02. SEBUAH SYARAT

1754 Kata
"Salah sendiri, buru-buru amat jalannya," kilah Albrian. Diana melotot. "Apa lo bilang? Salah gua?! Mau ngesot, jongkok, lari kayak monyet kek. Terserah gua, dong! INI KELAS AKUNTAN! Ngerti lo!" Albrian tak dapat berkata-kata lagi, ada benarnya juga. Ia salah, menginjakkan kaki di daerah jurusan lain, sedangkan perempuan yang ia cari mencoba melerai ocehan temannya. "Perbuatan lo juga gak bisa dibayar ama uang! Pake tenaga, tau lo?!" Emosi Diana semakin memuncak, hampir berada di atas gunung tertinggi di dunia. "Udah, Din, nanti salin ulang aja," ucap Prisil menenangkan. "Salin? Ogah amat, ya ... amit-amit, deh! Ini juga belum balance! Gua yang haru—" "Gua salinin! Gak usah diperpanjang, ayok!" Prisil mencekal tangan Diana, menyeretnya menuju perpustakaan tak jauh dari sana. "Urusan kita belum selesai! Awas, ya!" teriak Diana dengan wajah memerah. Kopi s**u di tangannya seolah pembawa sial, kakinya mundur, melangkah mendekati anak tangga, menurun, sedangkan Prisil masih menyeret Diana yang enggan mengikutinya. Ruangan bernuansa penuh buku itu menyambut mereka, aroma pewangi ruangan yang khas menjadi menenangkan. Membuat Diana mengembuskan napas kasar, menatap tabel jurnalnya kesal. "Salin, cepetan! Kalo elo kagak narik gua ke sini, tuh, orang udah gua suruh!" ketus Diana sambil mendekap kedua tangannya di d**a. "Serius? Tulisan cowok kayak apa, Din ...." Diana tak peduli, ia langsung duduk saja di salah satu bangku. Prisil pun merobek kertas yang ternodai kopi itu, sebuah pensil sudah bertengger terjepit di antara tangan kiri, keanehan yang dimilikinya. Sangat jarang orang-orang menulis dengan tangan kiri, tetapi bagi Prisil adalah hal biasa. Diana melirik Prisil yang mulai menulis, sehubung tujuan tadi keluar untuk mengisi agar jurnalnya bisa balance, Diana merengek manja, lebih baik diisi saja semuanya oleh Prisil. Daripada mengajari yang tak dapat masuk ke otaknya dengan gampang. "Sampe balance?!" protes Prisil. "Lagian ... gak seru kalo disalin doang, kan? Udahlah, kasihanilah teman sebangkumu ini, PRISIL!" tegas Diana sambil mengeluarkan iphone-nya. Prisil melepas pensilnya. "Bukannya gua gak kasian, Din, gua harus baca materi lain. Gara-gara elo, waktu gua terbuang," jelas Prisil tenang. "Dari kelas sepuluh, sifat lo gak berubah, ya, Pril. Elo itu seolah gak nganggap gua sebagai teman, seenggaknya tolong sedikit aja. Gua juga gak maksa, nyuruh buat gua pinter dalam satu hari," balas Diana. "Lagian, elo udah pinter! Guru produktif juga bilang, elo berhasil jadi guru di umur yang termuda. Berarti semua pelajaran udah lo kuasai," lanjutnya. Prisil terdiam lalu membalas lagi, "Gua gak butuh teman dari dulu juga, dengan belajar itu yang membuat gua tenang." Pernyataan Prisil membuat Diana membatu. "Udah, ah, nge-wifi aja! Salin cepet, tuh. Lumayan, kuota gua lagi sekarat." Diana selalu mengalihkan pembicaraan. Jika, Prisil tak suka, maka akan kepanjangan membuat mereka sampai tak membuka percakapan. Sikap dinginnya sudah mendarah daging, sulit untuk diubah apalagi hanya dinasehati saja. Layar ponsel Diana bermunculan pria dengan segala macam gaya, termasuk orang Indonesia yang terkenal karena menjadi cast di beberapa cerita w*****d. Diana adalah pembaca setia, di mana ada cowok ganteng. Di situ pula ada Diana, lari terbirit-b***t menuju perpustakaan demi menyambungkan jalannya pencarian karena terputus kuota tak berdaya. "Elo gak salah baca mulu, seenggaknya kerjain ini, Din," protes Prisil. Diana mendongak. "Salin dulu aja, Pril ... greget, deh, gua!" Prisil mengembuskan napasnya panjang, mulai kembali menyalin bukan tulisan di selembar kertas yang ternodai. Namun, tulisan tangannya yang sudah berada di luar kepala, sampai pensilnya mencoret jumlah akhir yang menandakan balance, telah usai. Setelah menutup buku besarnya, Prisil siap bangkit. Tiba-tiba, seorang lelaki menggunakan sweter putih di ambang pintu, membuatnya terpaku di tempat. Napasnya seolah terhenti, hingga bola mata hitamnya mendapati Prisil. Diana masih tak tahu apa-apa, fokusnya dikuasai n****+ yang sudah terbit, membuat jiwa kebokekannya meronta-ronta. Di belakang, lelaki itu mendekati Prisil. Sampai jarak mereka diperkirakan lima belas sentimeter. "Selamat, ya," ucap lelaki itu lalu mengulurkan tangannya. Prisil menelan ludahnya kasar, ia berharap Diana menarik tangannya keluar. "Heem." Gumaman sederhana yang selalu diberikannya. Lelaki itu tak merasakan genggaman tangan Prisil. Ia mengepalkan tangannya itu, yang tercampakan. Padahal, tujuannya hanya ingin menyanjung perempuan di depan karena bisa mengalahkan lawan di pemilu pemilihan ketua OSIS. Yaitu dirinya. Kevin Marqley. Meskipun saat pengumuman ia sempat saling menggenggam. Namun, rasanya berbeda, itu adalah paksaan demi cerminan bahwa mereka baik-baik saja. Tak ada rahasia yang disimpan rapat dalam diam oleh Prisil. "Gua mau cari buku," pamit Kevin lalu melangkah menjauh. Prisil mendorong bahu Diana. Namun, teman sebangkunya itu malah mengedikkan bahunya menolak. Ia pun mendengkus, memilih keluar sendirian. Beberapa kakak kelas dan adik kelas sempat menyapanya, dibalasnya dengan anggukan saja. Di ambang pintu kelas sebelas Akuntansi 1 seorang guru yang tak salah lagi pembina OSIS, membuat Prisil melangkah cepat menghampirinya. Pak Wili langsung membalikkan tubuhnya, mendapati orang yang dicari. Mereka pun berjalan beriringan menuju ruang OSIS. Tanpa disadari, seseorang membuntuti. "Ada salah satu anak Akuntansi, ayahnya meninggal dunia barusan. Maka, bapak menyarankan kamu dan anak buahmu bertugas, membawa kotak amal," jelas Pak Wili. Sebuah tugas, awal menjadi ketua OSIS, setelah hari yang lalu hanya dilewati dengan perlombaan biasa, sedangkan sekarang harus memasuki satu per satu kelas, mengharap amalan untuk diberikan kepada murid yang ditinggalkan seorang ayah. Pak Wili duduk di hadapan Prisil yang terlihat gugup. "Dan ... bapak tahu, rahasia kamu terjaga, kok, asalkan bia—" "Saya bisa, saya selalu mendengar KETOS kemarin, Pak," sela Prisil memotong penjelasan Pak Wili. "Kamu yakin?" Kerutan di dahinya menandakan keraguan. Prisil pun mengangguk mantap. "Saya bisa," jawabnya mantap. Setelah berbasa-basi. Prisil keluar dari ruangan, membawa sebuah kotak amal yang kosong. Langkahnya terhenti karena sudut matanya sempat menangkap orang yang barusan hampir terjatuh, tepat di belakang pintu yang barusan ia tutup. Benar saja. Orang itu memejamkan matanya, siap dihujat oleh ketua OSIS dingin. "Mau lo apa? Kita gak ada urusan!" ketus Prisil. Albrian membuka kelopak matanya, menatap langsung perempuan yang ia incar. "Gua tertarik. Gimana, dong?" Prisil mengerutkan keningnya dalam, genggaman di kedua sisi kotak amal mengeras. "Maksud lo?!" "Gak perlu penjelasan," putus Ambrian sambil mundur perlahan, lalu pergi meninggalkan. Lagi. Prisil muak dengan adanya lelaki yang mulai mendekati, dengan cara apa pun. Ia tetap diam, tak peduli, untuk apa dipikiri? Buang waktu saja, sedangkan pelajaran masih mengantre siap ia selami. Bila perlu, tenggelam di dasarnya, agar tak seorang pun mengganggunya. Selesai membagi tugas, membuat Prisil absen dari jam pelajaran yang teramat ia sukai. Produktif. Apalagi membuat tabel jurnal keuangan, sebuah tantangan harus sampai akhir menjadi balance memuaskan, sedangkan jauh di sana. Diana sudah menahan napasnya. Penggaris, pensil, penghapus, dan buku besar telah tersaji di depan. Siap mencatat. Studi kasus. Baru disadari. Prisil bertugas dengan seorang adik kelas berkacamata hitam. Namun, bukan itu yang membuatnya tertegun, tetapi lelaki yang mengintip dan membuat jurnal Diana ternodai kopi, berada tepat di bangku paling belakang, dengan lelaki yang memiliki rambut acak-acakan. Tak salah lagi, orang yang membicarakan tubuhnya tempo hari. Langkah mereka sampai di depan kelas, seorang guru berkerudung hitam mengangguk, memberikan waktu untuk Prisil. Semua mata memandangnya tak suka, bagaimana tidak? Prisil mengalahkan Kevin sebagai perwakilan anak Multimedia. Pastinya, kemenangan Prisil, membuat mereka murka. Tak menyukainya. "Assalamualaikum," salam Prisil dengan logat tak biasa, kaku. "Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!" balas semua orang termasuk, Albrian dengan lantang. "Kami berdiri di sini. Karena sebuah kabar yang tak dapat disangka hadir menyapa. Seorang ayah, yang menempatkan buah hatinya belajar di SMK tercinta kita, telah menghadap kepada-Nya. Demikian, dari OSIS mengharap amalan, semoga dapat membantu keluarga Almarhumah, Aamiin." Penjelasan Prisil membuat semua orang yang menatapnya tak suka mengangguk. Mereka mulai mengeluarkan lembaran uang dari saku, tinggal tugas adik kelas Prisil yang berkeliling mengharap lubang kotak amal terisi. Sampai di depan bangku Albrian, tanpa pikir panjang ia bertanya, "Kenapa enggak KETOS-nya juga yang jalan ke mari?!" Sebuah pertanyaan, membuat Prisil menjawab cepat, "Maaf, kami telah ditugaskan, satu orang pembicara dan satu lagi berkeliling menyodorkan kotak amal," jelasnya santai. Albrian mengangguk. "Oh, gua bukan anak OSIS jadinya gak tau!" balasnya. Saat kotak amal telah di depan. Albrian kembali berteriak. "Ini uang gak sebesar rasa suka gua sama dia!" Gelak tawa pun tercipta. "Emang siapa yang lo suka?" tanya Afrizal tak kalah lantang. Albrian telah memasukkan selembar uang berwarna hijaunya. "Orang yang lagi nunggu di depan sendirian, punya t**i lalat dekat dagunya. Yang tahu cuma gua karena kalian gak pernah sedekat yang gua lakuin." Jawaban Albrian lagi-lagi menciptakan teriakan histeris. Meskipun Albrian bukan orang terkenal akan kegombalan, tetapi jawabannya membuat semua perempuan di kelasnya menjerit. Kecuali, Prisil. Ia tahu, tetapi ekspresinya tetap membatu, sampai di luar kelas. Tangannya terkepal. Siap menerjang, tetapi ia tahan. Bel pulang baru berbunyi beberapa detik lalu. Namun, Prisil sudah menjinjing ranselnya siap pergi, membuat Diana yang tahu kebiasaannya selalu membaca materi sampai lupa waktu, mengerutkan keningnya dalam. "Buru-buru amat, mau ke mana, Pril?!" seru Diana. Tak ada jawaban. Prisil melesat dengan cepat, menuruni anak tangga hingga sampai di parkiran yang penuh orang berdesak-desakan. Bola mata kecokelatannya mencari-cari, tak jauh dari sana. Seorang lelaki memakai headband hitam, sambil memundurkan motornya keluar dari parkiran. Secepat mungkin, Prisil melewati barisan motor yang menghalangi. Sampai di samping, tangannya mencekal erat tangan kekar orang itu. Tak ada sentakkan kasar, yang ada seringai lelaki seolah geli. "Kenapa, kangen, ya?" tanya Albrian. Prisil melepas cekalannya. "Maksud lo apa malu-maluin gua di kelas, tadi!" Albrian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Gua suka sama lo, gimana?" "Basi tau! Gua udah kebal dengan gombalan kayak lo, sampah!" umpat Prisil lalu siap meninggalkan parkiran itu. Namun, jemari Albrian sudah menghentikan langkahnya. "Mau pake cara apa, bukti gua suka sama lo?" tanya Albrian. Prisil tersenyum miring. "Elo cuma ngemis status, kan? PACARAN SAMA KETOS DINGIN! Puas?!" Albrian menggeleng. "Gua serius, gua suka sama sikap lo, penuh rahasia," kilah Albrian memohon. "Terus kalo elo tahu semua rahasia gua, mau apa, ha?!" Tangannya mencoba melepas cekalan Albrian, tetapi sulit. "Lepas!" jerit Prisil. Beberapa pasang mata sempat menatap mereka heran, di tengah kegaduhan orang membawa kendaraan. Mereka malah berduaan di tengah kegaduhan, bertanya-tanya sedang membicarakan apa. "Satu syarat, agar gua bisa dekat," pinta Albrian masih menahan cekalan. Prisil mendengkus. Ia berpikir keras, demi melepas genggamannya dan memutus pandangan tak suka dari orang-orang di sana. "Masuk tanding kelas Nasional." Albrian terpaku. Syarat yang sangat sulit dipijak, hambatannya pula sangat ketat sepulau Jawa pun ia tak lolos, apalagi tingkat Nasional. "Gua butuh syarat yang lain, lo tau—" "Gua gak butuh denger penolakan!" putus Prisil. Tanpa disadari Albrian, kaki kiri Prisil telah siap menerjang lututnya. Benar saja, Albrian meringis membuat cekalan di pergelangan tangannya terlepas, ia pun berlari cepat. "Sialan!" umpat Albrian sambil memegang lutut kanannya, meninggalkan jejak sepatu penuh debu. Namun, bukan Albrian jika sebuah tantangan tak ia terima dengan gampang. Ia pastikan, tingkat Nasional bisa dilalui dan membawa kemenangan. Sampai tubuh mungil di depan yang berlarian, menjauh menuju mobil berwarna hitam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN