Metta terlihat tersenyum samar dengan berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Di tangannya ada satu kaleng minuman soda yang sengaja ia beli dari kantin rumah sakit untuk gadis itu berikan pada Arseno. Katanya sebagai ucapan terima kasih karena pemuda tampan itu mau meminjamkan kemeja padanya semalan.
Gadis yang berambut sebahu itu terlihat menguncir rambut pendeknya dengan beberapa helainya terurai karena terlalu pendek. Metta hendak berbelok ke lorong, namun dokter cantik itu menghentikan langkahnya melihat Arseno sedang mengobrol dengan seseorang di depan sana.
Metta memicingkan mata dengan melemaskan bahu melihat sosok cantik di depan Arseno yang tampak malu-malu menyodorkan minuman kaleng bersoda pada pemuda jangkung itu.
"Ini dokter, sebagai ucapan terima kasih karena dokter udah mau membantu merawat kakak saya di sini... " ujar gadis itu masih mengangkat kaleng minum di udara, Arseno hanya menatapnya diam dengan kening mengkerut. "Gak perlu, udah tugas saya sebagai dokter merawat dan mengobati pasien." Balasnya dengan raut datarnya membuat gadis yang masih memegang kaleng minum itu mengerjap kaget.
"Ah? Gakpapa dok, ini terima aja. Lagipula saya senang kalau dokter mau menerima minuman ini... "
"Saya gak suka soda," potong Arseno dengan menatapnya datar, sosok di depannya jadi melemaskan bahu kecewa dengan tersenyum samar.
Metta yang masih menatap keduanya dari jauh hanya melongo kecil. Menatap nanar kaleng minuman soda di tangannya. Dokter muda itu berbalik dengan menggigit bibir kecil. Entah kenapa merasa kecewa sendiri.
Arseno memang banyak yang menyukai. Entah dari sesama dokter, pasien, keluarga pasien atau pun beberapa staff lainnya. Pemuda dengan tatapan dinginnya itu memang populer di rumah sakit sana. Walau pribadinya tidak sebagus wajahnya. Tetap saja, Arseno menarik perhatian orang-orang.
"Itu minuman buat saya kan?"
Metta tersentak kaget dengan mulut menganga kecil menatap Arseno yang sudah berdiri di depannya dengan memandangnya datar. Pemuda itu menjulurkan tangan dan meraih kaleng soda pada tangan Metta.
"Kalau mau kasih langsung aja... " ujarnya dengan melangkah pergi tanpa menatap Metta yang masih mematung di tempatnya. Pemuda itu dengan tanpa dosanya membuka penutupnya dan menenggaknya di koridor.
"Katanya gak suka soda?" Gumam Metta bingung sendiri lalu melangkah mengekori dengan kening mengkerut.
Metta terhenti dengan mengulum bibir menahan senyum. Gadis itu memekik tertahan dengan gemasnya. Apa ini pertanda kalau Arseno hanya mau menerima pemberian darinya saja. Itu berarti ada lampu hijau untuknya. Gadis itu menggigit bibir dengan pipi merona lalu kembali melangkah mengekoro Arseno yang sudah berbelok ke arah kantin rumah sakit.
"Dokter Arsen!" Panggilnya dengan berlari kecil mendekati. Pemuda di hadapannya itu hanya sekilas melirik lalu mengalihkan pandangannya kearah ponselnya.
Metta tersenyum samar masih mendongak kecil menatap Arsen yang merunduk pada ponselnya. "Dokter ada acara gak pulang nanti? Kalau gak ada gimana kalau kita perg---- "
"Iya? Sekarang dimana? Langsung ke sini aja!" potong Arseno dengan berlari kecil seakan terburu-buru, Metta berdecak samar masih memandangi kepergian pemuda itu yang sama sekali tidak menganggap keberadaanya.
"Apasih yang aku harapin? Arseno itu sama sekali gak peduli kan? Berhenti berharap Metta... " omelnya pada diri sendiri seakan menegur hatinya yang masih batu. Tetap menyukai pemuda itu meski tidak digubris selama ini.
"Kapan ya, Arsen bisa balas perasaan aku?"
***
Arseno membasahi bibir bawahnya dengan mengusap wajah gusar. Pemuda jangkung itu menolehkan kepala ke arah ranjang yang terlihat seseorang terbaring tidak berdaya di sana. Ada beberapa luka goresan di wajahnya, ada balutan di kaki dan juga tangannya. Tampaknya sosok itu patah tulang dan masih tidak sadarkan diri.
Arsen menghela keras dengan mendongak kecil.
"Korban lainnya di mana sekarang?" Ujarnya sembari menatap lurus pria berkemeja di hadapannya yang berdiri di sisi samping ranjang. "Masih di eksekusi, mungkin setengah jam lagi ke sini." Balas pria itu membuat Arseno menganggukan kepalanya lemah.
"Dia rencanya mau ke Inggris lanjut kuliahnya setelah liburan sama temannya. Om gak tahu kalau dia bakalan ngalamin ini," jelas pria itu dengan tersenyum miris, Arseno hanya terdiam dengan mencengkram selimut adiknya kasar. Pemuda itu mengeraskan rahangnya dengan tatapan tajamnya.
"Alvaro gak akan kenapa-napa kan Om?" Tanyanya dengan memandang adik sekaligus kembarannya yang terpisah lama dengannya itu. Kembarannya yang selama ini ia perhatikan dari jauh dan berakhir terbaring lemah karena kecelakaan pesawat yang di alami pemuda itu.
"Dia pasti kuat kok. Om yakin dia akan baik baik saja," Balas Farhan dengan berusaha menenangkan pemuda itu.
Arseno mengangguk lagi dengan mendudukan diri pada kursi di samping ranjang.
"Gimana perasaan kamu bisa bertatap muka dengan kembaran kamu lagi?"
"Entahlah. Daripada senang, lebih ke bersalah... " ujar pemuda itu dengan menjeda omongannya, "bersalah aja selama ini gak bisa sama sama. Gak bisa tumbuh dan besar sama sama dan mengenal satu sama lain." Tambahnya dengan mengerjap samar.
Farhan menghela pelan.
"Itu semua kan bukan salah kamu. Kalau bukan karena keluarga kakek kamu, mungkin kalian gak akan terpisah begini. Dan kamu gak akan hidup sendiri selama ini hanya karena mengurus dan memperhatikan adik kamu dari jauh." Tuturnya dengan tersenyum kecil, "setelah ini, om harap kamu mau membuka diri dan serius mencari pendamping hidup."
"Kenapa tiba tiba bahas itu?"
Farhan terkekeh pelan mendengar nada ketus Arseno. "Ya gimana? Kamu kelamaan sendiri makanya judes begini Arsen. Setelah urusanmu dengan adik kamu selesai, kamu harus benar benar urus diri sendiri sekarang."
Arseno terdiam dengan memandang kembarannya lurus.
"Prioritas Arsen sekarang adalah kesembuhan Alvaro dulu. Urusan pendamping itu sekian, lagian kalaupun masalah jodoh udah ada yang ngatur."
"Ada aja alasannya ya? Yaudah om mau ngurus administrasi dulu." Pamit Farhan dengan menyempatkan tersenyum samar lalu melangkah pergi dengan menarik pintu dan menutupnya pelan.
Arseno beranjak berdiri dengan mengangkat alis tinggi.
"Pendamping?" Gumamnya dengan ambigu, pemuda itu bergerak kecil dan merapikan selimut kembarannya yang masih terbaring lemah itu.
Arseno memandang lekat wajah Alvaro dari dekat mencari perbedaan dan kesamaan wajahnya dengan pemuda itu. Dokter tampan itu tersentak sendiri, merasa seperti melihat dirinya sendiri sekarang. Ibarat mengaca, saking miripnya.
Arseno berdiri dengan tersenyum lembut.
"Long time no see my brother, Alvaro."