"Kamu beli kompor, Rin?"
Sesampai di kos, Arini langsung menata perabot yang dia beli di dapur umum.
Pemilik kos menyediakan meja panjang untuk meletakkan kompor setiap penghuni kos. Pada bagian bawah meja, dibuat lemari untuk menyimpan bumbu-bumbu. Sementara pada bagian depan atas, disediakan gantungan untuk meletakkan wajan atau perabot lain.
Terdapat sekat tidak kentara yang memisahkan tempat perabot masing-masing penghuni kos. Arini sedang meletakkan kompor dan perabot lainnya pada tempat kosong ketika Risa menyapanya.
"Eh, Risa." Arini yang sedang berkonsentrasi penuh, berjengit kaget karena sapaan Risa yang tiba-tiba.
"Iya, Sa. Alhamdulillah dapat kiriman. Jadi aku bisa beli kompor," lanjutnya semringah. Arini begitu antusias dengan perabot yang baru dibelinya itu. Baginya, itu tidak sekadar perabot untuk memasak, melainkan modal usaha yang sangat berharga untuknya.
"Alhamdulillah, Rin."
"Baguslah, jadi kamu tidak harus minjam-minjam kompor orang kalau mau masak."
Di belakang Risa, Mutiara muncul dari kamarnya dengan raut sinis.
Mutiara merupakan mahasiswa Fakultas Teknik semester lanjut yang sudah kos di tempat itu hampir enam tahun. Sejak awal kedatangan Arini, Mutiara seperti tidak menyukainya.
"Iya, Kak." Arini menyahut sopan. Bagaimana pun, Mutiara merupakan senior dan orang lama yang harus dia hormati. Meskipun sikapnya sering kali menjengkelkan.
Sambil meneruskan menata barang-barang, Arini tersenyum kecut. Dulu saat awal-awal datang, Arini pernah meminjam kompor Mutiara. Bukannya diijinkan, Arini justru mendapat semprotan. Sampai sekarang, hal itu selalu diingat Mutiara dan menjadi bahan untuk menjatuhkan Arini.
"Jadi kamu benar-benar tahu sekarang, kuliah itu mahal. Bukan hanya biaya kuliahnya, tapi juga biaya hidupnya. Kalau sudah miskin itu, tahu diri. Jangan gegayaan ikut kuliah."
Arini menghela napas berat. Kalimat senada sebenarnya sudah tidak terhitung kali meluncur dari bibir Mutiara, tentang dirinya yang tidak punya apa-apa, tetapi memaksa kuliah.
Setiap Arini ketahuan meminjam kompor atau barang apa saja, selalu saja Mutiara mencibirnya seperti itu. Padahal barang yang dipinjam pun bukan miliknya. Pemiliknya saja tidak keberatan. Entah mengapa, justru dia yang tidak terima.
"Tidak ada undang-undang yang mengatakan orang miskin dilarang kuliah, Kak," balas Arini pelan. Rasanya kesabarannya mulai menipis sehingga kali ini dia memilih membalas ucapan Mutiara. Gadis itu semakin didiamkan, semakin arogan.
"Secara tertulis memang tidak ada. Tapi, seharusnya kalau merasa miskin, tahu diri saja!" Mutiara menatap Arini geram, tidak terima ucapannya dibantah.
"Saya miskin juga enggak merepotkan Kak Ara, enggak minta bayarin Kak Ara."
"Enggak merepotkan apa? Pinjam-pinjam kompor?"
"Kapan saya pakai kompor, Kak Ara?"
"Itu karena dari awal aku enggak ijinkan! Coba kalau diijinkan, pasti kamu pinjam terus!"
"Ya, sudah. Pada kenyataannya 'kan saya enggak pernah pakai barang-barang Kak Ara. Selesai urusan 'kan?"
"Dasar kamu! Mentang-mentang sudah berpunya, jadi sombong! Enggak ingat kemarin-kemarin mengemis pinjam-meminjam kompor. Padahal yang dimasak juga cuma mie instan. Itu pun sebungkus dibagi dua."
"Kak Ara, roda itu berputar. Hidup itu gantian. Jangan bangga pada apa yang kita miliki sekarang. Semua bisa hilang dalam sekejap jika Allah sudah berkehendak."
Risa yang menyimak percakapan Arini dan Mutiara, angkat bicara untuk menengahi. Mahasiswi satu angkatan, tetapi beda Fakultas dengan Arini itu hanya bisa menggeleng ringan menyaksikan sikap seniornya itu.
Mutiara mendengkus kasar mendengar penuturan Risa. Risa termasuk penghuni kos yang berada jika ditilik dari penampilannya. Jadi dia tidak berani untuk membantah.
Sedikit menghentakkan kaki, Mutiara kembali ke kamar.
"Enggak usah didengarkan, Rin. Dia memang begitu sikapnya. Sudah senior, tapi malah ngalah-ngalahin kita yang junior." Risa menatap Arini sungkan.
"Iya, Sa. Enggak apa-apa. Manusia itu beragam. Sifatnya juga beragam. Pasti ada satu atau beberapa yang tidak sejalan dengan kita. Tapi enggak apa-apa, justru dari Kak Ara, aku bisa belajar lebih kebal untuk menghadapi kerasnya hidup. Aku juga jadi semakin tertantang untuk membuktikan bahwa orang miskin pun bisa sukses."
"Iya, Rin. Benar. Omong-omong, ini tadi ada keluargamu nelepon lagi." Risa mengulurkan ponselnya.
"Telepon dari keluargaku?"
Arini mengerutkan dahinya. Bukan apa-apa, dia paham karakter keluarganya, terutama kedua orang tuanya. Mereka sungkan jika harus meminjam barang milik orang lain secara berulang dalam waktu dekat. Bukankah baru kemarin ibunya menelepon. Apa, iya, hari ini menelepon lagi? Apa ada sesuatu hal yang mendesak?
"Iya." Risa mengangguk, "Tapi diputus dulu. Katanya nanti akan telepon lagi. Kamu pegang saja HP-nya."
"Iya, Sa. Terima kasih."
"Sama-sama."
Arini meraih ponsel poliponik milik Risa, lalu menyimpannya di saku rok. Dia bergegas menyelesaikan pekerjaannya sebelum kembali ke kamar untuk menunggu panggilan.
Sekitar lima menit berlalu, panggilan yang ditunggu masuk. Nomor baru, Arini segera menekan tombol dengan simbol gagang telepon berwarna hijau.
"Assalamualaikum." Dia memberi salam terlebih dahulu, berpikir suara yang akan menyambut milik Arma.
"Waalaikumsalam, Arini."
Ternyata bukan suara Arma, melainkan suara berat yang masih sangat dikenalnya. Seluruh tubuh Arini terasa menegang tidak nyaman. Sejenak dia membeku dan membisu.
"Arini ...." Suara itu kembali menyebut namanya. Hati Arini bergejolak. Jemarinya mengepal keras. Sungguh suara itu tidak ingin didengarnya. Panggilan dari laki-laki itu tidak pernah diharapkannya.
"Bang Dani ada keperluan apa menelepon?" tanyanya ketus dan dingin.
Ah!
Benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana laki-laki ini masih punya nyali untuk menghubunginya, setelah apa yang dia lakukan.
"Abang hanya ingin bicara sama kamu saja, Rin," balas suara itu ringan, seolah tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Arini semakin geram.
"Bicara apa?"
"Ya, ngobrol-ngobrol saja."
"Jika tidak ada sesuatu yang penting, sebaiknya tidak perlu menelepon. Hp ini pun bukan punya saya."
"Saya, Rin?" Suara Dani terdengar heran mendengar Arini membahasakan dirinya dengan sebutan saya. Baginya terdengar begitu canggung dan formal.
Dulu, Arini selalu membahasakan dirinya dengan aku atau nama, terdengar lebih akrab.
"Ada yang salah?" sahut Arini datar. Ia sama sekali tidak ingin membuka peluang untuk kembali mengakrabkan diri dengan laki-laki itu. Selain luka yang ditorehkan belum sepenuhnya sembuh, Dani sekarang sudah berstatus suami sepupunya. Dia tidak mau dicap sebagai perusak rumah tangga atau penggoda suami orang
"Biasanya enggak begitu, Rin?"
"Karena memang di antara kita sekarang sudah tidak biasa lagi."
"Rin ...."
"Abang kalau enggak ada yang penting, lebih baik saya tutup teleponnya."
"Tunggu dulu, Rin."
"Sampaikan apa yang penting, hitungan lima saya putus teleponnya."
"Rin ...."
"Satu ...."
"Sebentar, Rin."
"Dua ...."
"Arini ...."
"Tiga ...."
"Abang hanya ingin mengobrol."
"Empat ...."
"Rin, abang rindu sama kamu. Abang menyesal telah menyakiti hati kamu. Abang minta maaf."
"Lima ...."
Tut!
Tidak ada kompromi, Arini memutus panggilan. Kata rindu dan maaf yang diucapkan Dani bukannya menyentuh hatinya, justru membuat muak. Tangannya bahkan sampai bergetar oleh emosi yang tiba-tiba merajai.
Entah dari siapa Dani memperoleh nomor Risa untuk menghubunginya. Tidak mungkin keluarganya yang memberikan. Bahkan ibunya yang selama ini terkenal begitu pemaaf, begitu marah pada kelakuan Dani dan sampai sekarang bersikap dingin.
Apa Dani meminta pada tetangga yang kemarin ponselnya dipinjam Arma? Arini hanya bisa menduga-duga.
Entah apa juga yang terjadi dalam rumah tangga dua orang yang pernah dekat dengannya itu. Mengapa Dani tiba-tiba menghubunginya dan mengaku menyesal. Apa mereka terlibat masalah?
Sepertinya benar, sesuatu yang diraih dengan jalan yang tidak baik, akan sulit untuk menjadi baik.
Tidak ada kebahagiaan yang diperoleh, dengan menyakiti hati orang lain.
***
"Arini, dicari Bang Roni!"
Vina datang dengan tergopoh-gopoh ke ruang kuliah. Tangannya menenteng plastik putih berisi beberapa jajanan yang dibeli dari kantin kampus.
Sementara Arini sendiri tidak keluar usai mata kuliah pertama. Dia memilih duduk di kelas sambil membaca modul, menunggu jam kuliah selanjutnya mulai.
"Ada apa Bang Roni cari aku?"
Arini menoleh sambil dahinya mengernyit. Roni merupakan asisten laboratorium untuk mata kuliah praktikum Fisika Dasar I. Hari ini jadwal pengumpulan laporan. Arini sendiri sudah mengumpulkan bersama teman-teman satu kelasnya. Lantas kenapa dia dipanggil? Apakah ada kesalahan? Jika, iya, seharusnya teman-temannya yang lain juga dipanggil. Sebab sumber laporan itu hampir semua sama, dari dirinya. Jadi, isinya pasti kurang lebih. Kesalahan pun pasti akan kurang lebih juga.
"Katanya kamu dipanggil Pak Bira."
"Heh?"
Arini meneguk ludah. Adi Bira Winata, dosen muda yang saking idealisnya, terkenal sebagai dosen killer. Selama hampir satu semester ini, memang selalu saja ada celah Arini yang membuatnya mempunyai alasan untuk menegur, tepatnya memarahi. Anehnya, hanya dirinya yang selalu jadi sasaran kemarahan. Sekarang, entah apalagi celah yang membuatnya akan dimarahi.
"Gih, cepat. Mumpung kuliah masih setengah jam lagi. Jangan membuat Pak Bira menunggu sebelum nanti dia berubah jadi harimau Sumatera." Vina menatap Arini prihatin.