"Lo mau ajak gue ke mana sih?"
"Sini.." Yasa membelok mobilnya menuju ke sebuah restoran.
"Ngapain ke sini?"
"Biasanya orang ke restoran ngapain?"
"Ya makan."
"Terus?" Yasa turun. Shaneen kemudian ikut turun. "Lo mau makan?"
"Iya."
"Terus tadi di kafe lo ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain."
Shaneen memutar bola mata. "Jangan berbelit-belit deh. Tadi lo sama Nata ngapain?"
"Nah gitu. Kalau mau tanya tuh langsung tanya. Jangan ngambek terus pergi."
Shaneen melotot. "Siapa yang ngambek? Nggak banget gue ngambek sama lo.."
Yasa kendikan bahu cuek. Ia membawa Shaneen ke salah satu meja yang letaknya cukup tertutup. Shaneen sampai mengerutkan keningnya karena merasa seolah mereka sedang melakukan transaksi ilegal.
"Lo mau ngomong apa sih?"
"Pesen dulu, aku lapar banget." Yasa menyebutkan makanan yang ia inginkan. "Kamu mau makan apa?"
"Nggak ada, udah kenyang."
"Pantes badan kamu kurus gitu."
"Apa lo bilang?"
"Itu aja, Mbak.." ucap Yasa pada pelayan mengabaikan Shaneen. Begitu pelayan berlalu, Shaneen kembali menodong Yasa dengan pertanyaan.
"Lo cuma nyari alasan kan biar gue nemenin lo makan? Lagian ini udah jam berapa? Kenapa lo baru makan jam segini?"
Yasa tiba-tiba tersenyum. "Khawatir?"
"Gue nggak khawatir sama lo, tapi sama diri gue sendiri. Apa kata orang kalau gue nikah sama mayat hidup?"
"Nggak ngaca. Badan kamu tuh 1/3 nya badan aku."
"Enak aja.."
Yasa tertawa. Entah kenapa ia tertawa. Shaneen mengerutkan kening. Tawa Yasa kemudian disalahartikan oleh Shaneen.
"Bahagia ya lo.."
"Bahagia lah."
"Iya, habis ketemu mantan."
Kini gantian kening Yasa yang mengerut. "Nata? Kamu pikir aku bahagia karena habis ketemu Nata?"
"Ada alasan lain?" tanya Shaneen sarkas.
"Ada."
Shaneen terdiam. Keduanya saling beradu tatap.
"Kamu tuh lucu tau nggak.." Yasa geleng-geleng. "Kadang kamu kayaknya transparan banget. Tapi kadang kayaknya tembok pelindung kamu tinggi banget."
"Nggak ngerti gue lo ngomong apaan.." Shaneen meneguk air di dalam gelas.
Yasa hembuskan napas pelan. "Alasan aku ajak kamu ke sini mau ngomongin soal pernikahan."
Shaneen kini berikan perhatiannya pada Yasa.
"Ada beberapa hal yang bikin pernikahan kita harus dipercepat.."
Shaneen tampak tak terlalu terkejut. Ia hanya bertanya kenapa. Yasa kemudian menjelaskan situasinya.
"Ohh.. gue sih nggak ada masalah," ucap Shaneen santai. "Gue terserah aja."
Yasa yang terkejut dengan respon calon istrinya itu. "Kamu beneran nggak masalah?"
Shaneen menggeleng. "Diperlambat atau dipercepat bakalan nikah juga, kan? Terus masalahnya di mana?"
"Aku pikir kamu bakal keberatan karena tiba-tiba harus dipercepat.."
"Nggak. Biasa aja gue. Nggak ada masalah."
Selang beberapa detik ponsel Yasa berdering. Ia bicara entah pada siapa.
"Elina mau ke sini."
"Kak El? Tiba-tiba?"
"Mereka kebetulan lagi ada di sekitar sini.."
"Mereka?"
Hanya beberapa menit Elina dan Kael datang. Shaneen tampak terkejut dengan kedatangan kedua sepupunya itu.
"Loh, udah janjian?" tanya Shaneen.
"Nggak janjian sih, tapi tadi emang nelfon Yasa ngajak ketemu," Kael yang menjawab. Shaneen manggut-manggut. Sepertinya Shaneen tahu apa topik yang akan mereka bahas. Dan benar saja, terjadi sedikit perdebatan di meja makan. Ternyata Kael tak setuju dengan rencana percepatan pernikahan Yasa dan Shaneen. Kael ingin pernikahannya dan Elina tetap dilakukan lebih dulu daripada Shaneen dan Yasa. Maka terjadilah obrolan serius antara Yasa dan Kael karena pada kenyataannya Shaneen dan Elina menurut saja.
Sampai akhir, sampai makanan mereka habis, tak ada hasil dari pembicaraan itu. Kael ngotot ingin lebih dulu tapi tak mungkin merubah tanggal. Sementara Yasa juga teguh dengan keputusannya. Yasa juga tak mungkin tetap pada tanggal yang sama. Akhirnya mereka berpisah tanpa keputusan dan Kael luar biasa badmood.
"Jadinya gimana?" tanya Shaneen saat ia diantar pulang oleh Yasa.
"Nggak tau. Aku tetap pada apa yang tadi aku sampaikan. Kamu tau kondisinya gimana. Bukan keinginan aku, tapi emang situasinya begitu.."
Shaneen hembuskan napas pelan. Perhatian Shaneen kemudian tertuju pada ponselnya yang bergetar. Nama Rifki kemudian muncul di layar. Tapi Shaneen tak membaca pesan yang masuk. Ia fokus memandangi jalanan.
"Coba ntar dirundingin lagi. Pasti ada jalan keluar."
"Atau mau bareng aja tanggalnya?" tanya Yasa tiba-tiba.
Shaneen melotot. "Jangan aneh-aneh. Kalau itu gue nggak mau."
"Kenapa?"
"Nggak mau pokoknya. Tanggalnya harus beda."
Kini gantian Yasa yang menghela napasnya. Sepertinya memang masalah ini belum terpecahkan. Entah siapa yang harus mengalah nanti. Jika Yasa menunda pernikahannya dengan Shaneen, maka akan menjadi sangat lama. Yasa harus menunda selama 3 bulan. Itulah kenapa keluarga Lantawi memutuskan untuk dipercepat saja daripada diundur.
...
Arkan, Sasilia, dan Shaneen baru saja selesai makan malam. Rumah besar itu terasa semakin sepi saja setelah Noah menikah.
"Sepi banget ya," ujar Sasilia tiba-tiba. "Nanti habis Shaneen nikah jadi bakal lebih sepi dong rumah.." wanita cantik itu memasang wajah sedih.
Shaneen menggeleng pelan. "Istri Papi mulai drama lagi. Padahal kemarin Mami yang nyindir-nyindir biar aku nikah.."
"Ih Mami nggak nyindir loh, Ca. Kapan Mami nyindir?"
Shaneen kendikan bahu.
"Apa ajak Yasa tinggal di sini aja, Ca?" usul Sasilia.
"Ih Mami jangan bercanda, ah. Kan dari awal udah sepakat. Habis nikah kami mau tinggal sendiri. Nggak di sini dan nggak di rumah orang tua Yasa."
"Masih Yasa aja manggilnya." Fokus Sasilia malah beralih pada hal lain. Shaneen kembali memasang wajah lelahnya. Memang Maminya ini sangat ajaib sekali. "Yasa lebih tua, Ca. Coba manggilnya yang lebih halus dikit."
"Mami ke Papi aja panggil nama.."
"Ih kapan?"
"Kalau marah.."
"Lah itu sih beda," Sasilia membela diri.
"Caden kapan pulang?" tanya Shaneen.
"Hmm nggak jelas. Tadi Mami telfon katanya beda lagi." Selalu sama. Caden memang lain dari yang lain. Shaneen tak mau banyak berpikir tentang adiknya itu. Biarlah Caden dengan dunianya.
"Yasa udah kasih tau kamu soal pernikahannya?" tanya Arkan. Mereka sudah beralih ke family room.
"Udah, Pi. Tapi Kael nggak mau."
"Kael?"
"Iya. Tadi kami ketemuan sama Kael dan Kak Elina. Kael nggak mau kami nikah duluan. Maunya dia yang nikah duluan."
"Yaudah duluan aja," timpal Sasilia. Ya memang harusnya semudah ini.
"Tapi Kael nggak mau rubah tanggal. Maunya tetap di tanggal yang sama."
"Jadi?" tanya Arkan.
"Nggak tau. Aku sih terserah aja, Pi. Mau tanggal berapa nggak ada masalah."
Sasilia dan Arkan saling pandang seolah tengah bicara lewat tatapan mata mereka. Tiba-tiba ponsel Shaneen berdering. Gadis itu pamit untuk menjawab panggilan yang masuk.
...
