TERTUTUP EGO

1256 Kata
“Zevannya, duduk dulu. Nak Leon sudah lama di sini, dia menunggu kamu pulang. Ayah tidak menyangka kamu ternyata sudah memiliki teman dekat di kantor.” Ayah Zevannya tampak sangat mendukung hubungan Zevannya dan Leon, padahal di antara mereka hanyalah sebatas rekan kerja biasa. “Sudahlah, Yah. Kita jangan ikut campur urusan anak muda. Zevannya, temani nak Leon, ya. Ibu sama ayah mau ke dalam dulu,” ucap sang ibu yang kemudian memberi kode kepada suaminya untuk segera meninggalkan ruang tamu. Tentu saja Zevannya tidak senang dengan ini. Dia harus berhadapan dengan Leon yang jelas-jelas membuatnya harus terjebak malam panjang dengan Adrian. Tapi jujur, Zevannya merasa lebih baik tidur dengan mantan suaminya, daripada harus berbuat gila dengan manusia yang sekarang sedang duduk di sofa ruang tamunya dengan tampang sok manis. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Zevannya dengan nada tak ramah. Wanita itu duduk bersebrangan dengan Leon. Dia sengaja melakukan itu karena memang dia tak pernah merasa nyaman berada di dekat orang yang sangat terobsesi terhadap dirinya. “Jangan jutek begitu, Zeva. Saya ke sini dengan maksud yang baik. Menjalin kedekatan dengan orang tua kamu sebelum kita menikah bukankah itu hal yang memang perlu dilakukan?” Leon berusaha berbicara dengan senyuman menghiasi wajahnya. Walaupun bagi Zevannya, senyuman Leon tampak sangat mengerikan. “Siapa memangnya yang mau menikah dengan kamu? Saya sudah bilang berkali-kali ke kamu untuk menjauhi saya. Untuk sekarang, saya tidak berminat menikah, apalagi menikah dengan lelaki seperti kamu.” Zevannya berucap dingin. Dia memang tidak tertarik sama sekali untuk menikahi Leon. Ditambah lagi setelah dia mengetahui tentang apa yang diperbuat oleh lelaki itu semalam. Hanya ada rasa benci yang tertanam di hatinya. “Kenapa? Karena kamu atasan saya di kantor? Kamu tenang saja Zevannya, saya memiliki banyak aset. Kalau kamu menikah dengan saya, saya bisa menjamin kebahagiaan kamu. Sudah terlalu lama kamu menyendiri. Orang tua kamu juga akan lebih bahagia kalau melihat anak mereka membangun rumah tangga dengan seseorang.” “Menjamin kebahagiaan saya kamu bilang?” Zevannya tertawa geli. “Tidak ada seorang pun yang bisa menjamin kebahagiaan saya, Leon. Lagipula, saya tidak butuh semua harta kamu. Saya bisa menjamin kebahagiaan saya sendiri. Kamu pikir, setelah apa yang kamu lakukan semalam terhadap saya, saya masih bisa berpikir kalau kamu lelaki yang pantas untuk dijadikan pemimpin rumah tangga?” sarkasnya. “Saya hanya ingin mengajakmu bersenang-senang, apa itu salah?” “Bersenang-senang? Pemikiran orang bodoh mana lagi yang kamu pakai? Kesenangan seharusnya terjadi kalau kedua belah pihak saling menginginkan. Dengan cara kamu semalam, bukankah itu termasuk tindakan kriminal? Kamu baru saja melakukan percobaan pemerkosaan terhadap saya, Leon!” Zevannya kehabisan kesabaran menghadapi lelaki tak tahu malu yang ada di hadapannya. Mungkin kalau dia tidak ingat dengan kedua orang tuanya, dia bisa saja melepas sepatu yang dia kenakan, dan melemparkannya ke wajah Leon. “Baiklah, saya minta maaf soal semalam. Tapi setidaknya kamu beri saya kesempatan satu kali saja untuk mendekati kamu, Zeva. Saya sangat mencintai kamu.” Leon berusaha memelas. “Pendirian saya tidak akan berubah, Leon. Saya tidak ingin membuka hati untuk kamu. Sebaiknya kita tetap seperti bagaimana seharusnya. Hubungan kita sebatas atasan, dan bawahan. Tidak lebih.” “Tapi Ze …” “Tolong hargai keputusan saya, dan silakan keluar dari rumah ini.” Zevannya menuding ke pintu. Dia ingin Leon segera meninggalkan rumahnya. Menurut wanita itu, tidak ada lagi hal yang perlu dibahas. Soal perasaannya, Zevannya masih belum bisa membuka hati untuk siapapun. Satu-satunya orang yang ada di hatinya hanya Adrian, tetapi dia juga memiliki rasa benci yang tak kalah besar terhadap lelaki itu. “Oke, kali ini saya mengalah. Lain kali saya akan datang lagi. Ada pribahasa yang mengatakan, kalau batu lama-lama akan berlubang kalau setiap hari terkena tetesan air. Begitu juga hati kamu. Lama-lama kamu akan luluh kalau saya terus meyakinkan kamu.” Zevannya tidak menyahut. Dia hanya diam, dan membiarkan Leon berlalu dari hadapannya. “Memangnya bisa? Kalau hati saya bisa berlubang lagi seperti batu itu, mungkin saya tidak akan menyendiri sampai sepuluh tahun. Banyak lelaki yang mendekati saya, bahkan lebih dari Adrian. Tapi hati saya sedikitpun tidak tergerak untuk menerima mereka. Saya benci dengan Adrian, tetapi dia satu-satunya lelaki yang mampu membuat saya tenang. Bahkan semalam, mimpi buruk itu tidak mendatangi saya lagi. Rasanya nyaman dalam pelukan Adrian.” Zevannya mendekap dirinya sendiri. Dia mengingat kembali betapa nyaman, dan hangatnya pelukan lelaki itu. Mungkin, kalau masa lalu mereka tidak seburuk itu, Zevannya akan mempertimbangkan kembali untuk memulai kembali hubungan mereka dari awal. Sayangnya, rasa sakit itu terus membentengi egonya. “Loh, nak Leon mana? Ditinggal sebentar kok sudah tidak ada?” tanya ibu Zevannya yang kembali ke ruang tamu. “Aku suruh dia pulang, Bu. Soalnya aku capek, mau istirahat.” Zevannya beralasan. Dia tidak mungkin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, dan membuat ibunya khawatir. Wanita bernama Ratih itu memperhatikan anaknya. Zevannya memang terlihat lelah, dan kurang tidur. Wanita itu kemudian mengelus pundak putrinya lembut. “Ya sudah, sana istirahat. Lain kali, jangan main usir tamu ya, Nak. Apalagi nak Leon itu sudah lama menunggu kamu pulang.” Ibunya memberikan nasihat dengan sabar. Zevannya mengangguk pelan tanda mengerti. “Iya, Bu. Maaf ya, Zeva benar-benar lelah. Sekarang mau istirahat dulu,” ucapnya seraya beranjak dari tempatnya duduk. “Kamu nggak mau sarapan dulu? Ibu masak makanan kesukaan kamu, loh.” “Terima kasih, Bu. Nanti aja. Tadi Zeva sudah makan di rumah Nasya.” “Ya sudah, sana istirahat.” Zevannya pun melangkah perlahan menuju ke kamarnya. Diam-diam, Ratih memperhatikan putrinya dari tempatnya berada. Sebagai seorang ibu, dia bisa merasakan kalau Zevannya kehilangan rasa bahagia setelah berpisah dengan Adrian. Sayang sekali, dia tidak bisa ikut campur terlalu jauh dalam kehidupan pribadi anaknya. Ratih hanya bisa berdoa, semoga kelak ada lelaki baik hati yang mampu mengembalikan warna hidup sang putri. Di tempat lain, tampak seorang lelaki yang berwajah sangat mirip dengan Adrian. Lelaki itu tengah tampak duduk bersama dengan dua orang yang merupakan bawahannya. Wajahnya begitu serius. “Bagaimana hasil pengamatan kalian? Ada info terbaru tentang perusahaan yang dipimpin Adrian?” tanyanya dengan suara berkarisma. “Saham perusahaan yang dipimpin Adrian semakin naik, Tuan. Menurut informan yang kami tugaskan di sana, beberapa waktu belakangan, banyak investor yang tertarik untuk bergabung dengan perusahaannya. Tentu saja hal itu semakin membuat performa perusahaan Adrian semakin bagus.” “Sial! Sepertinya kita harus mencari cara lain untuk membuat perusahaan Adrian bangkrut.” “Untuk sekarang sepertinya susah, Tuan. Perusahaan Adrian sedang berada di atas awan. Satu-satunya cara hanya dengan melumpuhkan Adriannya langsung. Dan … kita belum tahu, apa kelemahan Adrian.” “Sepertinya, saya harus kembali ke Indonesia secepatnya. Saya bosan bermain di belakang layar.” “Sayang … kamu sibuk?” Tiba-tiba saja seorang wanita masuk ke dalam ruangan itu. “Kita bicara lain kali. Silakan kalian keluar dari ruangan saya!” Lelaki itu memberikan perintah pada dua orang yang tengah berbincang dengannya. Dua orang itu mengangguk patuh, dan segera berlalu dari hadapan bosnya. “Kamu tidak bilang kalau mau datang ke sini, Sayang. Saya bisa mengirimkan seseorang untuk menjemput kamu tadi,” ucap lelaki itu sambil menyambut dekapan dari sang wanita. “Aku sengaja bikin kejutan. Kangen banget sama kamu, Bastian.” Wanita itu berucap manja. Setelahnya, dia duduk di atas pangkuan Bastian, dan mengalungkan kedua tangannya di leher lelaki itu. “Saya juga merindukan kamu, Sayang. Berikan saya satu ciuman,” ucap Bastian seraya menatap wanita itu dalam. “Lebih dari sekedar cium pun akan aku berikan kalau kamu minta, Baby.” Wanita itu berkata dengan setengah berbisik. Di detik berikutnya, kedua manusia itu sibuk menyatukan bibir mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN