Arra baru saja akan memejamkan matanya setelah Daisy pergi, namun gebrakan pintu yang begitu kasar membuatnya tersentak dan ia melihat Ronald menatapnya dengan tatapan nyalang.
“Apa yang kau lakukan dengan tidur-tiduran di rumah hah?! Jadi begini kelakuanmu?! Bermalas-malasan?!Iya?! Kau memang harus diberi pelajaran, dasar anak tidak tau diuntung. Ikut aku!!.” Ronald menyeret Arra dengan kasar, Arra hanya bisa meringis saat Ronald menyeretnya menuju kamar mandi, Arra menggeleng keras.
“Daddy jangan lakukan ini, apa salahku?” Arra berteriak saat Ronald semakin menyeretnya dan tanpa aba-aba menenggelamkan kepala Arra ke bath-up dan menahannya agar tetap tenggelam, begitu Ronald mengangkat kepala Arra dengan menjambak rambutnya, Arra menarik napasnya dalam, namun belum selesai ia mengambil napas Ronald sudah mendorong kepala gadis itu kembali tenggelam dalam air, berkali-kali ia melakukannya, membuat Arra kembali lagi teringat dengan luka lama itu, membuat tubuhnya bergetar.
“Daddy, ampuni aku, ampuni aku.” Arra menggumam dengan tubuh yang bergetar karena ketakutan, Ronald kini menyeretnya dan membanting tubuh gadis itu ke dinding.
“Kau tanya apa salahmu? Salahmu adalah kau hadir dalam keluargaku dan membawa kutukan nasib buruk. Itu salahmu. Itu salahmu Arrabela!!!.” Teriak Ronald murka dan langsung meninggalkan Arra begitu saja.
Di lantai kamar mandi yang dingin itu Arra menangis pilu, tubuhnya semakin memanas, kenangan pahit masa lalunya menyeruak, mimpi buruk yang semalam ia rasakan kini seolah kembali terasa nyata, luka itu semakin dalam menusuk jantungnya. Ia teringat dengan pertengkaran kedua orang tuanya yang mengatakan jika ia adalah gadis pembawa kutukan, ingat saat sang ayah tanpa perasaan menyiksanya dan mengurungnya di ruang gelap, dan hari ini ia merasa semuanya terulang, dengan tubuh yang sudah basah kuyup itu, Arra meringkuk di lantai kamar mandi seperti bayi dalam kandungan.
“Ampuni aku Daddy, aku bukan pembawa kutukan, ampun aku, ampuni aku Daddy.” Arra terisak dan terus mengigau entah sudah berapa lama, hingga samar-samar ia mendengar pintu kamar mandi yang didobrak disertai teriakan cemas Daisy dan Bianca.
“Astaga Arra, apa yang terjadi?!” Daisy menangis melihat bagaimana keadaan Arra yang begitu mengenaskan, perasaan Daisy sudah tidak enak melihat pintu rumah yang terbuka lebar dan tidak mendapati Arra di ranjang, dan hanya satu yang dipikirkan Daisy jika Ronald pulang dan melakukan sesuatu yang buruk pada Arra, dan benar saja ia melihat bagaimana mengenaskannya Arra yang terkapar di lantai kamar mandi.
Dean yang membuka pintu kamar mandi pertama kali langsung membatu melihat bagaimana Arra yang terus mengigau dengan wajah pucat pasi. Ia segera menghampiri tubuh ringkih itu dengan hati yang terasa diremas-remas.
“Daddy jangan tinggalkan aku, aku takut, di sini gelap, ampuni aku Daddy, kumohon jangan tinggalkan aku.” Igauan Arra yang lirih namun masih bisa terdengar Dean sekali lagi menghentakkan Dean pada rasa sakit, dengan pelan direngkuhnya tubuh yang terasa sangat panas itu dalam dekapannya. Tubuh yang terus bergetar karena rasa takut dan juga igauan yang terdengar di telinga Dean, bahkan napas Arra terasa sangat panas di d**a Dean saat pria itu membawa Arra dalam dekapannya.
“Ada aku di sini, kau tidak sendirian sayang, semuanya akan baik-baik saja,” lirih Dean dengan panggilan sayang yang bahkan tidak ia sadari begitu saja terucap dari mulutnya, ia tidak tahu bagaimana menyakitkannya masa lalu Arra, yang ia tahu ia ikut merasakan bagaimana sakitnya menjadi Arra, dan ia tidak ingin melihat gadis itu terluka untuk besok dan di masa depan.
“Arra,” Daisy langsung merengkuh tubuh Arra yang masih dalam dekapan Dean, Bianca juga ikut menangis, gadis belia itu menggengam tangan kakaknya yang terasa begitu panas. “Apa yang terjadi? Kenapa seperti ini? Maafkan Mommy, maafkan Mommy yang tidak bisa menjagamu.” Daisy menangis membuat Dean ikut meneteskan air mata.
“Kita harus membawanya ke rumah sakit .” Ujar Dean yang langsung mengangkat tubuh kurus itu dengan berhati-hati, mendekapnya erat penuh kasih.
Dengan hati yang kalut Dean membopong tubuh menggigil Arra, di belakangnya ada Daisy dan Bianca yang mengikuti, perjalanan ke rumah sakit itu begitu mencekam, Daisy terus mendekap tubuh Arra yang menggigil, sedangkan Bianca dan Dean yang berada di depan sesekali melihat keadaan Arra yang semakin pucat.
Begitu tiba di rumah sakit Dean langsung kembali membopong Arra dan berteriak kesetanan memanggil dokter untuk segera menangani Arra, Helena yang melihat sang adik memasuki rumah sakit dengan menggendong seseorang langsung mengambil brankar.
“Letakkan ia di sini,” Dean langsung meletakkan Arra di brankar dan ikut mendorongnya menuju Unit Gawat Darurat. Setelah Arra masuk, Dean mengusap wajahnya kasar, ia merasa tidak berguna karena tidak bisa menjaga gadis itu, Bianca yang melihat bagaimana kacaunya Dean langsung menghampiri pria itu.
“Kak, aku yakin kakakku tidak apa-apa, kau tidak perlu khawatir,” ujar Bianca menenangkan, Dean hanya tersenyum seadanya, ia melihat ke arah Daisy yang juga terlihat kacau.
“Ya Bianca, temanilah Mommymu, ia pasti sangat khawatir,” ujar Dean menyentuh bahu gadis itu.
“Apa Aunty dan Bianca menginginkan sesuatu? Aku ingin membeli minuman dingin di kantin,” gelengan lemah dari Daisy membuat Dean menatapnya prihatin.
“Aku yakin Arra baik-baik saja, Aunty, jangan khawatir,” Dean menenangkan walau dirinya bahkan belum merasa tenang, ia sendiri tidak tahu kenapa dirinya bertindak berlebihan seolah dirinya adalah kekasih Arra, entahlah Dean tidak ingin memikirkan alasan kenapa dia menjadi sangat berlebihan, yang ia tahu ia mempunyai perasaan yang tulus pada Arra, perasaan yang bahkan baru kali ini ia rasakan dalam hidupnya. Dulu saat menjalin kekasih ia tahu ia pria yang sangat perhatian dan begitu mencintai kekasihnya mungkin hingga kemarin, banyak waktu yang telah mereka lalui bersama, namun perasaan mendamba dan ketulusan untuk Arra yang begitu dalam belum pernah ia rasakan sebelumnya, dan yang Dean tahu ia sudah melupakan mantan kekasihnya dalam sekejap karena Arra.
Dulu pria itu sulit untuk melupakan mantan kekasihnya bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun, hidupnya hanya ada hitam dan putih sejak sang kekasih meninggalkannya, dan perlahan kepribadiannya berubah menjadi menyeramkan, ia tak ingin membuka hatinya bahkan tidak membiarkan wanita mendekatinya, namun dengan Arra semuanya terasa berubah begitu cepat, hidupnya yang hanya hitam putih berubah menjadi pelangi karena tawa gadis itu.
“Ck, aku tidak menyangka kau bisa bertindak di luar nalar karena gadis itu lagi,” cibiran seseorang membuat Dean yang sedang mengambil minuman berkarbonasi di vending machine itu sontak menoleh, ia melihat kakaknya yang menatapnya dengan alis bertaut.
“Bagaimana keadaan Arra?”
“Jadi bagaimana hubunganmu dengan Arra, sepertinya dia membawa banyak perubahan padamu ya, kau jatuh cinta padanya dalam waktu secepat ini? Wow benar-benar sulit dipercaya,” sekali lagi Helena mencibir, walau dalam hati wanita itu begitu bahagia melihat sang adik yang sudah kembali membuka hatinya, bahkan ia bisa melihat bagaimana kalapnya sang adik saat membawa Arra yang dalam keadaan tak sadarkan diri.
“Helen, bagaimana keadaannya,” Dean menatap Helena kesal dan mendecak, membuat Helena tertawa dan merebut minuman karbonasi itu dari tangan sang adik.
“Dia terkena gejala tifus, dan ....”
“Apa? Aku akan menjenguknya,” Dean langsung berjalan tergesa meninggalkan Helena yang menatapnya tak percaya, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat bagaimana kelakuan adiknya.
“Kau memang menyebalkan jika sudah jatuh cinta, semua orang diabaikan kecuali ibumu dan gadismu, dasar Dean Keandre.” Helena mendesis dan memilih kembali ke ruangannya. Setelah memeriksa Arra dan menjelaskan keadaannya, ia menanyakan Dean pada Daisy dan memutuskan untuk menghampiri Dean, ingin melihat bagaimana reaksi adiknya.
~*~
Dean memasuki ruang rawat Arra dan melihat gadis itu yang sudah sadar walau masih dengan wajah pucat.
“Aunty dan Bianca sebaiknya makan dulu, ini sudah masuk jam makan malam, biar Arra aku yang menjaganya,” Dean melirik jam yang memang sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
"Iya Mommy, kalian makanlah dulu, aku tidak ingin justru kalian yang sakit nanti,” Arra menyetujui ucapan Dean, sedangkan Daisy menggelengkan kepalanya, enggan meninggalkan Arra.
“Tidak sayang, Mommy di sini saja, Mommy ingin menemani dan menjagamu, Mommy takut ... jika,” Daisy kembali terisak membuat air mata menggenang di kelopak mata wanita itu, Arra dengan lembut menggenggam tangan tua Daisy dan menatapnya tulus.
“Aku baik-baik saja Mommy, ada Dean di sini, aku tidak suka jika Mommy mengabaikan waktu makan, Bianca, ajak Mommy untuk makan malam,” Daisy masih terlihat enggan saat Bianca membawanya untuk keluar.
“Iya aku yang akan menjaga Arra di sini, Aunty bisa makan dengan tenang dengan Bianca,” Dean ikut meyakinkan membuat Daisy akhirnya mengangguk dan menghela napas lega, memohon pada Dean untuk menjaga Arra melalui tatapan matanya yang dijawab dengan anggukan oleh Dean.
“Aunty,” panggil Dean lagi membuat langkah Daisy dan Bianca terhenti, “Setelah makan, pulanglah, biar malam ini aku yang menemani Arra,” Daisy langsung menggeleng tidak setuju dengan ucapan Dean.
“Iya Mommy, Mommy juga harus menjaga kesehatan Mommy, aku setuju jika Kak Dean yang menjaga Kak Arra ,” Bianca ikut menanggapi, Daisy menatap Dean seolah mencari kepercayaan bahwa pria itu bisa menjaga anaknya.
“Baiklah, aku mohon jaga Arra, langsung hubungi kami jika sesuatu terjadi,”
“Tentu , aku akan menjaga anakmu dengan sepenuh hati,” senyum Dean semakin lebar membuat Daisy percaya sepenuh hati bahwa Dean memang bisa menjaga anaknya.
Dalam diam Arra mengamati bagaimana interaksi Dean dengan Daisy, hatinya berbunga melihat bagaimana kesungguhan di mata pria itu untuk meyakinkan Daisy, ia tidak menyangka Dean mau bersusah payah menemaninya malam ini jika kembali diingat mereka hanya sebatas partner dan Dean tidak ada kewajiban memperlakukannya seistimewa itu.
“Apa yang kau makan hingga sakit seperti ini?” Dean duduk di sisi ranjang Arra dan menggenggam tangan gadis itu, tangannya yang lain menyentuh kening Arra dan membelainya lembut, membuat Arra gelagapan, dan kerja jantungnya meningkat seketika.
“A ... apa yang kau lakukan?” Arra mencoba melepaskan tangannya dan menyingkirkan tangan Dean di keningnya.
“Mulai sekarang aku ingin kau selalu makan denganku,” Ujar Dean tak terbantahkan.
“Apa yang kau katakan? Kenapa aku harus selalu makan denganmu? Ck,” Arra mendecak, kesal dengan sikap Dean yang selalu otoriter.
“Kita masih punya kesepakatan, ingat? Dan bukankah sudah kukatakan jika kau memiliki aku untuk berbagi, jangan abaikan itu Arra,” Dean berkata lembut dan kembali mengusap kepala gadis itu.
“Ahh kita belum membicarakan tentang lagu untuk Dies Natalies, apa kau sudah mempunyai lagu yang cocok?” Arra mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Belum, aku belum sempat memikirkannya, bagaimana denganmu?”
“Ya aku sudah menemukan yang cocok menurutku,” Arra tersenyum misterius membuat Dean mengernyit, dan saat gadis itu melanjutkan ucapannya tentang lagu yang akan mereka bawakan, Dean sukses membulatkan matanya sempurna, sedangkan Arra terkekeh dengen ekspresi Dean.
“Kau tidak boleh menolaknya Dean, kita punya kesepakatan untuk setuju apapun lagu yang aku pilih dan kau pilih,”
“Yak bagaimana bisa kau menyuruhku membawakan lagu yang terlalu errr, itu tidak sesuai dengan diriku, kau! Ck benar-benar,” Dean mendecak kesal namun ia juga tidak bisa menolaknya saat melihat bagaimana senyum Arra membayangkan dirinya yang menyanyikan lagu romance tersebut.
~*~
Daisy bergegas membawa beberapa pakaian ganti Arra setelah membuat sarapan untuk Bianca, wanita paruh baya itu cukup sibuk memilih pakaian untuk anaknya yang harus di rawat sekitar tiga hari di rumah sakit.
“Mommy, apa aku perlu mengantarmu ke rumah sakit?” Tanya Bianca dengan suara kerasnya karena Daisy sedang di kamar Arra, sedangkan dirinya masih di meja makan menghabiskan sarapannya.
“Tidak perlu, kau berangkatlah ke sekolah,” ujar Daisy dengan suara keras, Bianca yang sudah menyelesaikan sarapannya langsung bergegas saat melihat jam yang menunjukkan jika kelasnya lima belas menit lagi dimulai.
“Baiklah, aku berangkat, Mommy.”
~*~
Tubuh Daisy menegang di koridor rumah sakit yang menghubungkannya dengan ruang rawat Arra, di depan ruangan dokter spesialis jantung itu ia melihat seseorang yang memiliki kemiripin wajah dengannya tengah mengobrol ringan dan sesekali tertawa bersama anaknya, tangan Daisy seketika mengepal dan menatap tajam kedua orang itu.
Emma yang merasa diperhatikan seketika menoleh dan melihat seseorang yang sudah lama berusaha ia lupakan menatapnya tajam, ia berdiri dan membuang muka serta menarik Abella untuk menjauh, menjauh dari masa lalu yang ingin ia musnahkan.
“Kau benar-benar bukan manusia Emma,” ucapan itu menghentikan langkah Emma, Abella menoleh dan memanggil bibinya itu dengan nada lirih.
“Bahkan seorang binatang tidak mungkin membuang dan menelantarkan anaknya, tapi kau lebih hina dari seorang binatang.” Ucapan Daisy begitu dalam menghunus hati Emma, tatapan wanita itu menggelap dan menatap Daisy nyalang.
“Anakku hanya Abella, Daisy! Tidak ada yang lain, jika ada yang lain maka dia hanyalah kutukan buruk untuk keluargaku.!” Daisy mengepalkan tangannya kuat, maju selangkah dan seketika ayunan tangannya mengenai wajah Emma begitu kuat.
“Kau bukan manusia, tidak pernah aku menyangka memiliki adik monster seperti dirimu.” Setelah mengucapkan itu Daisy pergi meninggalkan keduanya, Abella yang melihat ibunya terhuyung langsung memapah Emma dan mengajaknya duduk, air mata gadis itu sudah menggenang melihat bagaimana retaknya keluarganya.
“Mommy, apa yang kau katakan? Kumohon berhenti mengatakan Arra seperti itu, dia saudaraku Mommy, kenapa kalian masih mempercayai hal konyol seperti itu?” Abella menyusut air mata yang membasahi wajahnya, sedangkan Emma hanya terdiam.
“Masuklah, kau sudah dipanggil.” Emma berkata dengan nada dingin dan sorot mata yang kosong, dengan enggan Abella masuk ke ruang dokter pribadi yang menangani kesehatan jantungnya.
Selepas Abella masuk, yang dilakukan Emma hanya melamun, mengingat masa lalu yang mengawali semua kejadiaan itu, hal yang menyakitkan dan membuat ia maupun Isaac membenci Arra.