02 : Olivia Resma

1024 Kata
"Ya..ampun kerja kelompok! Dih mana bentar lagi" Aku baru ingat, Kami ada tugas untuk di kumpulkan besok. Shella biasanya dalam keadaan begini tidak perduli apapun. Dan Aku terjebak dalam kebiasaan piciknya itu. Secepatnya ku rapikan kamar ku yang lumayan besar. Buru-buru ke kamar mandi, Bel rumahku sudah berbunyi saja. Lagi-lagi, Aku menyambut orang dengan kaos busuk ini. Kaos yang ku pakai bangun tidur tadi. Sedikit kucuci wajahku, dan turun ke lantai bawah untuk menyambut mereka. Terkejut diriku dengan baju yang di pakai mereka. warna dan model yang luar biasa, dan semuanya baunya harum. Hanya Aku sendiri yang tak mandi dan wajahku kusam sekali. Sedikit dari 5 orang itu, alasan menggaruk hidung. Diriku tau, itu isyarat kalau Aku menjijikkan dan memalukan. Mempersilahkan mereka masuk, mata Irina melihat bentuk rumahku. Dia anak yang sopan, dan paling di segani di sekolah. Semua cowok dan cewek menghormati pribadinya. Aku baru menyadarinya Dia satu sekolah denganku, saat ku-scroll i********: ku. Dan memang kuakui Dia ini cantik banget. Aku yang awalnya punya konten sendiri, karena terlanjur melihat feed sosmed Irina, jadinya ... Aku merubah semua isi kontenku itu. Ku fikir Aku bisa berubah lebih baik, jika Aku mengikuti cara Dia berfoto, bergaya dan berkata-kata. Memang ada yang mengatakan Aku cantik, tetapi ku rasa itu hanyalah alasan. Alasan orang untuk memanfaatkan Ku mengerjakan tugas sekolah. Sudah ku sadari sejak lama, sesekali Aku muak dan sesekali juga tidak tega melihat muka dua itu. Aku juga sering, saat di mintai kerja tugas, sementara diriku sedang sibuk parah. Dan mereka memulai rapat pleno yang besar. Topik permasalahannya yah Aku. Hal sepele seperti itu, menjadi kehancuran ku berhari-hari. Tidak habis fikir, Aku di sindir orang yang berbeda di tempat yang berbeda pula. Dengan kelemahan itu, terkadang Aku menangis di kamar mandi atau ruang sunyi di belakang aula sekolah. Ada yang melihatku menangis deras, ku kira kesedihan ini tertampung. Selepas deritaku hilang, malah tangisanku tersebar dimana-mana. Mulai dari situ, Aku memutuskan tidak percaya siapapun dan kapanpun. Lamunan ku dari tadi membuat mereka tertawa lepas. Irina memegang kedua tanganku, dan menanyakan di mana kami bisa mengerjakan tugas kelompok. Membawa mereka berlima ke kamarku, rasanya hal paling memalukan yang pernah ada. Aku suda berusaha tidak berfikiran jelek, dan firasatku itu terwujud lurus. Khaira menanyakan waktu luang, diriku isi dengan kegiatan apa. Tidak ku jawab rasa penasaran itu, Aku memilih membuatkan mereka Teh hangat. **** "Lia, coba Lu liat Si Oliv, emang Gua salah ngomong yak?" Khaira merasa ada masalah besar di dalam diriku. Dia terus saja membahasku, dari Aku membuat teh sampai selesai. Aku tentu tau, diskusinya terlalu terbuka dengan suaranya yang mendunia. Lia salah satu dari mereka yang pendiam, tidak membuang satu kata pun. Khaira menggeser subjek ke arah lain. Tepat ke arah Cantika. "Lu semua kok diem si, em.. nah-nah Lu aja. Cantika, coba Lu tanyain Si Oliv kenapa sih" Tiada bosannya cecunguk Khaira ini memaksa yang lain membahas diriku. "Baiknya gak disini, ini kan rumah-nya. Lu ga mikir Khai?" ujar Cantika yang mengikat pita besar di tenggorokan Khaira sehingga Dia tersedak lugu. Tertungkup malu wajah Khaira dan berhentilah kebiasaan yang Dia lakukan berulang-ulang saat kerumahku. 5 pertanyaan andalan-nya adalah senjata terbesar-nya. Mulai dari, dimana pacarku, dimana teman-temanku, kegiatan ku apa saja, cita-cita diriku apa, dan terakhir penampilanku. Dalam hatiku bergumam, "Selamet, untung ada anak ini. Siapa tau Gua bisa jadi temannya, amiin." "Ini diminum yah, seadanya aja..maaf sebelumnya "Aku bersikap sopan hanya karena ada Irina dan yang lainnya. Aslinya Aku memang tidak suka bersandiwara, tetapi keadaan ini memaksa, jadi yah sudah lah. KRING..KRINGG.. teleponku berbunyi dengan volume yang belum ku turunkan. Baru saja ku angkat, anak ini mematikannya. Mengirim pesan sepanjang teks pidato akbar, isinya : "Aduh Oliv, Gua lagi sibuk nih. Bisa gak Lu ama yang lainnya ngerjain tugas Gua? Jadi, biar Lu percaya gini aja dah. Ade Gua sakit, kemaren tu mau minjem uang ke Bos cafe yang kita kesana itu tuh. Nah.. sayangnya gak sempet, dan Gua heran kenapa Dia ngikuti Lu pulang bareng. Lu jangan gatel dong, kan udah gua traktir Latte dan Lu ga hargai sama sekali. Lu ga minum Latte yang gua beliin apaan dah Lu. Bukannya marah sih, cuman Lu harus inget. Lu aja gak bisa ikut gaya Gua, apalagi kebiasaan Bos Cafe itu. Udah-udah maaf yah Gua jadi ngomel, di kerjain yah tugas Gua, Sayang Oliv" Aktingku menyambut tamu pun berakhir. Kerja kelompok yang baru setengah jalan ku hentikan. Mereka yang tidak tahu apa-apa ku perintahkan untuk pulang. "Yaudah gapapa Oliv, biar Gua ama yang lainnya lanjutin di rumah masing-masing. Jaga kesehatan yah sister" Irina memasang raut wajah yang prihatin untukku. Saat yang lainnya pulang, Aku tidak melihat Irina di barisan mereka. "Maaf Gua ga sopan untuk pertama kalinya di rumah orang lain. Oliv, Gua tau apa yang Lu rasain. Coba cerita ama Gua yah" Irina mengusap lenganku dengan lembut. Ringikan tangis menderu jatuh. Terlihat lumpuh dan lusuh diriku hari ini. Irina mendekapku dan berkata "Udah gapapa, nangis aja. Hilangin beban Lu di pundak Gua." Terdengar bunyi pijakan tangga yang keras, yang lainnya lupa saat kerja kelompok, ponsel mereka disusun rapi di meja belajarku. Tepat di keranjang buku milikku. Khaira paling depan dan duluan membuka pintu. Tangan kanannya di pinggang dan menggerutu sebesar-besarnya. "Kan udah Gua bilang, kalian semua si. Gua perduli ama Lu Oliv bukan mau jelekin Lu kaya temen sekolah. Kami semua tau kok Lu di gibahin dimana-mana. Di kata sombong lah, gamau bergaul lah. Sementara emang Gua udah rada-rada feeling Lu itu malu dan takut bergaul. Jadi, mungkin hari ini Lu bisa anggap Kami temen pertama Lu Gimana?" Aku yang duduk, kemudian melepas pelukan eratku di badan Irina. Aku menegapkan badanku, tetapi tatapanku ke bawah lantai. "G-gua mau jadi temen L-Lu semua kalau bolehh?" Suaraku yang kurasa sama persis seperti anak TK mencari teman bermain barunya. Cantika menghampiriku diriku yang sedang berdiri, sembari mengusap tangis di pipiku dan memelukku dengan kasar. "Biar aja. Gua ga suka orang yang ga jujur ama dirinya sendiri. Kalau Lu gini terus yang ada tambah hancur Lu" ujar Cantika yang mirip seperti Ibuku saat Aku lemah dan lelah. Ku fikir hanya Aku orang paling cengeng di hari ini. Ternyata mereka semua kompak ikutan sedih dengan kepiluan batinku yang terdalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN