Pintu villa diketuk oleh seseorang. Zevannya dan Nasya tahu siapa orang yang ada di balik pintu itu. Kali ini Zevannya sendiri yang membukanya, dan menemukan Adrian di luar sana dengan pakaian basah. Hujan memang baru saja turun, dan wanita itu tidak menyangka kalau suaminya akan tetap datang menemuinya.
"Sudah tahu hujan, masih saja nekat datang. Sebentar, aku ambil handuk dulu." Zevannya mengomel. Kemudian wanita itu menuju ke arah kamar untuk mengambil sesuatu yang bisa membebaskan Adrian dari pakaiannya yang basah.
Zevannya kembali ke ruang tamu, membawa sebuah jubah mandi berwarna coklat tua. Dia menyodorkan jubah itu ke Adrian.
"Cepat ke kamar mandi, sementara pakai ini. Nanti kamu bisa masuk angin."
"Baiklah, terima kasih."
Adrian pun berlalu, dan menuju ke kamar mandi. Nasya menunjukkan di mana kamar mandi luar berada. Setelahnya, dia segera menemui Zevannya yang masih ada di ruang tamu.
"Jangan galak-galak sama pak Adrian dong, Bu Bos. Kasian. Lihat, pak Adrian pasrah saja diomelin sama Bu Bos." Nasya memberikan pembelaan terhadap Adrian.
"Memang itu salah dia. Sudah tahu hujan lebat begini, dia malah nekat datang ke villa kita. Besok lagi kan bisa."
Sebenarnya Zevannya hanya khawatir kalau sampai Adrian sakit karena itu. Saat mereka masih bersama, Adrian pernah demam tinggi karena kehujanan. Itu yang menjadi alasan kenapa Zevannya tidak suka lelaki itu menerobos hujan.
"Bu Bos harus tahu kalau ... lelaki yang bertanggung-jawab tidak akan mengingkari janjinya. Tadi pak Adrian sudah setuju untuk datang, makanya dia tidak mau membuat Bu Bos kecewa. Mendingan sekarang Bu Bos buatin pak Adrian minuman. Kasihan, pasti beliau kedinginan." Nasya memberikan usul.
"Apa di kulkas ada jahe?" tanya Zevannya kemudian.
"Kebetulan ada, Bu."
"Ya sudah, aku akan membuatkan minuman untuk Adrian. Kalau dia sudah kembali, suruh saja dia menunggu di sini."
"Baik, Bu."
Nasya menjawab patuh. Saat Zevannya melangkah ke arah dapur, gadis itu menggeleng heran. Dia tidak habis pikir, kenapa bosnya sangat sulit sekali untuk mengakui kalau dirinya masih mencintai Adrian. Padahal dari sorot matanya terlihat jelas kalau Zevannya mengkhawatirkan keadaan suaminya.
Sementara di dapur, Zeva mengambil satu rimpang jahe, dan juga beberapa butir gula batu. Dia kemudian mengolah bahan itu menjadi minuman yang akan dia gunakan untuk menghangatkan tubuh Adrian. Selain itu, olahan jahe dan gula batu merupakan minuman favorit Adrian saat cuaca sedang tidak bersahabat.
"Ternyata kamu masih mengingat apa minuman favoritku saat udara dingin," ucap Adrian yang tiba-tiba saja sudah berdiri tidak jauh dari Zevannya. Lelaki itu melipat kedua tangannya sambil memperhatikan sang istri membuatkannya minuman.
"Tidak usah terlalu percaya diri. Aku membuat ini hanya karena atas dasar kepedulian. Aku tidak mau disalahkan kalau sampai kamu jatuh sakit," ucap Zevannya beralasan, tetapi kalimat itu lebih dari cukup untuk membuat sebuah senyum mengembang di bibir Adrian.
"Setidaknya kamu masih peduli denganku. Itu saja sudah cukup." Adrian menanggapi dengan santai.
"Bagaimana kalau kekasihmu tahu tentang pernikahan kita? Sebelum itu terjadi, kamu bisa mempertimbangkan permintaanku siang tadi."
"Kekasihku yang mana yang akan tahu? Semenjak berpisah darimu, tidak ada lagi wanita yang menempati hatiku, Ze."
"Oh ya? Haruskah aku percaya dengan kata-kata seseorang yang pernah berselingkuh?" sarkas Zevannya sambil menyelesaikan pekerjaannya.
"Aku tidak pernah selingkuh dari kamu, Ze. Aku berani bersumpah atas nama Allah, kalau aku tidak pernah menduakan kamu. Apa yang kamu lihat di ruanganku saat itu, tidak seperti yang kamu pikirkan."
"Lalu, bagaimana kamu menjelaskan soal ... lipstik dan bedak yang ada di dalam mobil kamu?"
"Itu juga bukan aku yang menaruhnya. Aku tidak pernah pergi berdua dengan wanita. Kamu tahu sendiri, aku selalu membawa karyawan laki-laki setiap ada pertemuan yang mengharuskan aku keluar kantor. Sesusah itukah kamu mempercayaiku, Ze?"
Zevannya telah selesai membuat minuman untuk Adrian. Wanita itu lantas menghadap ke arah suaminya. Tatapannya tajam. Dia seakan ingin menunjukkan kalau dirinya tidak suka diremehkan.
"Sejak kita sama-sama masih kecil, kamu yang paling tahu kalau aku adalah orang yang rapuh. Begitu sulit bagiku untuk membangun kepercayaan terhadap seseorang. Tapi kamu beruntung, aku bisa mempercayaimu, Adrian. Sayangnya, kamu menghancurkan kepercayaan yang sudah aku berikan."
Adrian melepas lipatan kedua tangannya. Dia melangkah maju ke arah Zevannya. Saat wanita itu ingin mundur, dia dengan sigap menarik pinggang istrinya, sehingga membuat keduanya tanpa jarak.
"Sekali lagi aku katakan, aku tidak pernah menghianati kamu, Ze. Coba kamu pikirkan baik-baik, ketika aku tidak mengizinkan wanita manapun menginjakkan kaki di rumah kita, bahkan ketika kita sudah bercerai, apakah masuk akal kalau aku berselingkuh darimu? Aku tidak peduli sekarang kamu mau percaya atau tidak, tetapi aku ingin mengatakan kalau aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, Zevannya."
Adrian merasa jauh lebih lega setelah mengungkapkan perasaannya. Dia tidak peduli bagaimana respon Zevannya setelah ini. Bahkan kalau sampai wanita itu tidak percaya dengan apa yang diungkapkannya.
Zevannya membeku. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa dengan ungkapan perasaan yang Adrian lakukan. Dia senang lelaki itu ternyata mencintainya, tetapi bagaimana bisa dia memperlihatkan sisi bahagianya? Zevannya terlalu gengsi untuk itu.
"Jangan bercanda untuk sebuah perasaan, Adrian."
"Aku sama sekali tidak sedang bercanda, Ze. Rasa cintaku padamu sudah lama kupendam. Aku selalu menunjukkan rasaku lewat semua tindakan yang aku lakukan. Tapi kurasa semua itu tidak membuatmu peka. Jadi sekarang aku ungkapkan semaunya. Walaupun mungkin bagimu sudah tidak ada artinya."
Tidak. Semua itu justru sangat berarti untuk Zevannya. Dia tahu sekarang, mengapa Adrian bersikeras untuk tidak mengakhiri pernikahan kedua mereka. Itu karena ada perasaan yang tersimpan di dalam hatinya.
"Tapi hubungan kita akan sulit, Adrian. Orangtuaku belum tentu akan memberikan restu pada kita."
"Asal kamu masih menerimaku, semua itu bukan hal yang sulit, Ze. Kita bisa berjuang sama-sama untuk meyakinkan orang tua kamu supaya memberikan restunya lagi. Tolong jangan sembunyikan apapun lagi dariku, Ze. Ayo kita mulai semuanya dari awal lagi."
Adrian memberanikan diri untuk mengajak Zevannya memulai kembali hubungan mereka. Sudah saatnya untuk mengejar kembali wanitanya itu. Adrian tidak ingin sembunyi-sembunyi lagi untuk mengungkapkan perasaan yang dimilikinya.
"Beri aku waktu, Adrian. Setidaknya, aku harus memberitahu keluargaku dulu tentang kita pelan-pelan. Selama itu belum aku lakukan, kita harus tetap merahasiakan hubungan kita."
"Baik. Aku setuju. Aku akan mengikuti apa mau kamu. Terima kasih sudah memberiku kesempatan, Ze." Adrian mengulurkan tangannya, dan mengelus rambut Zevannya dengan lembut.
Tiba-tiba saja wanita itu memeluk erat tubuh Adrian. Dia juga ingin mengungkapkan perasaan yang dia miliki, tetapi kalimat itu sulit sekali untuk keluar dari bilah bibirnya. Adrian membalas pelukan Zevannya. Dia mengecup puncak kepala wanita itu beberapa kali dengan penuh perasaan.
***
"Bos, wanita itu ternyata CEO di perusahaan milik Adrian. Kami sudah menyelidikinya. Hasil kerjanya sangat kompeten. Dia salah satu daya tarik perusahaan Adrian mendapatkan klien. Caranya meyakinkan klien luar biasa."
Kalimat itu terus berputar di kepala Bastian. Berbagai pemikiran licik pun sudah dia rancang. Bastian pikir, kalau dia mendekati Zevannya, bukan hanya mendapatkan wanita itu, dia juga bisa menghancurkan perusahaan Ardian dalam sekali langkah.
"Sepertinya nasib baik selalu berpihak padaku. Takdir membawaku bertemu dengan seseorang yang berpengaruh di perusahaan Adrian. Sungguh sesuatu yang di luar rencana. Aku harus bisa membuat perusahaan Adrian rata dengan tanah."
Bastian tertawa terbahak-bahak. Seakan memang keberhasilannya untuk menghancurkan Adrian sudah ada di depan mata. Bastian seakan tidak peduli dengan kenyataan bahwa, Adrian itu adik kandungnya sendiri. Dia sudah digelapkan dengan rasa iri, dan dengki yang menyelimuti seluruh hatinya.