Chapter 9

2380 Kata
“Dengarkan aku!!! Dengarkan aku Emma.” Seorang pria berusia matang mencengkram erat bahu wanita yang merupakan istrinya, membuat sang istri yang tadi berteriak histeris seketika bungkam.                “Kita harus menjauhkannya dari hidup kita, anak itu kutukan, dia kutukan nasib buruk untuk keluarga Song, tidakkah kau ingat semua hal buruk yang menimpa keluarga kita secara beruntun?!”                “Tidak. Tidak. Dia Arra anakku, dia anakmu Isaac, dia Arra kita, bagaimana mungkin kau tega membuangnya? kau tidak punya hati.!!!” Emma kembali berteriak histeris dengan keputusan suaminya, sedangkan Isaac mengusap wajahnya kasar.                Tanpa mereka sadari pertengkaran mereka disaksikan oleh seseorang yang sejak tadi menjadi objek perdebatan, hati perempuan kecil itu begitu sakit melihat pertengkaran kedua orang tuanya yang mempermasalahkan dirinya. Dengan air mata yang membasahi wajahnya ia meninggalkan mereka dalam diam, namun karena berjalan menunduk ia tidak menyadari jika kakinya tersandung oleh guci berukuran setengah badannya, hingga bunyi benda pecah dan erangan seseorang di balik guci itu membuat gadis kecil itu mendongakkan wajahnya dan melihat saudara kembarnya tertimpa oleh guci tersebut.                “Abella, kau baik-baik saja? Maaf, aku tidak berhati-hati.” Gadis kecil itu begitu panik menghampiri Abella yang meringis karena luka di badannya.                “Astaga Arrabela. Apa yang kau lakukan?!” Teriakan itu menyentak Arra, membuat tubuh kecilnya bergetar ketakutan, ia melihat kilatan marah dari mata ayahnya membuat keringat dingin keluar dan membasahi tubuh kecilnya.                Tanpa perasaan, Isaac menyeret tubuh kecil Arra, membuat Arra meronta dan mengucapkan maaf berkali-kali, ia menatap sendu pada ibunya, berharap Emma mau menolongnya, namun tatapan kecewa Emma membuat hati kecilnya terasa sakit, Emma memilih menolong Abella  yang berdarah karenanya.                “Dad .. Daddy.” Arra menatap takut pada ayahnya.                “Apa! Apa lagi yang kau lakukan? Setelah kemarin membuat Abella masuk rumah sakit sekarang kau kembali membuatnya celaka hah!! Kau benar-benar kutukan untuk keluarga ini.” Isaac tanpa perasaannya membawa Arra ke kamar mandi, dan menenggelamkan kepala anak kecil itu pada bath up berulang kali, ia bahkan seolah melupakan jika Arra juga anaknya, teriakan kesakitan dan ampunan Arra seolah tidak ia dengar ia terus menenggelamkan dan menarik kepala anak berusia lima tahun itu.                “Daddy ... Daddy maafkan aku, hiks.” Arra menangis dan merasa napasnya habis, tidak cukup sampai di situ Isaac kembali menyeretnya dan menghempaskan tubuh kecilnya di gudang yang gelap, membuat gadis itu seketika menangis histeris dan meminta Isaac untuk mengampuninya.                “Daddy ... Daddy tolong jangan tinggalkan Arra, Arra takut Daddy, Arra takut, Arra mohon Daddy jangan tinggalkan Arra.” Arra memohon sambil menarik-narik baju Isaac.                “Ini hukuman untuk kesalahanmu Arrabela!!.” Isaac sekali lagi menghempaskan tubuh kecil Arra dan langsung menutup pintu gudang itu lalu menguncinya dari luar.                “Daddy ... Daddy .... buka pintunya, Arra takut Daddy, hikss takut sekali.” Akhirnya tubuh gadis kecil itu merosot ke lantai, ia memeluk dirinya sendiri, tubuhnya basah kuyup dan malam ini ia harus tidur dengan ketakutan dalam ruang gelap itu.   ~*~                “Daddy!!!.” Teriakan Arra begitu nyaring di kamar berukuran tiga kali tiga meter tersebut, gadis itu terbagun dari mimpi buruknya dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhnya, gadis itu menangis mengigat kembali salah satu bagian pahit hidupnya, ia menarik tubuhnya hingga ke kepala ranjang dan menekuk lututnya.                “Aku bukan kutukan, bukan, aku bukan kutukan Daddy.” Gumam Arra membekap mulutnya untuk meredam tangisnya, ia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul dua pagi                Ia tidak tahu kenapa akhir-akhir ini mimpi buruk tentang kenangan masa lalunya datang bertubi-tubi seolah kembali membuka luka lama. Dan seperti malam-malam sebelumnya, Arra selalu terjaga hingga fajar kembali datang.   ~*~                “Selamat pagi,” Arra menghampiri Daisy yang sedang memasak sesuatu untuk sarapan mereka, di meja makan ia melihat Bianca yang sudah duduk siap dengan garpu dan sendok ditangannya.                “Apa yang Mommy masak pagi ini?” Tanya Arra melihat dari belakang punggung Daisy.                “Mommy hanya memasak nasi goreng kimchi, tidak apa-apa ya?” Daisy mematikan kompornya dan membawa nasi goreng itu ke hadapan anak-anaknya.                “Kau sakit Arra? Akhir-akhir ini wajahmu terlihat pucat.” Daisy menatap khawatir pada Arra, ia baru menyadari wajah Arra yang pucat beberapa hari ini.                “Ahh benarkah? Mungkin aku hanya lelah Mommy,” Arra meraba wajahnya sendiri, mungkin ini efek insomnia yang ia derita tiga hari ini. Lebih tepatnya sejak ia bermimpi buruk tentang masa lalunya, namun mimpi semalam adalah yang terburuk bagi Arra, gadis itu bukan hanya tidak bisa tidur, tapi ia seolah kembali merasakan kesakitan yang ia alami di hari itu, bagaimana tubuh kecilnya yang kedinginan dan bagaimana sesaknya berada di ruang gelap itu, hingga membuat Arra merasa pening.                “Ya sudah, habiskan sarapanmu, apa sebaiknya kau tidak kuliah saja hari ini? Mommy takut kau pingsan di kampus.” Daisy kembali menunjukkan wajah khawatirnya membuat Arra tersenyum.                “Iya, lebih baik  tidak masuk hari ini.” Kini giliran Bianca yang berbicara.                “Aku baik-baik saja Mommy, jangan khawatir, cepat habiskan sarapanmu Bianca, kau tidak ingin terlambat kan?” Arra memilih menikmati nasi goreng buatan Daisy yang selalu membuatnya ketagihan, dan ketiganya juga memilih untuk fokus pada makanan masing-masing, hingga suara bel yang terdengar mengalihkan fokus ketiganya.                “Biar aku saja yang buka,” Bianca sudah beranjak dari duduknya menghentikan Arra yang juga akan beranjak.                “Siapa yang datang Bianca?” Tanya Daisy melihat wajah berbinar Bianca.                “Kak Dean,” ujar Bianca riang melirik penuh arti pada Arra, sedangkan Arra mengerutkan keningnya dan menatap penuh tanya pada Bianca, ia segera menyambar tas selempangnya dan berpamitan pada Daisy dengan tergesa.                “Mommy aku berangkat,” Arra mencium pipi Daisy dan mencium punggung tangannya.                “Kau tidak menyuruh Dean masuk dulu? Mungkin dia belum sarapan.” Ujar Daisy.                “Tidak perlu Mommy, aku juga tidak tau kenapa dia harus datang sepagi ini. Aku pergi.”              Begitu keluar dari rumah ia melihat Dean yang tengah bersandar sambil memejamkan matanya, tubuhnya menyandar pada dinding dengan sebelah kaki yang ia ketuk-ketukkan ke tanah, dan itu membuatnya jauh lebih tampan menurut Arra.                “Apa yang kau lakukan sepagi ini di rumahku?” Ucapan Arra membuat Dean membuka matanya dan tersenyum tipis, tanpa ragu pria itu menggenggam tangan Arra dan mengajaknya untuk berjalan bersama menuju mobilnya.                “Mulai hari ini aku menjemputmu ya? Jika kau menolak maka jangan salahkan aku jika harus menggunakan kesepakatan kita.” Dean lagi-lagi tersenyum, membuat Arra menggigit bibir dalamnya keras, menahan agar tidak larut dan ikut tersenyum bersama pria itu, jika Dean seperti ini terus padanya, jangan salahkan hatinya jika pada akhirnya akan jatuh pada Dean. “Jadi bagaimana? Kau setuju?” Dean kembali bertanya membuat Arra mendengus walau sebenarnya hatinya berbunga-bunga dengan semua perlakuan Dean.                “Ck kenapa harus bertanya jika pada akhirnya aku harus menjawab ya dengan atau tanpa persetujuanku.” Dean tersenyum semakin lebar, ia mengacak rambut Arra penuh kelembutan, Dean menyukai saat melihat wajah merengut Arra, saat gadis itu mendengus dengan bibir yang mengerucut, menurutnya Arra manis saat seperti itu, dan Dean tidak tahu sudah ke berapa kalinya ia jatuh dalam pesona Arra.                Dalam perjalanan menuju kampus, baik Dean maupun Arra lebih banyak diam, Arra memilih diam karena kepalanya yang sesekali berdenyut, Dean sebenarnya beberapa kali mengajaknya mengobrol, tapi Arra hanya menanggapi sekenanya karena pening di kepalanya semakin menjadi.                “Kau kenapa? Sakit?” Tanya Dean, nada suaranya terdengar cemas sejak tadi ia memperhatikan Arra yang terus memejamkan matanya sambil sesekali meringis dan memegangi kepalanya.                “Tidak apa-apa, ahh sudah sampai?” Arra membuka matanya dan menyadari jika kini telah tiba di parkiran kampus. “Terima kasih Dean,” ia segera membuka pintu mobil namun Dean menahannya.                “Jam berapa kau pulang? Aku yang akan mengantarmu,”                “Jam dua mungkin, nanti aku akan menghubungimu, terima kasih ya,” Arra tersenyum di akhir kalimatnya membuat Dean sesaat terpana dengan senyum itu, walau akhir-akhir ini ia sering melihat senyum bahkan tawa Arra namun tetap saja setiap gadis itu tersenyum hatinya selalu berdesir aneh.   ~*~                Daisy terkejut melihat Arra yang pulang dengan wajah pucat pasi, ia segera memapah anaknya itu dan membawanya ke kamar.                “Sudah Mommy bilang kan jika hari ini tidak usah masuk, lihat akibatnya.” Ujar Daisy membaringkan Arra di ranjang, Arra hanya terdiam sambil mengurut pelipisnya, ia juga merasa badannya sangat panas, tadi setelah jam pertama berakhir ia memutuskan untuk pulang saat merasa kepalanya semakin sakit dan suhu tubuhnya juga semakin naik.                Daisy segera menuju dapur dan membuat kompresan untuk menurunkan demam anaknya, dalam hati wanita itu begitu kalut, Arra jarang sakit dan Daisy tidak tahu apa yang dipikirkan gadis itu hingga bisa jatuh sakit.                “Kenapa sampai sakit Arra, apa yang mengganggu pikirkanmu?” Daisy berujar lirih sambil terus mengganti kompresan di kening Arra, Arra tidak bisa menjawabnya dan hanya bisa meminta maaf dalam hati karena telah membuat Daisy khawatir.                Daisy terus menjaga Arra di sisinya, bahkan ini sudah dua jam ia mengganti kompres Arra, namun sepertinya panas gadis itu tidak mau turun, ia segera beranjak kembali menuju dapur untuk membuat bubur dan memberikan obat penurun panas untuk Arra.                Arra menggeliat dalam tidur tidak nyamannya karena tubuhnya yang terasa panas, ia mencari tasnya dan mengambil ponselnya, berniat menghubungi Dean agar tidak perlu menunggunya.                “Ayo kau harus makan dulu dan minum obat,” Daisy datang membawa semangkuk bubur dan obat pereda sakit kepala, Arra menggelengkan kepalanya, ia benar-benar benci jika harus meminum obat dan makanan yang terasa pahit di mulutnya.                “Arrabela! Jangan membantah Mommy,” ujar Daisy tegas membuat Arra mau tidak mau bangun, Daisy akan berubah menjadi tegas jika sudah menyangkut kesehatan anak-anaknya.   ~*~                Dean menatap layar ponselnya kesal, saat membaca sebaris kalimat yang dikirimkan Arra melalui aplikasi pesan.                “Ck, kau satu-satunya gadis yang menolak diantar jemput olehku Arrabela,” Dean mendecak kesal dan segera masuk ke mobilnya, sepanjang perjalanan ia terus memikirkan kemungkinan Arra menolaknya, jika dulu ia yang harus bersusah payah mencari alasan agar ia bisa menolak perempuan, sekarang justru Dean yang tidak perlu mencari alasan jika nyatanya Arra sudah menolaknya.                Dan dari semua kemungkinan yang berkeliaran di otak Dean, hanya ada satu hal yang ia yakini benar, jika melihat wajah pucat Arra tadi pagi, kemungkinan sakit gadis itu semakin bertambah parah dan memilih untuk pulang lebih awal.                “s**t!” Dean mengumpat dalam hati, kenapa otaknya berjalan lambat memikirkan kemungkinan itu, tidak mungkin Arra menolaknya setelah apa yang telah mereka lewati.                Dean tahu bahkan ini baru empat hari mengenal Arra, namun perasaannya seolah berjalan tak terkendali dan hanya selalu ingin tertuju pada Arra, dulu saat masih bersama kekasihnya ia bahkan baru merasakan ketertarikan itu setelah sang kekasih terus menerus mendekatinya selama sebulan lebih dan dari situ perlahan ia mulai luluh, namun dengan Arra justru bukan gadis itu yang mencoba menarik perhatiannya tapi Dean sendiri yang tertarik seolah Arra adalah magnet dan  ia adalah besi yang otomatis akan tertarik oleh magnet tersebut.                Dean baru akan memutar balik mobilnya saat ponselnya berdering, ia segera mengangkat panggilan itu dan mengumpat dalam hati jika ia mempunyai janji hari ini untuk menemani ibunya check up rutin kesehatan, dan jika sudah masalah kesehatan Fiona, Dean tidak bisa menolaknya.                “Ya Mommy, aku sedang dalam perjalanan ke rumah.” Setelah memutuskan sambungan dengan Fiona, Dean mendial nomer lain dari ponselnya, ia mencoba menghubungi Arra namun gadis itu tidak juga mengangkatnya.                Dean menghembuskan napasnya panjang dan mencoba menghubungi Bianca, setelah tadi pagi ia meminta nomer ponsel Bianca untuk berjaga-jaga jika Arra tidak bisa dihubungi seperti sekarang, astaga. Dean tertawa dalam hati menyadari tingkahnya yang bertindak terlalu jauh seolah ia sudah menjadi kekasih gadis itu saja. Ya secepatnya ia akan menjadikan Arra kekasih, dan senyum Dean semakin lebar karena pemikiran otaknya itu.                “Bianca, apa kau sudah pulang?”                “Belum, ada apa memangnya?”                “Ahh begitu, baiklah, tidak apa-apa, aku tutup.” Dean langsung mematikan sambungannya begitu saja, sedangkan Bianca hanya melongo menatap ponselnya, tidak menyangka dengan sikap Dean yang to the point.   ~*~                “Kenapa panasmu tidak turun-turun hemm?” Daisy menatap Arra sedih, dan terus mengganti kompres gadis itu, ia melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore, ia harus berbelanja untuk makan malam, Bianca juga belum pulang ia takut jika harus meninggalkan Arra sendirian, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Arra.                “Mommy ada apa?” Tanya Arra dengan suara seraknya, melihat Daisy yang terlihat bingung.                “Tidak apa-apa, kita ke dokter ya, demammu tidak turun-turun.” Ujar Daisy memegang lengan Arra yang terasa panas.                “Tidak perlu, besok juga sembuh Mommy, bukankah hari ini Mommy harusnya belanja?” Tanya Arra, ia ingat jika hari ini bahan makanan di kulkas habis, ibunya itu selalu menyetok bahan makanan untuk satu minggu.                “Ya. tapi nanti saja, Mommy takut meninggalkanmu sendirian.” Ujar Daisy, wanita itu kembali mengambil kompres dan menggantinya dengan yang baru.                “Apa yang Mommy takutkan? Aku baik-baik saja di rumah. Pergilah, kasihan Bianca jika pulang dan tidak ada makanan.” Ujar Arra tersenyum lemah.                “Tidak, nanti saja, biarkan Bianca membuat omelet.”                “Mommy ayolah, aku juga ingin sup kacang merah buatannmu, ya ya.” Kini Arra merajuk membuat Daisy menghembuskan napasnya lelah.                “Baiklah, Mommy hanya pergi sebentar, baik-baik di rumah.” Dengan berat hati Daisy beranjak meninggalkan Arra, ia merasa tidak rela meninggalkan Arra sendiri.   ~*~                Setelah mengantarkan Fiona pulang, Dean segera melajukan mobilnya menuju rumah Arra, entah kenapa sejak tadi perasaannya benar-benar gelisah tentang gadis itu, dan siapa sangka ternyata ia bertemu dengan Bianca dan Daisy di jalan, ia melihat ibu dan anak itu yang berjalan menyusuri trotoar dengan membawa belanjaan.                Dean turun dari mobilnya dan menyapa Daisy, wanita itu langsung tersenyum dan membalas sapaan Dean begitu juga Bianca.                “Ooh Dean, kita bertemu di sini ya?” sapa Daisy ramah.                “Ahh iya , sebenarnya aku ingin mampir, tadi Arra pulang begitu saja, aku sedikit khawatir.” Dean mengusap tengkuknya dan tersenyum canggung.                “Ahh iya, tadi dia pulang lebih awal dengan wajah pucat dan badan panas,  padahal pagi tadi sudah Mommy minta untuk libur, tapi anak itu tetap keras kepala.” Ujar Daisy terlihat kesal sekaligus menyesal karena Arra sakit.                “Arra sakit?” Tanya Dean.                “Aku juga baru tau tadi saat bertemu dengan Mommy di swalayan,” kini Bianca yang menjawab, dan Dean masih terdiam, entah kenapa perasaannya semakin tidak enak.                “Ahh jika begitu, lebih baik Aunty dan Bianca ikut mobilku saja biar lebih cepat.” Dean membukakan pintu mobilnya dan Daisy juga langsung menyetujuinya, entah mengapa ia juga tidak tenang meninggalkan Arra sendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN