"Tepos gitu, lo liatin apanya, Al?"
Pertanyaan Afrizal sontak membuat lelaki berbibir tipis itu mendelik, mata hitam elangnya hampir keluar karena kesal.
"Cewek jutek gitu, bisa jadi ketua OSIS? Pake pelet apa, tuh!" ketus Albrian sambil menggaruk rahang mulusnya.
"Bener juga, menurut pandangan Doktor Afrizal Wassalam, dibandingkan dengan Cupi Cupita, si Prisil kalah," jelas Afrizal.
"Bandinginnya yang bener dong, Zal ... Cupi itu emang udah kodratnya, kalo cewek di depan yang lagi latihan itu, harus dipertanyakan, suka makan kagak?"
Sudut mata perempuan dengan seragam putih silatnya menegang, ia tak harus bertanya lagi dua lelaki tak jauh dari pandangan—sedang membicarakan tentang tubuhnya. Apalagi sejak memenangkan pemilihan ketua OSIS, membuat semua orang bertanya-tanya apa keunggulan dari Prisil Margaretha Kyana.
Seorang lelaki jangkung memutus pembicaraan Albrian dan Afrizal, mereka semua duduk melingkar siap mendengarkan penuturan dari sang guru, Wijayanto. Termasuk Prisil tepat duduk di sampingnya, rambut hitam sedikit pirang kemerahan diikat ke belakang. Membuat lekuk leher jenjangnya terbuka lebar.
"Siang, semua!" sapa Wijayanto dengan mata tajam.
"Siang ...."
"Semoga kita diberi kesehatan selalu, tepat hari ini salah satu keluarga kita akan memutus latihan. Namun, bukan berarti memutus tali silaturahmi, benar begitu, Pril?"
Prisil mengangguk kaku, seperti biasa tak ada senyuman hanya untuk melengkapi.
"Dikarenakan tugasnya yang pasti padat, setelah memenangkan pemilihan ketua OSIS. Jadi, untuk tanding bulan depan, kelompok B kurang satu, mengerti?"
Serempak semua anak didiknya mengangguk, kecuali Albrian sudut matanya terpaku kepada Prisil. Sehelai rambutnya hinggap di kening, hingga semilir angin mampu menyapu helaian lainnya.
"Ada pesan terakhir yang ingin disampaikan?" tanya Wijayanto kepada Prisil.
"Semangat, harumkan nama SMK Hanum Perwita, dengan banyaknya juara," ucap Prisil singkat lalu mengangguk mengakhiri.
Wijayanto sedikit menepuk bahu muridnya itu, lalu latihan sore diakhiri dengan membaca doa di dalam hati.
"Dia ke sekolah naik mobil sendirian, belum pernah cowok yang berhasil runtuhin kesendiriannya," jelas Afrizal mengingat teman pecinta cewek gak jelas sempat membicarakan Prisil.
Tangan Albrian yang sedang memasukkan baju silatnya terhenti, Prisil memang bukan idaman lelaki yang menarik. Wajah kakunya menyiratkan keengganan berdekatan, walaupun nyatanya jika dekat akan nampak pesona alami dari wajahnya.
Langkah dua lelaki itu menuju parkiran, begitu pula Prisil siap membuka pintu mobil hitam mininya. Beberapa orang sempat berbincang-bincang, tetapi hanya diangguki dengan senyum kecil.
"Serius, kelas sepuluh dia gak keliatan ama mata gua," ucap Albrian menghentikan langkahnya.
Afrizal bergumam, "Emang, dia tertutup orangnya lagian kita, 'kan anak Multimedia mana tau, sedangkan si Prisil Akuntansi."
"Keanehannya harus gua cari, gimana?" Albrian menunggu persetujuan.
"Mau lo pacarin? Cih! Orang kayak batu gitu dideketin," komentar Afrizal sambil menghampiri motor merahnya.
Albrian masih menatap mobil yang mulai melaju. "Mau tau aja, gimana sensasinya."
"Bokap lo tau pacaran, tau rasa puasa sebulan!"
Alfaruk Muhammad Fauzan, lelaki yang terkenal akan kewibawaan sebagai pendakwah, penyebar agama Islam, tak tanggung-tanggung menghukum anak tunggalnya. Meskipun di rumah, Albrian terlihat baik dan sopan. Namun, jangan berharap kealimannya kekal.
Adanya Afrizal seorang senior peloncat paling handal, melewati batas dinding perbatasan—demi berleha-leha di sebuah warung kang bolos, melupakan tugas, tergantikan menghisap tembakau dalam, menyemburkan asapnya dengan tenang. Membuat Albrian mengikutinya perlahan.
"Besok pembuatan film, katanya masuk lebih awal. Jadi, otomatis acara biasa harus absen," pesan Afrizal lalu menyalakan motornya bergegas pergi.
Albrian mengangguk. Pikirannya masih tertuju kepada Prisil, dunianya siap menempuh percobaan baru. Walaupun berdekatan dengan wanita dilarang, demi memecah batu menjadi cair. Mungkin itu tak salah? Selagi Abinya tak curiga, seperti waktu lalu.
***
Terik matahari membuat sebagian orang-orang yang berada di tengah lapangan mengernyit, sedangkan perempuan dengan rambut terikat ke belakang sudah memainkan bola basketnya semangat. Membuat lelaki tak jauh darinya diam terpaku, seolah mangsa yang tepat di daerah kekuasaannya siap diserbu.
"Wah, serius mau deketin, tuh, cewek?" tanya Afrizal sambil berkacak pinggang.
"Banyak pertanyaan, terlalu sulit untuk didapatkan."
Gigi mungilnya menyembul, bibir tak terpoles lipstik terangkat tersungging senyum.
"Emang, gua yakin dia mentingin pelajaran dibanding pacaran, jadi ... bukan dari fisik lo liat?"
Albrian mengangguk. "Gua bakal deketin, dengan cara apa pun itu," balasnya lalu menjinjing ransel berisi kamera.
Seluruh ruangan terlihat dipenuhi peralatan khusus pembuatan film, sedangkan di ruang samping terdapat komputer siap rancang khusus praktik dan berjejer komputer tak menyala. Di depan, terpajang poster membuat siapa pun yang membacanya akan tersenyum geli.
Albrian pun duduk di salah satu bangku, mulai mengeluarkan kamera yang siap pakai oleh kelompoknya. Dari depan, Afrizal sudah membawa peralatan perfilman. Seorang guru prodi masuk, setelan kaus berwarna biru terang dipadukan celana hitam.
Rambutnya sedikit memutih, kentara sudah berumur. Semua anak sebelas Multimedia 1 telah berkumpul, duduk rapi di deretan bangku yang dikhususkan untuk mendengar sedikit materi, awal dari praktik dimulai.
"Kita mulai saja, ya, kalian siap-siap buat tracing muka ke vektor di corel draw terlebih dahulu, nanti langsung kirim hasilnya ke email bapak, seperti biasa. Terakhir, bisa cek semua peralatan film untuk minggu yang akan datang."
Penjelasan Pak Abdul, membuat Albrian mengerutkan keningnya dalam. Berarti Afrizal telah membohonginya, sedangkan lelaki bermati sipit tak jauh darinya terkikik.
"Silakan, bapak ke luar dulu, nanti kembali lagi," ucapnya sambil berlalu.
Ruang praktik mulai berisik, satu per satu memilih komputer yang akan dipakai. Kecuali, Albrian hanya mengutak-atikan lensa kamera. Afrizal pun menghampiri.
"Gua kira sekarang, ternyata besok, coy!"
"Halah, percuma masuk keluar lagi juga. Gimana kalo kita liat anak Akuntan?" ajak Albrian.
"Yakin mau deketin, tuh, cewek? Percuma, Al ... kayak batu menurut anak lain juga," tolak Afrizal kembali mengingatkan.
Albrian memicingkan matanya. "Ya udah, gua sendiri aja!"
Bangunan SMK Hanum Perwita hanya memiliki dua tingkat, di atas khusus kelas sepuluh sampai dua belas Akuntansi, sedangkan kelas bawah anak Multimedia semua. Jadi, sangat jarang bisa melewati anak Akuntan kecuali untuk pergi ke perpustakaan, yang notabenenya banyak perempuan.
Pernah pula di angkatan pertama, laki-laki jumlahnya tak sampai sepuluh orang. Namun, semenjak dunia pekerjaan sering menerima banyak dari jurusan Akuntan, setiap berganti tahun selalu ada lonjakkan yang tak sebanyak anak Multimedia.
Langkah Albrian sudah menaiki anak tangga, beberapa siswi melihatnya aneh. Sebuah logo tepat di samping tangan kanan, berwarna biru muda sudah menjawab ia jurusan mana. Entah alasan apa raganya telah berada di depan kelas sebelas Akuntansi.
Seorang perempuan memakai jilbab putih menghampiri. "Mau beli, gak?"
Albrian memutar tubuhnya, beberapa minuman dingin tersaji di atas nampan. Dari logo garis tiga berwarna merah menandakan, ia kakak kelas yang ditugaskan mencari pengalaman dagang kecil-kecilan, oleh guru kejuruan.
"Boleh, kopi susunya berapa?" tanya Albrian sambil menunjuk dua gelas plastik.
"Lima ribu," jawab Ira sambil tersenyum menyerahkan, lalu Albrian pun membayarnya dengan uang pas.
Setelah menerima kopi dingin itu, sedikit Albrian menyesapnya. Sambil melangkah menuju pintu yang terbuka, siap menemui seseorang untuk diajak kenalan. Kakinya sampai di ambang pintu. Namun, tiba-tiba.
Bruk!!
"Aww!" pekik seorang perempuan, lebih pendek dari tubuh Albrian yang jangkung.
Sebuah buku besar tercoret jurnal umum yang belum selesai diisi meninggalkan jejak berwarna cokelat, kopi di genggaman Albrian berhasil tumpah di atasnya. Perempuan yang ber-nametag Diana F.S itu mendongak, matanya membulat sangar.
Tatapan mata hitamnya tertuju ke logo di lengan kanan Albrian. Wajahnya sudah memerah, siap meneriaki orang di depannya, sedangkan perempuan di sebelahnya siap mendengar ocehan teman sebangkunya.
"Ini kelas AKUNTAN! Ngapain anak MM ke sini?!"
Albrian terpaku, ia tak mampu berkata apa-apa. Sudut matanya telah menangkap orang yang akan ditemui. Prisil Margaretha Kyana.