Pertengkaran masalah tanggal pernikahan masih belum menemui ujungnya. Tak ada yang mau mengalah baik Yasa maupun Kael. Elina pun sudah dibuat pusing sementara Shaneen tak banyak berkomentar. Seperti yang selalu Shaneen katakan, ia ikut saja. Mau diperlambat atau dipercepat baginya tak ada masalah. Terkesan sepele sekali, kan?
"Kapan kamu jadinya nikah?" tiba-tiba saja siang ini Rifki menyinggung tentang pernikahan pada Shaneen. Padahal sebelum-sebelumnya pria itu tak pernah membahasnya. Rifki seperti mengelak dari topik itu. Ya meski memang tak ada urusan dengan dirinya mau Shaneen menikah atau tidak.
Shaneen merapikan poni Lila. "Ngapain tiba-tiba nanya soal pernikahan aku?"
"Katanya diundur."
Kening Shaneen mengerut. "Tau dari mana kamu diundur?" Shaneen kini menatap Rifki penuh tanya. Seingat Shaneen dia tak memberitahu siapapun tentang hal ini. Hanya orang tertentu saja yang tahu. Shaneen bahkan belum memberitahu Azura. Jadi tak mungkin Rifki tahu dari sahabatnya itu. Lagipula Shaneen yakin Azura tak akan memberitahu Rifki tentang ini.
"Jeisya.."
Shaneen hembuskan napas pelan. Kenapa ia bisa lupa kalau ada Jeisya? Tapi kenapa Jeisya memberitahu Rifki?
"Nggak diundur, yang ada dipercepat."
Ada perubahan pada ekspresi wajah Rifki. Tapi Shaneen tak melihatnya karena ia sibuk dengan Lila.
"Kalau kamu nikah, apa kamu masih akan datang ke sini?"
"Maksud kamu nanya gitu apa? Emang apa alasan untuk aku nggak datang ke sini?" Shaneen terlihat marah. Ia bertemu tatap dengan Rifki. Keduanya beradu pandang cukup lama. Entah apa arti dari kedua sorot itu.
"Aku cuma nanya.."
"Kamu nikah aja masih ke sini. Terus alasan aku nggak ke sini apa?" balas Shaneen ketus. Ia terlihat marah.
"Kak Ca, Kak Iki napa?" tanya Lila menengahi pertengkaran antara Shaneen dan Rifki.
"Nggak kenapa-kenapa, Sayang." Rifki mengusap rambut Lila lembut dan penuh kasih sayang. Tiba-tiba pria itu menerawang jauh. "Kalau kecelakaan itu nggak terjadi, mungkin dia udah sebesar Lila ya sekarang.."
Seketika raut wajah Shaneen berubah. Kali ini benar-benar berubah. Tiba-tiba Shaneen bangkit. "Lila, ayo.." ia bawa Lila pergi bersamanya. Tapi Rifki menahan tangan Shaneen.
"Ca."
"Stop bahas soal itu!" Suara Shaneen meninggi. "Stop manggil aku kayak gitu. Kamu sendiri yang janji sama aku untuk nggak pernah bahas atau ungkit masalah itu. Kenapa sekarang tiba-tiba kamu ungkit lagi?!"
Tiba-tiba Lila menangis. Shaneen sudah terlanjur marah. Emosinya kerap kali tak stabil saat ia bersama Rifki.
"Mbak tolong bawa Lila masuk ya.." pintar Rifki pada pengurus panti yang kebetulan lewat. Lila kemudian dibawa pergi.
"Ca.." Rifki berusaha meraih lengan Shaneen tapi ditepis.
"Kamu nggak capek? Aku aja capek lihat kamu. Kamu pikir aku datang ke sini karena aku pengen lihat kamu? Kamu pikir aku seneng ketemu kamu di sini?"
Rifki hanya diam, terlihat sabar mendengarkan amarah Shaneen.
"Kalau aku bisa bawa Lila udah aku bawa. Aku nggak mau ketemu kamu. Kamu tau! Aku nggak mau ketemu sama kam--" Rifki menarik Shaneen ke dalam pelukan hingga gadis itu terdiam beku.
Rifki menarik napas dalam. "Aku tau aku salah. Aku nggak pernah minta maaf dari kamu, Ca. Tapi jangan bilang kamu nggak mau ketemu sama aku."
Shaneen terdiam lama. Ia tak membalas pelukan Rifki.
"Kamu tau ini juga nggak mudah buat aku.." ucap Rifki dengan suara lemah.
Shaneen memasang ekspresi datar.
"Egois kamu," ucap Shaneen mendorong Rifki. "Kayaknya kamu harus ke psikiater," ucap gadis itu sebelum berlalu meninggalkan Rifki dalam kebungkaman.
***