampak berdiam diri di ruang makan. Makanannya juga belum tersentuh, hanya isi cangkirnya yang berkurang sedikit. “Ada apa, Mbok?” tanya Adrian yang melihat gelagat sang asisten tampak ingin menyampaikan sesuatu. “Itu Tuan, di depan ada tamu.” Wanita bernama Darmi itu menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan. “Tamu? Tapi saya tidak ada janji dengan siapapun, Mbok. Wanita atau pria?” “Wanita, Tuan. Beliau bilang namanya Mona,” ucap si Mbok menjelaskan. Mona. Tentu saja Adrian mengenal nama itu. Wanita itu merupakan seorang putri konglomerat yang belakangan ini berusaha mendekati dirinya. Dia tidak menyangka kalau Mona sampai nekat mencari rumahnya. Padahal Adrian sangat anti membawa seorang wanita ke rumahnya. Hanya Zevannya yang boleh menginjakkan kaki di rumah tempatnya tinggal tersebut. “Saya akan menemuinya. Mbok tidak perlu membuat minuman untuknya.” Adrian berpesan sambil beranjak dari tempatnya duduk. Wajahnya tampak datar, seakan menunjukkan rasa tidak sukanya atas kedatangan Mona. “Baik Tuan,” Si Mbok tidak mampu membantah. Lagipula si Mbok merasa kalau Mona memiliki gelagat yang mencurigakan. Wajar saja kalau tuannya tidak menyukai kehadiran wanita itu. Dengan langkah lebar Adrian menemui Mona. Tujuan utamanya tentu ingin meminta penjelasan kepada wanita itu tentang dia yang lancang mendatangi rumahnya. Adrian juga ingin menegaskan kalau dirinya tidak menyukai apa yang telah dilakukan oleh Mona. Saat mengetahui kehadiran Adrian, ada binar bahagia yang terpancar dari mata Mona. Tentu saja hal itu berbanding terbalik dengan ekspresi Adrian yang datar. Lelaki itu tampak tidak menginginkan kehadiran Mona sedikit pun. Bahkan saat duduk, Adrian mengambil jarak yang cukup jauh dari wanita itu. Seakan dia tidak ingin bersentuhan dengan Mona sedikit pun. “Jadi, apa tujuanmu sampai repot-repot datang ke rumah saya?” tanyanya dengan nada dingin. Itu bukan ekspresi yang Mona inginkan. Dia berharap lelaki di sampingnya itu bisa berbicara dengan sedikit lebih manis. “Aku tidak menyangka, ternyata seorang Adrian bisa memiliki rumah yang seindah ini. Sayang sekali, pemiliknya lebih suka menyendiri. Padahal rumah seindah ini semestinya ditinggali bersama orang tersayang, bukan?” Bukannya menjawab pertanyaan Adrian, wanita itu justru menyinggung tentang kehidupan lelaki itu. Sebenarnya, setelah melihat rumah Adrian, Mona semakin berharap bisa memiliki lelaki itu. Memangnya siapa yang tidak menginginkan posisi itu saat bertemu dengan Adrian? Lelaki itu memiliki paket lengkap. Selain wajahnya yang sangat tampan, juga tubuhnya yang proporsional, kesuksesannya pun sudah diakui. Karir Adrian begitu menyilaukan, dia bahkan berhasil melampaui banyak pengusaha yang sudah lebih lama berkecimpung di dunia bisnis. “Saya sedang bertanya soal tujuanmu, bukan untuk mendengar komentar kamu tentang rumah saya, atau kehidupan pribadi saya.” “Astaga, Adrian. Kamu ini lelaki apa tiang listrik, sih? Terlalu lurus. Sekali-sekali becanda kenapa, sih? Tujuanku sebenarnya karena diminta ayah untuk meyakinkan kamu soal tawaran investasi itu. Kamu yakin, menolak tawaran ayahku?” “Kalau soal investasi, kita bisa bicarakan di kantor. Lagipula tujuan ayahmu itu bukan hanya investasi. Saya mungkin akan langsung mengiyakan kalau itu murni investasi. Tapi masalahnya, ayah kamu meminta saya untuk menikah dengan kamu. Itu yang tidak bisa saya terima.” Tentu saja Adrian tidak bisa menerima permintaan dari ayah Mona. Dia hanya akan menerima tawaran menikah kalau yang menjadi mempelai wanitanya Zevannya. Hanya dia satu-satunya wanita yang sanggup mengisi hati Adrian hingga tidak ada ruang lagi di sana. “Kenapa? Kamu udah lama menduda, Adrian. Memangnya kamu tidak merasa kesepian? Kalau kita menikah, kehidupan kamu pasti akan jadi lebih berwarna. Aku juga bisa menyiapkan semua keperluan kamu. Terus …” “Saya tidak butuh semua itu, Mona. Untuk sekarang, saya tidak berminat untuk menikah. Seandainya saya menikah pun, saya akan menikah dengan seseorang yang selama ini mengisi hati saya. Sebaiknya kamu mencari laki-laki lain saja.” Adrian berterus terang dengan apa yang dia rasakan. Dia tidak ingin memberikan harapan kepada seseorang yang tidak dia inginkan. Tentu saja pernyataan Adrian membuat Mona tidak senang. Baru kali ini dia ditolak oleh laki-laki. Biasanya para lelaki akan dengan senang hati mengejarnya bahkan sampai berlutut. Tapi entah mengapa, Adrian justru dengan terang-terangan menolaknya mentah-mentah. Mona memang seangkuh itu. Hanya karena di darahnya mengalir darah konglomerat, dia merasa kalau tidak ada yang bisa menolaknya di muka bumi ini. Sayangnya, kepercayaan dirinya ditampar langsung oleh penolakan yang Adrian lakukan. Lelaki itu sulit untuk digoyahkan. Dia bahkan sudah meminta bantuan langsung pada ayahnya, tetapi hasilnya tetap nihil. “Hahaha, Adrian, Adrian. Siapa memangnya wanita yang mengisi hatimu itu? Semua orang tahu pasti kalau selama ini kamu tidak pernah dekat dengan wanita mana pun. Kamu terus saja sibuk dengan pekerjaanmu, seolah hidupmu sepenuhnya hanya untuk pekerjaan. Ayolah, jangan terlalu egois pada dirimu sendiri,” sindir Mona. Apa yang dikatakan wanita itu memang benar adanya. Selama Zevannya menghilang, Adrian berusaha membuat dirinya sesibuk mungkin. Hal itu dia lakukan hanya untuk membuat pikirannya sedikit teralihkan. Zevannya seperti racun yang membuatnya mati pelahan kala itu. Hanya dengan fokus bekerja, Adrian bisa melanjutkan hidupnya. “Siapapun wanita itu, kamu tidak berhak tahu, Mona. Sekarang lebih baik kamu pergi dari area rumah saya. Satu lagi, tolong jangan pernah lagi kamu menginjakkan kakimu ke sini. Kalau ada urusan yang berkaitan dengan bisnis, silakan datanfg langsung ke kantor.” “Maksudnya, kamu mengusirku?” tanya Mona yang gagal menyembunyikan rasa terkejutnya. Tentu saja dia tidak menyangka kalau Adrian akan mengusirnya. “Maaf, tetapi saya tidak nyaman ada seorang wanita berada di wilayah tempat tinggal saya. Bukan hanya kamu, saya tidak pernah mengajak seorang wanita pun ke rumah ini sejak sepuluh tahun lalu. Saya harap kamu mengerti.” Mona tertawa hampa. Harga dirinya benar-benar terluka karena ini. Setelah ditolak, dia juga diusir dari kediaman Adrian. Wanita itu tidak terima dengan perlakuan Adrian yang dianggapnya semena-mena. “Oh, aku paham sekarang. Semua alasan penolakan kamu itu hanya sebuah skenario belaka. Tidak masalah, kamu bisa jujur padaku kalau kamu tidak menyukai perempuan. Itulah sebabnya aku sering melihatmu pergi bersama Rio. Ternyata dia, orang yang ada di hatimu itu?” ejek Mona dengan ekspresi sedikit menghina. “Orientasi seksual saya bukan urusan kamu. Sekarang lebih baik kamu pergi dari rumah saya, sebelum saya memperlakukan kamu kasar,” ucap Adrian tegas. Kali ini, dia sudah tidak mau lagi berdebat dengan Mona. “Oke, baiklah. Satu hal yang harus kamu tahu, Adrian. Aku tidak akan berhenti sampai di sini. Cepat atau lambat, aku pasti akan bisa menempati posisi sebagai nyonya Adrian. Kamu lihat saja nanti,” ujar Mona seraya berlalu. Dia melangkah ke arah mobilnya, dan masuk ke dalam sana. Tidak lama kemudian, mobil sedan putih itu pun berlalu dari halaman rumah Adrian. “Dasar wanita aneh. Seharusnya dia mengerti dengan apa yang saya katakana, bukannya malah berniat bertindak lebih agresif. Ya … saya akui, saya memang suka wanita agresif, tetapi itu hanya berlaku untuk Zeva. Selain dia, saya sama sekali tidak berminat.” Adrian uring-uringan sebelum akhirnya dia kembali masuk ke dalam rumahnya. *** Lewat tengah hari, Zevannya baru memutuskan untuk kembali ke rumahnya, diantar oleh Nasya. Tentu saja dia sudah berpenampilan dengan lebih baik. Baju wanita itu dititipkan di rumah sang sekretaris, sementara dirinya berbalut pakaian milik sekretarisnya. Dengan bantuan Nasya, dia juga bisa memastikan kalau kedua orang tuanya tidak akan melihat noda merah keunguan yang menghiasi leher jenjangnya. Tentu saja Zevannya tidak punya jawaban kalau sampai orang tuanya mempertanyakan soal itu. Mereka akan marah besar kalau sampai mengetahui apa yang terjadi semalam. Apalagi Zevannya menghabiskan malam panjangnya bersama Adrian yang notabene mantan suaminya sendiri. Sepanjang perjalanan pulang, Zevannya terus saja terbayang semua tentang Adrian. Setelah sepuluh tahun berlalu, banyak sekali yang berubah dari lelaki itu. Wanita itu bahkan tidak bisa menolak untuk mengakui kalau mantan suaminya itu sangat mempesona. Adrian yang sekarang tampak begitu matang, tampan, dan juga seksi. “Zevannya, stop! Adrian itu sudah mempermainkan kamu. Sepuluh tahun yang lalu, kamu melihatnya bermesraan dengan wanita lain. Bukan tidak mungkin kalau sekarang dia juga memiliki banyak wanita, dan kamu … hanya salah satu wanita yang menghangatkan ranjangnya. Sadarlah Zevannya.” Wanita itu refleks menepuk-nepuk kepalanya. Dia sungguh tidak ingin diganggu oleh bayang-bayang Adrian. Selama sepuluh tahun dia sudah membangun puing-puing kehidupannya menjadi begitu megah, tetapi hanya karena kisah semalam, semuanya seakan sia-sia. “Tidak perlu memaksakan diri untuk melupakan seseorang yang namanya masih tertulis di hati. Itu percuma,” ucap Nasya yang menyadari kegelisahan yang tengah Zevannya rasakan. “Sudah semestinya seperti itu, Nasya. Sepuluh tahun saya berjuang untuk menghilangkan Adrian dari pikiran, dan hati saya, tetapi apa yang terjadi semalam membuat seolah saya tidak pernah berusaha menghapus jejaknya.” “Bagaimana kalau seandainya apa yang terjadi sepuluh tahun lalu hanya sebuah kesalahpahaman? Bukankah kalian berdua seharusnya bertemu, dan membicarakan semuanya?” Nasya berusaha memberikan masukan. Dia memang belum terlalu lama mengenal Zevannya, tetapi Nasya cukup tahu kalau sahabat sekaligus bosnya itu sedikit keras kepala. “Untuk saat ini saya belum sanggup untuk melihat wajahnya, Nasya. Saya sendiri geli saat membayangkan diri saya menggodanya dengan begitu panas. Dia hanya akan menertawakan saya dengan semua kekonyolan itu.” Zevannya meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Seingatnya, selama dia menikah dengan Adrian, dia belum pernah bertindak sejauh itu. Mereka memang melakukan hubungan layaknya suami istri, tetapi Zevannya lebih banyak pasif. Dia tidak berani bertindak seberani semalam. Apalagi sampai membuat jejak sebanyak itu di tubuh Adrian. “Bisa jadi kejadian semalam itu pertanda kalau kalian memang sudah ditakdirkan untuk bersama. Kata orang, jodoh itu tidak akan tertukar, Bu. Walaupun kalian sudah terpisah selama puluhan tahun, kalau takdir masih menghendaki kalian untuk bersama, kalian pasti akan dipersatukan.” “Daripada kamu sibuk meramalkan takdir saya dengan Adrian, sebaiknya kamu saja yang cepat mencari pacar. Usiamu sudah cukup matang untuk itu, Nasya.” Zevannya berbalik memberikan saran untuk Nasya. “Aduh, Bu. Jangan bahas itu. Perut saya tiba-tiba mulas.” “Alasan kamu! Kalau jodohin orang kamu mah paling seneng. Sebelum Adrian, sudah berapa laki-laki yang kamu jodohkan dengan saya?” sindir Zevannya sambil melirik pura-pura kesal. “Hehe, habisnya saya itu peduli sama Ibu. Sudah sepuluh tahun, masa nggak move on juga,” ucap Nasya sambil cengengesan. “Menikah itu bukan tujuan saya di waktu dekat ini, Nasya. Saya sudah cukup nyaman dengan kehidupan saya tanpa sosok laki-laki. Saat ini saya hanya ingin bekerja sungguh-sungguh, dan membahagiakan kedua orang tua saya,” “Ya … saya tahu itu, Bu. Ibu memang sangat berdedikasi tinggi dalam bekerja. Tapi saya tetap berharap semoga ibu mendapatkan jodoh yang terbaik.” “Aamiin.” “Soal Leon, apakah Ibu akan membawanya ke jalur hukum? Apa yang dilakukannya sudah termasuk tindak kriminal, bukan?” “Rencananya seperti itu. Sebelum itu, saya harus mencari bukti dulu. Saya percaya kalau kamu tidak berbohong soal dia yang memasukkan obat ke dalam minuman saya, tetapi bukti dalam sebuah laporan itu merupakan hal yang sangat penting.” “Saya setuju dengan Ibu. Kalau membutuhkan bantuan, saya siap membantu.” Nasya berucap penuh keyakinan. “Terima kasih banyak, Nasya.” Mereka melanjutkan obrolan mereka hingga keduanya sampai di kediaman orang tua Zevannya. Setelah berbasa-basi sebentar, Nasya segera berpamitan pulang. Dia tentu tidak ingin melewatkan hari liburnya dengan sia-sia. Tentu saja menghabiskan waktunya dengan berkencan bersama guling di kamarnya. "Nah, itu anaknya baru pulang," ucap ibu Zevannya saat wanita itu baru saja masuk ke dalam rumah. "Kamu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN