Sembilan

611 Kata
"Kenapa kamu biarin adik kamu dipermalukan seperti ini, hah? Dasar kakak nggak guna!" Singkat cerita setelah drama penggerebekan dua pasangan ulat bulu yang saling menggatal yang diwarnai dengan drama tangisan di sertai permohonan agar mereka tidak diarak keliling komplek sebagai sepasang pezina, akhirnya para warga sepakat untuk menikahkan dua manusia pengkhianat tersebut. Orangtua Juna tidak bisa hadir karena orangtua Juna ada di Jogja sedangkan orangtuaku dengan cepat datang. Ya, memang selalu seperti ini, Papi dan Mami akan bergerak secepat kilat untuk urusan anak kesayangannya. Hal memuakkan memang, sedari tadi anaknya Pak RT, perempuan cantik mahasiswi keperawatan yang bernama Kanaya, merupakan pengikutku di i********: tidak hentinya menyabarkanku yang duduk di pojokan menyaksikan segalanya terjadi di depan mata saat akhirnya orangtuaku datang akulah yang pertama kali mendapatkan tamparan. Tidak hanya tamparan dari wanita yang melahirkanku, umpatan pun juga aku peroleh, anak tidak berguna beliau bilang? Sungguh aku benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran beliau ini. Siapa yang bersalah dan siapa yang disalahkan, hampir semua orang yang menyaksikan bagaimana Mami menamparku dengan luapan kemarahannya terheran-heran, mungkin mereka berpikir bisa saja Mami salah orang, hal yang sebenarnya mustahil mengingat sekalipun kembar sebagai orangtua tengu yang paling mengenal anaknya. "Mami nggak salah nampar aku?" Tanyaku dengan suara bergetar, kesakitan yang aku sudah rasakan terlalu dalam hingga aku tidak bisa merasakan lebih banyak lagi. "Disini aku loh yang disakiti Jelita. Dia yang main gila sama pacar aku. Bahkan dia hamil sekarang, anak yang selalu Mami bela sekarang hamil, Mi! Kenapa malah Wita yang Mami tampar? Tamparan ini seharusnya Mami berikan kepadanya Tanpa peduli jika beliau tengah menjadi tontonan orang banyak Mami justru semakin melotot, kedua tangan beliau berkacak pinggang, khas seorang Nyonya Tamara saat memarahiku. Dengan sebelah tangannya yang bebas Mami menoyor kepalaku berulang kali membuat siapapun yang melihat semakin syok dibuatnya. "Harus berapa kali Mami sama Papi bilang ke kamu, kamu sebagai Kakak harus ngalah sama adikmu dalam hal apapun. Kamu ini sudah tahu adikmu hamil malah sok-sokan streaming di i********:. Kamu bukan hanya ngehancurin hidup adikmu tapi juga bikin malu keluarga. Otakmu ini loh, kamu taruh dengkul apa gimana? Dasar bloon, bego......." "Sudah cukup, Bu!" Mungkin umpatan yang Mami berikan itu akan berlanjut sepanjang jalur laut sampai Jayapura sana jika saja dokter Kaliandra tidak menyela diantara aku dan orangtuaku, tentu saja sikap dokter Kaliandra ini membuat berang tidak hanya Mami, tapi juga Papi yang langsung bergerak mencengkeram erat kerah kemeja tetangga depan rumah Juna ini. "Siapa kamu berani ikut campur kami sebagai orangtua dalam mendidik anak, hah? Jangan-jangan kamu selingkuhan si anak nakal ini makanya berani pasang badan buat lindungin dia! Atau penggerebekan konyol ini ulah culas kalian, hah? Nggak mungkin Jelita berbuat m***m apalagi sampai hamil, dia itu anak baik-baik." Astaga, kepalaku seketika berdenyut nyeri merasakan Papi dan Mami yang ngalor ngidul tidak jelas, bahkan aku sudah tidak punya kekuatan lagi untuk mendebat, tatapan prihatin orang-orang kini bertambah dengan tatapan tidak percaya ada orangtua yang berpihak sebelah securang ini. Kenyataannya ada, ya itu orangtuaku. "Saya tetangga depan rumah. Itu rumah saya kalau Ibu sama Bapak ingin tahu siapa saya, saya bukan selingkuhan anak Ibu ini, saya hanya seorang tetangga yang terganggu dengan ulah anak Ibu yang ada disana!" Ditunjuknya Jelita yang sempat terlupakan oleh semua orang saking takjubnya dengan kelakuan ajaib Mami dan Papiku ini, dan kali ini Pak RT yang angkat suara. "Bu, Pak, warga disini nggak ada yang mau ikut campur cara Bapak sama Ibu dalam mendidik anak, tapi jika Bapak sama Ibu keterlaluan pada seseorang tentu kami menegurnya. Sekarang daripada Bapak sama Ibu saya laporkan atas KDRT ke anak kalian yang ini, lebih baik Ibu urus anak Ibu yang itu! Mau diapakan? Kami seluruh warga tidak ingin menerima warga seperti mereka!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN