TERPAKSA MENIKAH

1166 Kata
Adrian dan Zevannya benar-benar dibawa ke rumah lurah desa setempat. Selanjutnya mereka dibawa ke kantor kelurahan. Beberapa warga yang menjadi saksi penemuan mereka diajak musyawarah. Dan hasilnya, keduanya harus tetap dinikahkan seperti hukum, dan adat yang berlaku. “Jadi, setelah kami pertimbangkan dengan matang, Sodara Adrian dan Sodara Zevannya harus tetap dinikahkan. Keputusan ini kami ambil berdasarkan saksi-saksi yang menemukan kalian pertama kali. Prosesi pernikahan akan diadakan satu jam lagi. Kalian akan dinikahkan secara agama.” “Sebelum acara dilaksanakan, kalian berdua dilarang keluar dari area kantor kelurahan. Kalau kalian melanggar, kami akan memberikan sangsi yang lebih berat.” Mendengar itu, Adrian dan Zevannya hanya bisa pasrah. Mereka tidak memiliki pilihan lain selain menerima keputusan yang telah disepakati bersama. Tentu itu bukan termasuk keputusan mereka. Kedua mantan pasangan suami-istri itu hanya terjebak situasi yang membuat mereka harus menerima hukuman ini. Setelah menunggu kurang lebih satu jam, Adrian dan Zevannya disandingkan di hadapan penghulu, dan dua saksi. Tidak ada raut bahagia dalam pernikahan pada umumnya. Mereka masih belum bisa menerima kenyataan yang di luar perkiraan ini. Ijab-qabul berjalan sesuai rencana. Adrian menikahi Zevannya dengan mas kawin uang serratus ribu rupiah. Setelah prosesi selesai, barulah mereka berdua boleh keluar dari area kantor kelurahan. Tentu saja Zevannya tidak lupa dengan kamera kesayangannya. “Setelah ini, kita tetap tinggal masing-masing.” Zevannya memulai pembicaraan setelah mereka kembali memasuki area perkebunan. “Secara agama kita sah suami-istri, Ze. Jadi kita sah-sah saja tinggal dalam satu atap.” Adrian menyahut. Mereka memang sudah sah secara agama, jadi tidak ada larangan untuk mereka tinggal bersama. Adrian menganggap kalau apa yang terjadi hari ini merupakan sinyal dari alam kalau mereka memang sudah ditakdirkan untuk bersama. “Kita hanya perlu merobek kertas keterangan menikah, dan kamu mengucapkan talak. Maka hubungan kita akan kembali seperti semula. Tidak usah membuat semuanya menjadi sulit, Adrian.” “Aku tidak akan pernah melakukan itu, Zevannya. Pernikahan bukan mainan yang bisa dimulai, lalu diakhiri begitu saja. Seberapa besar pun rasa benci kamu ke aku, aku tidak akan pernah menceraikan kamu lagi. Pernikahan kita kali ini adalah garis takdir yang harus kamu terima.” Tidak ada canda saat Adrian mengatakan itu. Dia sedikit kecewa dengan sikap Zevannya yang seakan meremehkan pernikahan mereka. Ini memang bukan yang mereka mau, tetapi bukan berarti mereka bisa dengan mudah mengakhirinya begitu saja. Adrian yang masih sangat mencintai Zevannya pun tidak memiliki niat sedikitpun untuk menceraikan wanita itu untuk kedua kalinya. Apapun yang terjadi, dia akan mempertahankan Zevannya sebagai miliknya. “Ya sudah, terserah kamu saja. Aku tetap tidak mau tinggal sama kamu. Pernikahan ini cukup kita yang tahu.” “Memangnya kamu sama sekali tidak memiliki rasa apapun lagi denganku, Ze? Apa di hatimu hanya tersisa rasa benci yang begitu banyak? Kamu benar-benar tidak menginginkan aku lagi berada di sisimu?” Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Zevannya bungkam. Dia masih mencintai Adrian, dia juga masih menginginkan lelaki itu kembali menjadi miliknya, tetapi bukan hal mudah untuk mengakui semuanya di hadapan mantan suaminya itu. Sulit bagi Zevannya untuk jujur tentang semua yang dia rasakan sekarang. Bagaimana kalau Adrian tidak memiliki perasaan yang sama dengannya? “Sudahlah, Adrian. Tidak usah bertanya yang macam-macam. Aku harus kembali ke villa sekarang. Aku lapar!” Zevannya memilih mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil langkah cepat supaya bisa berjarak dari Adrian. Wanita itu mungkin akan mengakui tentang perasaannya, tetapi bukan sekarang. Dia belum siap untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Zevannya sendiri tidak tahu, kapan hari itu akan tiba. “Bagaimana kalau kamu mampir ke villaku? Villa tempatku tinggal jauh lebih dekat dibanding tempatmu tinggal, Ze.” “Tidak perlu. Terima kasih banyak. Aku tidak mau terjebak dalam rencanamu lagi, Adrian.” “Tidak bisakah kamu berprasangka baik padaku sekali saja?” “Sayangnya aku tidak bisa.” *** Sesampainya di villa, Zevannya menceritakan semua yang terjadi tanpa ada satu cerita pun yang terlupakan, termasuk bagian dia harus menikah dengan Adrian. Nasya mendengarkan semuanya dengan antusias. Dia senang sekali saat mengetahui dua orang yang dia harapkan bersama kembali ternyata sudah menikah. Lebih cepat dari perkiraannya. “Wah, selamat Bu Bos. Akhirnya sekarang Bu Bos punya suami. Rasanya senang sekali mengetahui Bu Bos kesayangan aku sudah mengakhiri masa lajangnya setelah sepuluh tahun. Hmm, sepertinya malam ini saya harus masak spesial untuk merayakan pernikahan kedua kalian.” Nasya menyambut kabar gembira itu dengan begitu heboh. “Saya tidak mengharapkan ini, Nasya.” Zevannya menyahut dengan wajah datar. “Maksudnya Bu Bos tidak berharap menikah lagi dengan pak Adrian?” tanya Nasya dengan ekspresi penasaran. “Bukan. Kalau suatu hari kami masih berjodoh, tentu saya akan menerimanya dengan lapang d**a. Tapi bukan sekarang, dan dalam situasi yang seperti ini. Masih ada banyak hal yang belum saya bahas sama dia. Kisah kami yang dulu masih menyimpan misteri, bagaimana bisa kami memulai lembaran baru dengan semua itu?” “Sebenarnya semua itu tidak rumit, Bu Bos. Anda hanya perlu menurunkan sedikit ego, dan mencoba berbicara dari hati ke hati. Saya yakin, pak Adrian bukan tipe orang yang semaunya sendiri. Dia pasti akan mendengarkan dengan baik tentang apa yang ingin Ibu sampaikan. Kalau terus seperti ini, hubungan kalian tidak akan ada perkembangan.” Semua yang diucapkan oleh Nasya memang solusi untuk hubungan Zevannya dan Adrian. Tapi untuk orang serumit Zevannya, itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Dia sendiri juga terkadang kewalahan mengatasi gejolak hatinya. Sebelum melakukan sesuatu, ketakutan selalu dia letakkan paling depan. Membuatnya ragu, dan akhirnya sulit untuk memulai. “Bagaimana memulainya? Saya bukan tipe orang yang mudah dalam memulai, terutama soal perasaan.” “Kalian kan sudah menikah, tinggal undang saja pak Adrian ke sini. Kita makan malam bersama, setelah itu kalian membicarakan semuanya berdua. Gampang kan, Bu?” Seandainya Zevannya bukan atasannya, mungkin Nasya sudah mengumpatinya. Sayang sekali, dia masih harus menjaga perasaan wanita itu sebagai bentuk penghormatan. Cukup aneh memang, seorang Zevannya yang pintar sekali dalam hal bisnis ternyata begitu payah soal perasaan. “Masalahnya saya tidak punya kontak Adrian, Nasya.” “Tentang itu, Ibu tidak perlu khawatir. Kalau Ibu meminta untuk mengundangnya, saya akan segera menghubungi pak Adrian,” ceplos Nasya tanpa sengaja. “Kamu punya kontak Adrian? Jangan-jangan kamu …” “Malam itu pak Adrian kasih saya kartu nama. Bu Bos jangan salah paham dulu,” ralat Nasya berbohong. Dia tidak mau Zevannya mengomel kalau sampai tahu dia yang membocorkan masalah tadi pagi. “Ya sudah, undang saja. Sepertinya kami memang perlu bicara.” “Siap. Pokoknya Bu Bos terima beres. Soal undangan sama menu makan malam, semua urusan saya. Bu Bos hanya perlu dandan yang cantik untuk menyambut sang suami.” “Jangan sebut dia suami saya, Nasya.” “Tapi dia memang suami Ibu sekarang.” “Tidak ada yang boleh tahu kami sudah menikah. Kamu nanti kebiasaan.” “Astaga, oke … baiklah.” Nasya hanya bisa pasrah dengan rasa gengsi bosnya yang masih sangat besar itu. Padahal dia juga sudah tahu kalau sebenarnya Zevannya masih menyimpan perasaan yang besar untuk Adrian. Rasanya Nasya ingin mengurung mereka berdua supaya keduanya bisa sama-sama jujur dengan apa yang mereka rasakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN