Seorang pemuda berambut hitam dengan hoodie putih yang menutup hampir sebagian kepalanya tampak sedang berjalan melewati kerumunan masyarakat di Desa Greenland. Ia semakin menurunkan tudungnya ketika melihat banyak orang bermunculan di sekitar.
“Kenapa Ibu memintaku pergi berbelanja sih?” gerutunya.
“Hirato!” Terdengar suara yang sangat familier dari arah belakang.
Pemuda itu berbalik dan menatap seseorang yang tidak lain adalah sahabat masa kecilnya, Mashiro Yuta.
“Kau lama sekali, Yuta,” ucap Hirato kesal saat pemuda itu sudah berada di hadapannya.
“Ma-maaf,” ucap Yuta terbata-bata.
“Sudahlah, ayo! Hari ini kau harus membantuku berbelanja bahan makanan yang diminta ibuku,” ajak pemuda bersurai hitam itu.
“Oke!”
Yuta dan Hirato berjalan melewati setiap pedagang untuk mencari bahan makanan yang mereka butuhkan. Suasana pasar yang ramai membuat Hirato risi dan tidak betah berlama-lama di sana, terlebih lagi saat beberapa orang melayangkan pandangan ke arahnya.
“Ngomong-ngomong ..., Hirato,” panggil Yuta tanpa menatap ke pemuda di sampingnya. “Kenapa warna matamu disembunyikan lagi?”
“Apa kau lupa warna mataku itu apa?” Hirato balik bertanya.
Yuta terdiam tidak menimpali. Ia sudah mafhum jika Hirato benar-benar tidak menyukai warna matanya yang seperti ras iblis itu.
Beberapa saat kemudian, langkah keduanya berhenti di salah satu pedagang sayuran.
“Silakan, Tuan ..., sayurannya,” sapa sang penjual.
“Saya mau beli ini ..., ini ..., ini ..., dan ini,” ucap Yuta seraya mengambil dan menyerahkan beberapa jenis sayuran kepada penjual tersebut.
“Baik, Tuan. Sebentar akan saya bungkus dahulu,” ucap penjual itu.
“Yah ..., aku tahu warna matamu itu apa, tetapi kau tidak harus menyembunyikannya, ‘kan?” ucap Yuta melanjutkan pembicaraan mereka yang sempat tertunda tadi.
“Jangan bodoh deh. Tentu saja aku harus menyembunyikannya. Kau tahu, kan, kalau ada orang lain yang tahu warna mataku, mereka bisa berpikir aku adalah ras iblis,” bisik Hirato setengah kesal.
“Hei-hei, itu tidaklah benar! Hirato tetaplah Hirato. Meski warna matamu seperti itu dan kau memang dari ras iblis, kau tidak mungkin berkelakuan buruk seperti mereka. Benar, ‘kan?” Yuta menatap Hirato sembari tersenyum hingga membuat sahabatnya itu terdiam meliriknya.
“Ini, Tuan. Semuanya seratus lima perak dan sepuluh perunggu,” ucap sang penjual lalu menyerahkan barang belanjaan Yuta sambil menerima uang yang diberikan pemuda tersebut. “Terima kasih. Silakan datang kembali.”
Dunia tempat tinggal Hirato dan Yuta adalah dunia yang mempelajari sihir dan kutukan. Di tempat ini juga masih menerapkan sistem kerajaan dengan banyak ras yang berbeda, seperti ras elf, iblis, manusia, dan demi-human. Ada tiga macam mata uang yang digunakan dalam kegiatan jual-beli dan yang nilainya paling rendah adalah koin perunggu. Ada pula koin perak yang satu koinnya sama dengan seratus koin perunggu. Koin emas adalah yang paling tinggi nilainya, di mana satu koin emas sama dengan seratus ribu koin perak. Wilayah yang saat ini Yuta dan Hirato tinggali bersama orang tua mereka adalah Desa Greenland, desa yang cukup damai dan termasuk salah satu bagian dari wilayah Kerajaan Vinezella.
“Yuta, apa sudah semuanya?” tanya Hirato usai mereka berkeliling pasar demi membeli barang belanjaan.
“Coba aku lihat,” jawab Yuta lalu memeriksa barang belanjaan mereka. “Ah, ada satu barang lagi yang harus kita beli. Ayo!”
Yuta tangkas menarik tangan Hirato dan mengajaknya ke suatu tempat.
“Ke mana?” Hirato berlari mengikuti langkah temannya itu.
“Ayo ikut aku saja!”
***
“Ini ..., toko apa?” tanya Hirato sembari menatap sebuah toko yang sedikit besar di depannya.
“Jangan banyak tanya. Ayo, kita masuk!” Yuta menarik lengan Hirato dan masuk ke toko tersebut.
Bangunan dua lantai itu adalah tempat menjual berbagai macam senjata dan perlengkapan. Lokasinya berada di bagian selatan Desa Greenland dan selalu menjual barang-barang seperti pedang, busur, dan anak panah serta zirah dengan kualitas terbaik.
“Kenapa kita kemari?” tanya Hirato lagi.
“Hirato, kau, kan, hobi berpedang, jadi, silakan pilih pedang mana saja yang kau mau. Nanti aku yang belikan,” ujar Yuta.
“Yuta. Aku tahu kau anak orang kaya, tetapi kenapa kau mau membelikan aku pedang? Bagaimana jika ibumu tahu soal ini?”
“Sudahlah, pilih saja dan jangan banyak tanya!”
Hirato mengangguk dalam diam. Ia mulai berjalan mengelilingi setiap rak yang ada di toko dan melihat berbagai senjata dengan teliti, sementara Yuta tengah mengobrol dengan pegawai toko.
Aku masih bingung, kenapa dia tiba-tiba memintaku memilih pedang? pikir Hirato.
“Bagaimana, Hirato? Apa kau sudah menemukan pedang yang kau suka?” tanya Yuta beberapa saat kemudian.
“Aku masih belum menemukan yang pas. Bagaimana denganmu? Apa kau tidak ikut membeli juga?” balas Hirato sambil mengamati berbagai jenis pedang di hadapannya.
“Ya, tentu saja. Aku akan mengambil panah ini.” Yuta menunjukkan sebuah panah berwarna biru kepada temannya itu.
“Wow. Panah yang bagus!” puji pemuda bersurai hitam itu melihat sebuah panah yang dipegang Yuta. “Tetapi, aku masih belum menemukan yang cocok untukku.”
Hirato lantas mengedarkan pandangannya di lorong rak pedang itu. Tiba-tiba tatapannya berhenti pada sepasang pedang yang ada di rak bagian atas.
“Ah, aku menemukannya!”
“Yang mana?” tanya Yuta terlihat antusias.
“Itu ..., ada di rak paling atas,” jawab Hirato sambil menunjuk sepasang pedang berwarna putih dan hitam yang menarik perhatiannya.
“Permisi. Bisa tolong ambilkan pedang di bagian rak paling atas!” pinta Yuta kepada sang penjaga toko.
“Tentu!” seru penjaga toko lalu berjalan meninggalkan meja kasir dan mengambilkan barang yang ditunjuk oleh pemuda tersebut.
Sang penjaga toko menyerahkan sepasang pedang itu kepada Hirato. “Pilihan Anda sangat tepat. Pedang ini adalah pedang paling sempurna yang kami buat dengan bahan aluminium dan sedikit pecahan batu sihir hitam dan putih,” ujarnya.
“Kalau begitu ..., kami ambil panah dan juga kedua pedang ini. Bisa tolong sekalian isikan sihir yang bisa menyatu dengan sihir kami?” tanya Yuta kepada sang penjaga toko.
Hirato tersentak. Matanya memelotot ke arah Yuta. “Apa kau yakin? Pedang ini pasti harganya sangat mahal dan kalau ditambah dengan sihir harganya pasti akan bertambah mahal.”
Yuta hanya membalas ucapan temannya itu dengan senyuman. Ia menyerahkan kedua pedang Hirato serta panah miliknya kepada sang penjaga toko.
“Tolong, ya, Tuan,” pintanya.
“Pertama ..., Anda, Tuan. Saya akan memeriksa jenis sihir Anda terlebih dahulu sebelum mengisinya ke busur panah Anda,” ucap penjual toko itu kepada Yuta.
Pria botak itu mulai menggunakan kemampuan sihirnya untuk menganalisis jenis sihir yang Yuta miliki. Setelah selesai, ia langsung menuliskan sebuah mantra di busur panah menggunakan sihir yang diambil dari diri Yuta sebelumnya untuk menyatukan senjata tersebut dengan sang pemilik baru.
“Baiklah, sudah selesai. Anda bisa menggunakannya sekarang. Busur panah ini tidak akan mudah disentuh oleh orang lain yang tidak Anda perbolehkan untuk menyentuhnya,” ucap penjaga toko itu sambil menyerahkan busur panah berukir lambang sihir baru di salah satu sisinya.
“Selanjutnya ..., kau, Anak Muda,” ucap pria itu seraya memandang lurus ke arah Hirato.
Pemuda bersurai hitam itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya mendekati sang penjaga toko setelah Yuta menerima kembali busur panah miliknya.
***
“Terima kasih. Silakan datang kembali,” ucap sang penjaga toko ketika Yuta dan Hirato keluar dari tokonya usai membayar kedua senjata yang mereka beli.
“Yuta, aku masih tidak mengerti. Untuk apa kau memberikanku pedang ini? Lagi pula, aku masih punya pedang di rumah,” tanya Hirato.
“Mungkin lebih baik aku mengatakannya padamu sekarang,” ucap Yuta.
Pemuda bersurai cokelat itu lantas menghentikan langkah lalu menatap Hirato.
“Ada apa?” tanya Hirato.
“Hirato, aku akan pindah rumah dan pedang itu adalah hadiah sebagai tanda ucapan maaf dan selamat tinggal dariku,” ucap Yuta.
Hirato tersentak seketika. “Kenapa?” tanyanya sedikit tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu.
“Orang tuaku harus pindah ke ibu kota,” jawab Yuta.
Hirato lantas menunduk dan terdiam. Yuta tidak bisa mengetahui ekpresi apa yang ditunjukkan sahabatnya itu saat ini karena wajahnya tertutup poni rambut dan tudung jaket putih yang dikenakannya.
“Dulu ..., aku pikir hidupku tidak akan berarti dan selalu tidak dipedulikan oleh orang lain, tetapi setelah kau mengulurkan tangan untukku, aku mulai menghilangkan pikiran buruk itu,” ucap Hirato. Nada suaranya sedikit bergetar.
Yuta hanya diam menatap pemuda tersebut.
“Ternyata aku salah. Kegelapan tidak akan pernah jauh dari hidupku sejak aku terlahir dengan mata ini,” lanjut Hirato seraya menatap Yuta. “Baiklah, jika kau ingin pergi. Aku tidak akan melarangmu. Terima kasih untuk pedangnya dan terima kasih telah menemaniku berbelanja hari ini. Sampai jumpa, Mashiro Yuta.”
Setelah Hirato mengambil barang belanjaan ibunya dari tangan Yuta, ia berjalan meninggalkan pemuda berambut cokelat tersebut. Yuta terpaku dalam geming. Pandangannya melebar usai mendengar ucapan terakhir Hirato beberapa detik yang lalu. Kini, ia hanya bisa menunduk, meratapi kepergian Hirato yang kemungkinan besar akan membenci dirinya setelah perpisahan ini.
Bersambung...