Allahumma shoyyiban nafi'an
Arini mengusapkan kedua telapak tangan pada wajahnya. Titik-titik hujan sisa semalam masih terdengar hingga subuh menjelang. Berbagai doa dia panjatkan, tidak sekadar meminta semoga Allah memudahkan segala urusannya, tetapi juga semoga Allah menguatkan setiap langkahnya dalam menghadapi ujian yang diberikan.
"Rin, hari ini sampai seminggu ke depan kakak mau pulang ke Singkawang. Kamu bisa gantikan kakak ngajar bimbel?"
Arini baru selesai berpakaian sehabis mandi ketika Sri, mahasiswi tingkat akhir yang juga kost di tempat yang sama, bertandang ke kamarnya. Seperti mendapatkan sebuah lotre, Arini terperangah tidak percaya.
"Gantikan Kak Sri ngajar bimbel seminggu?" Ia mengulang kalimat Sri.
"Iya." Sri mengangguk, "Bisa 'kan?"
"Bisa, Kak. Bisa." Arini menyahut cepat, seolah tidak ingin Sri menarik kembali ucapannya. Dalam hati, beribu syukur dia panjatkan.
"Ya, sudah. Mulai besok, ya, Rin. Seperti biasa, jam tiga sore. Nanti kakak sampaikan ke pihak bimbel bahwa kamu yang gantikan."
"Iya, Kak."
Arini memang pernah menggantikan Sri mengajar bimbel sebelumnya ketika dia sakit. Honor yang diterima per satu pertemuan untuk setiap kelas sebesar Rp 25.000,00. Angka ini jauh lebih besar dari pada honor pengajar aslinya yang hanya Rp 15.000,00 untuk satu kali pertemuan. Pihak bimbel sengaja memotong honor pengajar lebih besar untuk mendorong mereka lebih aktif mengajar.
Jika menggantikan selama satu minggu, maka honor yang akan Arini terima sekitar Rp 175.000,00. Sangat lumayan untuk tambahan uang saku.
"Eh, tapi kamu berangkat bimbelnya pakai apa, Rin? Soalnya motor kakak bawa pulang."
Sebelumnya, Arini menggunakan sepeda motor Sri untuk berangkat ke lokasi bimbel. Saat itu Sri sakit, jadi kendaraannya menganggur.
Arini sendiri tidak punya kendaraan apa-apa. Ke kampus ia berjalan kaki. Jarak kos dan kampus tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu tempuh sekitar dua puluh menit jalan kaki. Namun, berbeda dengan lokasi bimbel. Jaraknya cukup jauh, bisa satu jam jika harus berjalan kaki.
"Enggak apa-apa, Kak. Nanti aku pikirkan," sahut Arini tenang. Jika pun terpaksa berjalan kaki, dia akan lakoni. Satu minggu menggantikan Sri mengajar, tidak akan dia sia-siakan.
Arini sendiri sebenarnya mau mengajar di tempat bimbel itu. Akan tetapi, syarat yang diberikan pihak pengelola harus menyertakan transkrip nilai selama dua semester. Satu semester pun dia belum punya. Begitu pula dengan les privat. Orang tua siswa akan bertanya semester berapa dia kuliah. Mereka lebih percaya menyerahkan anak-anak mereka pada mahasiswa yang sudah semester lanjut, daripada mahasiswa baru seperti dirinya.
"Aku bisa minta antar teman," lanjut Arini meyakinkan ketika Sri menatapnya dengan sorot bimbang.
"Oh, oke, kalau begitu, Rin. Terima kasih sebelumnya."
"Aku juga terima kasih banget, Kak."
"Iya, sama-sama. Kakak kembali ke kamar dulu, ya."
"Iya."
***
Kuliah berakhir pukul 14.00. Sedikit buru-buru, Arini mengemas buku-buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Satu jam lagi jadwalnya menggantikan Sri mengajar bimbel. Dia tidak boleh terlambat. Selain sebagai sebuah tanggung jawab, kehadirannya sekaligus sebagai branding nama di mata pihak lembaga. Mana tahu mereka meliriknya untuk dijadikan salah satu pengajar untuk waktu yang akan datang.
"Arini, mau kemana? Buru-buru amat?" Suara Vina menahan langkahnya yang hendak meninggalkan kelas. Ia terpaksa menoleh dan menghentikan langkah ketika teman satu kelasnya itu menghampirinya.
"Aku ada keperluan, Vin," sahutnya cepat.
"Kemana?"
"Aku diminta Kak Sri menggantikannya mengajar bimbel. Dia pulang ke Singkawang selama seminggu."
"Oh .... Jam berapa?" Vina cukup sering berkunjung ke kost Arini, jadi dia sudah mengenal beberapa teman kost Arini, termasuk Sri.
"Jam tiga ini."
"Masih satu jam lagi, Rin."
"Iya."
"Kamu pergi pakai apa?"
"Mungkin jalan kaki."
"Jalan kaki?"
"Iya."
"Mau kuantar?"
"Kamu enggak repot?"
"Tapi ada syaratnya."
"Laporan Fisika Dasar?"
"He he."
Arini tersenyum ringan. Dia sudah hapal tabiat temannya yang satu ini. Lima bulan bersama, cukup untuknya mengenal beberapa karakter anggota kelas.
Keaktifan Arini di kelas, juga ketepatannya dalam mengerjakan tugas membuatnya mulai dikenali sebagai mahasiswi dengan kemampuan lumayan. Tidak hanya Vina, Arini pun kerap didekati mahasiswa lain untuk dipinjam tugas-tugasnya, terutama laporan praktikum.
Arini tidak keberatan, selama mereka tidak menyontek plek ketiplek, tetapi diolah dengan bahasa sendiri.
"Boleh, ya, Rin?" Vina memohon sambil cengengesan.
"Iya, boleh. Tapi, kalimatnya enggak boleh sama," sahut Arini.
"Sip!" Vina berseru girang sembari mengacungkan kedua jempolnya.
"Tapi laporannya ada di kos."
"Ayo kita ambil. Setelah itu aku antar kamu ke tempat bimbel. Nanti pulang aku jemput lagi."
"Iya."
***
Bimbel selesai pukul empat sore. Satu kelas untuk satu pertemuan memang hanya satu jam. Arini duduk di kursi lobi sembari menunggu jemputan dari Vina. Pikirannya melayang pada sebelas lembar uang lima puluh ribuan kiriman Arma yang diantarkan Eka kemarin sore.
Sebelas lembar, kurang selembar dari angka yang disebutkan Arma. Sebenarnya ingin Arini menanyakan kekurangannya itu pada Eka. Rp 50.000,00 bagi Arini sangat besar dan berarti. Namun, saat mulutnya hampir terbuka untuk bertanya, hatinya merasa tidak enak.
Salah satu kelemahan Arini, terlalu takut orang yang telah membantunya tersakiti atas ucapan atau perbuatannya. Dia takut Eka tersinggung. Meskipun kemudian dalam hati dipenuhi berbagai praduga. Eka termasuk dari keluarga berada. Mereka pun masih terbilang saudara. Apa, iya, dia tega menilap uang yang tidak seberapa?
Sebuah ide terlintas di benak Arini, akan dia apakan kiriman dari ibunya itu.
Banyak keperluan yang lumayan bisa dia tutup dengan uang kiriman itu. Akan tetapi, uang itu tidak boleh habis begitu saja. Dia harus mampu mengelola, bagaimana uang itu bisa berkembang sehingga segala kebutuhannya terpenuhi tanpa harus menyusahkan keluarganya lagi. Paling tidak, dia tidak harus terlalu kesusahan seperti saat ini.
"Rin!"
Panggilan Vina disertai suara klakson sepeda motor membuyarkan pikiran Arini. Ia segera beranjak menghampiri sahabatnya itu.
"Melamun aja, Rin?" tegur Vina ketika Arini sudah menjejakkan tubuhnya di atas sepeda motor.
"Heh? Enggak, kok?" balas Arini cengengesan.
"Enggak gimana? Orang aku tadi manggil kamu sudah lebih dari tiga kali, lho."
"Masa?"
"Huum. Melamunkan apa, sih?"
"Enggak melamun."
"Terus apa namanya kalau bukan melamun?"
"Hanya berpikir."
"Heh!" Vina mencebik. Dia pun sudah mulai mengenal teman satu kelasnya itu, pandai mengalihkan kata sehingga terlihat seperti berbeda, padahal maknanya kurang lebih.
Arini hanya terkekeh geli mendapati ekspresi setengah jengkel dari Vina.
"Memangnya kamu mikirin apa?" Meskipun agak kesal, Vina tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.
"Sore begini pasar masih buka enggak, ya, Vin?" Arini membalas pertanyaan Vina dengan pertanyaan pula.
"Pasar apa?"
"Yang jual perabot seperti kompor, wajan."
"Kayaknya masih. Biasanya mereka tutup jam lima."
"Mau antar aku ke sana enggak, Vin?"
"Kamu mau beli kompor?"
"Iya."
"Ayo."
"Benaran mau antar, Vin?"
"Iya. Sekalian aku juga ada yang mau dibeli. Mumpung kamu minta antar, aku ada temannya."
"Terima kasih, Vin."
Arini tidak bisa menyembunyikan girangnya. Dia bersyukur dikelilingi orang-orang baik yang selalu bersedia membantu. Itu pun merupakan anugerah yang tidak ternilai harganya. Meskipun pasti ada segelintir orang yang tidak menyukainya. Tidak mengapa. Kita memang tidak bisa membuat semua orang menyukai kita. Akan tetapi, kita bisa memilih untuk lebih dekat pada orang-orang yang mendukung kemajuan kita, dan mengabaikan orang-orang yang merusak mental kita.
Satu jam mengelilingi pasar, Arini berhasil membawa pulang kompor, wajan, panci, sutil, dan pisau. Ada pula beberapa bahan masakan berupa minyak goreng, beras, udang kering asin, dan bumbu-bumbu.
Arini sudah memutuskan untuk membuat jajanan sebagai usaha. Berdasarkan pengamatannya, kantin kampus begitu laris jajanan. Tadi pagi dia sudah bertanya pada pengelola kantin untuk menitipkan jajanan di sana. Mereka tidak keberatan.
Arini sudah mengamati jajanan yang paling banyak diminati. Dia yang sudah terbiasa memasak, merasa tidak kesulitan membuat jenis-jenis makanan itu. Arma sudah mengajari anak-anaknya memasak sejak belia. Besok sebagai perdana, dia akan membuat lontong sambal.