Pemuda jangkung itu menghela nafas panjang sembari menarik rambutnya ke belakang dengan jemarinya. Tatapannya datar dengan mata cokelat yang seakan mengintimadasi.
Arseno. Biasa disapa Seno itu meregangkan tubuhnya setelah berkutat dengan banyaknya pasien yang ditanganinya. Tangannya terulur menyentuh lehernya sembari menyender pada kursi kebesarannya.
Ketukan pada pintu ruangannya membuat pemuda itu mengangkat wajah pelan.
"Masuk." Ujarnya datar ciri khas seorang Arseno Nugroho.
Seseorang melongokan kepalanya di ambang pintu dengan menyengir lebar kearahnya membuat Seno mengalihkan wajah tidak peduli.
Arseno kembali memijat lengannya sendiri tanpa menghiraukan sahabatnya yang sudah mendudukan diri di hadapannya.
"Ck. Kebiasaan yah lo kanebo kering, gue siram juga nih biar gak kaku," celetuknya pemuda bernama Arka itu. Sahabat sekaligus salah satu dokter di sana.
Arseno hanya menggelengkan kepalanya heran. Matanya melirik kecil foto yang selalu di pajangnya di meja ruangannya. Foto dua anak cowok dengan satu perempuan yang tersenyum kearah kamera dengan gigi ompongnya.
"Gue capek bangat hari ini, No. Pasiennya banyak banget, di tambah lagi cederanya parah parah lagi." Curhatnya dengan menyenderkan punggungnya lelah, Arseno hanya mengangguk saja sebagai respon.
"Tadi aja pas operasi hampir aja cincin tunangan gue masuk ke salah satu organ pasien karena begonya gue lupa lepas," katanya dengan bergedik ngeri sendiri.
Arseno berdecak.
"Lain kali harus lebih fokus. Kalau sampe cincin lo masuk ke organ salah satu pasien tadi, lo mau tanggung jawab?" Arka mencebikan bibirnya sembari menggeleng, "enggaklah. Ngapain tanggung jawab? Emang gue hamilin?" Ujar Arka dengan wajah tanpa dosa.
Arseno melongos lalu beranjak dari tempat duduknya buat Arka mendongak kecil.
"Mau kemana? Elo belum ada istrahat, No." Omel pemuda bergigi kelinci itu masih menatap Arseno yang memakai jubah putih kebesarannya.
"Mau ketemu adik gue." Balasnya pelan buat Arka berdecak lirih, "jadi sekarang lo senang dong bisa bertatap muka lagi dengan kembaran lo lagi? Setelah berpisah lama?" Arseno mengangguk dengan senyuman samarnya.
Arka memang sudah tahu seluk-beluk keluarga Arseno. Tentang Arseno yang harus dipisahkan dari Alvaro, kembarannya dan juga kakak perempuannya Kirana yang sekarang entah dimana. Bukan tanpa sebab mereka terpisah. Insiden itu terjadi karena antek-antek kolega orang tuanya yang hanya ingin membasmi para generasi Nugroho yang akan memegang Siwan grub.
Nugroho Wijaya. Ayah Arseno yang merupakan CEO Siwan grub yang dipilih oleh kakeknya. Karena Kakeknya memiliki beberapa anak dan mereka tidak rela Siwan grub jatuh pada genggaman Nugroho. Merekapun harus menyusun strategi menghilangkan anak-anak Nugroho dari muka bumi.
Arseno tersentak kaget saat Arka menepuk pelan bahunya.
"Gak usah mikir masa lalu, yang penting sekarang adik yang selama ini lo pantau dari jauh bisa ketemu," kata Arka menenangkan buat sahabatnya itu mengangguk saja.
Arka beranjak dari tempat duduknya lalu menarik lengan Arseno dan menyeretnya keluar dari ruangan. Arseno terseok hanya pasrah.
Keduanya berjalan bersisian menyusuri koridor rumah sakit yang sudah sepi karena hari memang sudah begitu gelap. Hanya ada beberapa suster yang berlalu lalang sekedar mengecek keadaan para pasien yang mungkin ingin mengganti infus ataupun pertolongan lainnya.
Arseno dan Arka menuruni eskalator dengan diam. Seno terlihat mengedarkan pandangannya dengan tatatapan datarnya. Pemuda jangkung itu mengernyit melihat beberapa orang tengah bergerombol berdiri di depan ruangan salah satu pasien.
Arseno mengerjap saat melihat sosok berkerudung tengah merunduk menangis tersedu-sedu dengan beberapa pria berusaha menenangkannya.
"Gue boleh ikut masuk, kan?" Tanya Arka saat keduanya sudah berdiri di depan kamar VVIP. Tempat Alvaro berada.
Arseno mengangguk. Kepalanya tertoleh sekilas ke depan sana, melihat beberapa orang sudah ikut menangis. Arseno tidak menanggapi banyak. Pemuda itu hanya mengekori Arka yang sudah melesat masuk duluan.
"Wah. Beneran mirip anjir mukanya," takjub Arka sembari menatap Arseno dan juga Alvaro yang masih terlelap bergantian, "seru nih kalau punya kembaran. Bisa nipu orang, enak kalau selingkuh bisa gonta ganti pasangan," ujarnya tertawa kecil merasa geli sendiri.
Arseno meliriknya tajam membuat pemuda itu mengatupkan bibirnya rapat.
"Eh dia mau makan gak yah? Gue kupasin jeruk kali yah?" Kata Arka salah tingkah takut dengan tatapan intimidasi dari sahabatanya.
Arseno melongos.
"Dia masih belum sadar." Arka mengangguk membenarkan dengan tertawa lagi merasa bodoh begitu saja.
"Terus ini kita ngapain? Ngeronda?"
"Ka, kalau masih ribut mending ke kamar jenazah aja sana. Ngobrol sama mereka," kesal Arseno membuat Arka mendelik ngeri, "jangan anjir. Gue selama tugas disini belum pernah ke ruang mayat. Ngeri. Tapi lebih ngeri sama elo sih," balas Arka dengan mendudukan diri dan melirik pemuda yang masih tidak sadarkan diri di hadapannya itu.
Arseno menegak saat melihat jemari Alvaro bergerak kecil. Pemuda itu sontak mendekat ke sisi ranjang dan mengecek keadaan kembarannya itu. Arka pun begitu sudah mendekat dengan antusias.
Kelopak mata Alvaro bergerak perlahan dengan kening mengkerut seakan merasa silau dengan cahaya di ruangan itu. Pemuda itu mengerjap sayu dengan menatap lurus Arseno yang kini memandangnya lurus.
"Dia sadar." Gumam Arka dengan mengamati wajah Alvaro. Sebenarnya mengecek perbedaan diantara pemuda itu dan juga sahabatnya.
Arseno membasahi bibir pelan. Canggung juga karena untuk pertama kalinya mereka berdua bertatap muka begini. Walau selama ini Arseno memantau Alvaro dari jauh.
"Elo udah baikan?" Tanya Arseno lirih membuat Alvaro mengerjap-ngerjap merasa aneh dengan penglihatannya.
Pemuda itu terdiam. Dengan menautkan alis melihat Arseno yang kini menatapnya.
"Kok dia diam? Geger otak kali, No." Celetuk Arka merasa gemas karena kediaman Alvaro, "eh hilang ingatan kali kayak sinetron sekarang tuh. Yaudah gue jedotin di tembok aja yah kepalanya biar dia ingat." Lanjut Arka lagi asal membuat Arseno menatapnya tajam menyuruh diam.
Arseno kembali memandang Alvaro, "perhatiin tangan gue yah?" Katanya sembari menjulurkan tangan kanannya di depan wajah Alvaro dengan menggerakannya ke kiri dan juga kanan.
Alvaro dengan polosnya mengikuti gerak tangan Arseno dengan alis yang masih bertautan.
"Gue... boleh nanya?"
Arka dan Arseno sekilas saling pandang kearah pemuda yang menatap keduanya aneh.
Seno mengangguk lemah.
"Gue udah meninggal yah? Makanya gue bisa lihat wajah gue sendiri sekarang?" Mendengar itu Arka hampir meledakan tawa namun dengan cepat pemuda itu mengatupkan bibirnya rapat.
"Elo masih hidup. Dan sekarang lo di rumah sakit," Jelas Arseno dengan datar membuat Alvaro kembali melebarkan matanya kaget.
"Rumah sakit? Ngapain gue kesini?"
"Mancing mania kali." Celetuk Arka dengan asal.
Arseno melongos lagi.
"Emang rumah sakit bisa mancing?" Tanya Alvaro lagi dengan polosnya, "bisalah. Nanti dapatnya bukan ikan, tapi infus, jarum suntik sama perban. Mau lo?" Kata Arka masih saja asal buat Arseno berdecak kasar.
"Istrahat dulu. Besok baru kita ngobrol," kata Arseno memandang lurus sang kembaran yang masih menatapnya bingung.
"Elo ingat kan nama lo siapa?" Alvaro mengangguk.
"Alvaro."
Arseno menghela lega dengan sekilas melirik Arka memberi isyarat pada pemuda itu untuk keluar.
Arka mendengkus kasar walau menurut saja. Pemuda itu pun sekilas melambai kecil kearah Alvaro yang sekilas melirik kearahnya.
Arseno menghela pelan saat pintu di tutup Arka dari luar. Pemuda yang memiliki t**i lalat di antara kedua alisnya itu pun menatap Alvaro lagi.
"Elo mau makan?"
"Gak."
"Elo istrahat aja lagi."
"Gak."
"...."
"Bentar. Gue ngerasa ada yang aneh," ujar Alvaro berusaha beranjak namun pemuda itu meringis sakit pada sekujur tubuhnya. Baru ngeh kalau tangan, kaki dan juga kepalanya di perban.
"Tiduran aja dulu. Jangan banyak gerak," tahan Arseno membuat Alvaro menurut.
"Elo siapa?"
"Dokter."
Alvaro mengumpat samar.
"Terus elo ada masalah sama gue?"
"..........."
"Yah kenapa muka lo pakai dimiripin sama muka gue? Ini muka gue yang pasaran atau lo operasi plastik biar mirip uhuk-uhuk-uhukk... "
"Ck. Jangan bacot dulu, otak lo masih shock." Kesal Arseno dengan menatap tajam kearah pemuda itu.
"Sejak kapan otak bisa shock?"
"Udah lama. Loenya aja yang b**o," balas Arseno sudah mengatai, entah kenapa merasa terpancing begitu saja.
Alvaro mendelik. Kenapa dokter muda di depannya kini mendadak sok akrab dengannya. Sudah berani mengatai pula. Emangnya dia siapa?
Arseno tersentak saat ponselnya bergetar pada saku jubahnya membuat pemuda itu beranjak keluar dan sekilas melirik Alvaro dan menutup pintu kamar.
"Halo. Iya om, dianya baru sadar alhamdulillah." Ujarnya mengabari om sekaligus asisten terpercaya keluarganya.
"Belum. Mungkin besok baru Seno jelasin semuanya," ujarnya lagi dengan menghela nafas panjang, "Udah dulu om, Seno mau--" ucapan pemuda itu terpotong karena kaget saat sebuah tangan menabok kasar kepalanya.
Arseno melebarkan mata kaget dengan tangan yang mengelus kepalanya yang berdenyut nyeri.
"Elo kemana aja, huh? Gue kira lo udah mati. Gue udah hampir gila mikirin lo yang masih hidup apa enggak? Tapi lo malah disini dengan pakaian dokter begini huh?"
Arseno mengerjap polos memandangi gadis berkerudung yang baru saja menganiaya itu.
"Elo geger otak? Elo sekarang bisu? Kenapa diam? Jawab gue, Al?!" Sentak gadis itu lagi buat Arseno makin aneh sekaligus kesal karena sosok kecil di hadapannya kini dengan kurang ajarnya memukul kepalanya.
"Mbak siapa? Kenapa mukulin saya? Mbak ada masalah sama saya?"
Perempuan itu tergagap dengan mata sembabnya masih memandang tidak percaya kearah Arseno.
"Elo benar benar yah!"
"Mbak sebenarnya siapa?"
"Gue Azura. Istri lo b**o!"