Drama

1765 Kata
“Inaraaaaaa! Tugas numpuk, lu malah ke Bandung! Untung lu dimasukin ke kelompok gue!” Neysa sudah antusias melihat kedatangan sahabatnya. Namun, Inara menanggapinya dengan helaan napas. Duduk begitu saja di bangkunya. “Lu kenapa? Galau?” “Dia udah beres penelitian, mau pulang katanya ke Indonesia kerja disini. Cuma malah join lagi penelitian.” Merebahkan kepalanya di meja kuliah. “Pusing gue.” “Coba deh lu cari kesibukan, Ra. i********: lu banyak followers nya, mau jadi selebgram gak?” “Gak.” “Fokus aja ke kuliah lu juga.” Malah tambah pusing yang ada. Inara menggeleng, di kampus dan di apartemen belajar, kapan dia bersenang-senang. “Yaudah kita ikutan teater aja yuk. Biar kepala gak terlalu panas.” “Gak klab aja?” “Ck, mending daftar aja yuk. Mau ada acara katanya di Rektorat, nanti lumayan dapet sertifikat juga. Yuk!” Inara bukan type orang yang suka aktif di kegiatan, tapi mungkin ini akan membuatnya melupakan Keenan sejenak. Sekalian menjadi penghibur dikala bosan bersama Agra. Pulang kuliah, Neysa langsung menarik tangannya menuju bagian tenggara kampus. Dari kejauhan Neysa sudah melihat Ado, pria itu langsung membeli ice cream kemudian mendatangi mereka berdua. “Hei, buat Inara.” “Buat gue mana?” “Ya sabar! Nunggu Inara Terima dulu.” “Eh, makasih banyak,” Ucap Inara menerimanya supaya Neysa mendapatkan. “Mau pada kemana?” “Gue jadi ikutan theatre buat acara di rektorat nanti. Pengalihan sakit kepala jadi sekretaris BEM mulu.” “Ohhh! Ayok gue anterin sekalian.” Inara tidak mempermasalahkan saat Ado berjalan di sampingnya agak meped. Mengantarkan sampai tujuan bahkan bicara dulu dengan ketua theatre. “Gue tinggal ya, Ra. Udah dititipin kok sama ketuanya. Semangat besok audisinya!” “Suka sama lu si Ado, Ra,” Bisik Neysa. “Masa iya ah. Gak mungkin.” “Beuh, mending sama si Ado aja kalau cowok lu bikin kecewa mulu.” “Mana boleh! Gue suka sama dia sejak datang ke Amerika! Dia gak tergantikan!” Teriak Inara spontan. Untuk peran yang dibuka untuk umum ini cukup terbatas. Hanya ada beberapa pilihan. Cerita yang dibuat oleh anak theatre sendiri, Inara memilih peran pendukung sebagai seorang selingkuhan Jendral Belanda saja. “Audisinya besok. Harus datang kesini ya.” “Iya iya.” “Nanti malem mau kemana? Ikut gue gak nongki?” “No, nanti kalau weekend deh.” Takutnya Agra akan mengajaknya belajar, sekarang saja Inara langsung pulang ke rumah. Dia dan orangtuanya hanya bertukar pesan semenjak di Bandung. Inara berniat mengatakan theatre yang akan diikutinya, tapi sepertinya bukan waktu yang tepat. Sang Mama sedang menelpon orangtuanya yang ada di Jepang minta dicarikan investor. “Non, mau dibuatkan sesuatu? Atau perlu sesuatu?” “Gak papa, Bi. Papa belum pulang ya?” “Tuan biasanya nanti kalau meped jam makan malam.” Ternyata keadaan belum juga membaik. “Aku juga mau makan malam disini, Bi. Siapin ya.” Fokus Inara hanya pada orangtuanya sekarang. Lebih banyak menceritakan tentang dirinya bersama dengan Agra selama di Bandung. Atalia juga senang menerima banyak sayur dan buah dari keluarga Agra tadi pagi. Inara jadi berinisiatif untuk memanggil Agra kemari untuk menghibur kedua orangtuanya. “Kakak pulang mau jam berapa?” “Belum tau, Ma. Liat nanti aja, hehehhe. Masih betah.” “Kalau mau nginep disini gak papa sih, kan besok libur.” Inara mengangguk. Dia pamit ke kamar mandi dulu saat makan malam hampir siap. Untuk menelpon Agra. “Bapak kesini cepet, makan malam disini terus hibur orangtua saya. Mereka lagi galau loh, Pak.” “Kenapa saya harus?” “Kan kita ada kesepakatan, Pak. Cepetan kesini ah.” Untungnya, Agra menyetujuinya. “Heheheh, sehat-sehat cowok penghibur,” gumamnya setelah Agra tidak bersuara lagi. “Maksud kamu apa hah?! Saya pria penghibur?” “Lah?! Belum mati?!” *** Tapi nyatanya begitu, Inara melihat kedua orangtuanya tampak lebih bercahaya tatapannya ketika bicara dengan Arga. Seolah pria itu datang membawa harapan kalau mereka akan melewati masa ini. Arga juga katanya akan menginap disini, Inara menyiapkan kamarnya sendiri. Membuat pria itu nyaman karena sudah membuat orangtuanya bahagia. “Kamu lagi caper?” Inara langsung berbalik. “Enggak yah. Saya lagi berusaha berbuat baik biar bapak tidur dengan nyaman.” Inara memaksakan senyumannya. “Selamat tidur, Pak.” Berniat merebahkan diri, Inara melihat panggilan tidak terjawab dari Ibu Sundari. Buru-buru kembali ke kamar Agra. “Iya yang itu, dikirim aja lewat supir, Agra gak mungkin ke Bandung lagi.” Ternyata pria itu sedang menelpon. “Ini lagi di rumahnya Inara. Tolong jangan hubungi dulu.” “Inara nya mana? Ibu mau ngomong sama dia?” “Inara? Udah ngiler kali di kamarnya.” “Enggak ih!” Inara langsung masuk dan merebut ponsel Agra. “Ibu, ini Inara. Maaf tadi hapenya di tinggal di kamar.” Ibu Sundari ternyata memberitahu Agra ada berkas yang tertinggal di Bandung dan ini hal penting. Jika sudah bicara dengan Inara, Ibu Sundari tidak bisa berhenti Akhirnya Inara menatap mata Agra meminta bantuannya. “Udah dulu, Bu. Ini di rumah Inara takutnya kenapa-napa. Dah.” Agra menaikan alisnya. “Ngapain masih disini? Mau tidur dipeluk saya?” “Nggak deh, ada mama sama Papa.” Agra menatap tidak percaya perempuan itu berkata dengan santainya. Apa dia tidak tahu apa yang dilakukan perempuan dan laki-laki kalau sudah di atas ranjang? Inara juga tidak berhenti mengganggunya, mengiriminya pesan mengadu kamar orangtuanya berisik dan dia ingin mengungsi ke kamar Agra. Memilih pura-pura tidur dan bahkan berencana pulang lebih awal. Agra menolak sarapan bersama dengan sopan. “Tidak apa, Pak Alvano. Saya lebih nyaman sarapan di apartemen sambil memeriksa beberapa hal,” Ucapnya pamitan. “Inara ikut! Inara ikut!” Teriak perempuan itu berlari dari lantai dua. “Mau pulang ke apartemen bareng Pak Agra. Boleh?” Mana mungkin Agra menolak, akhirnya dia membawa si rewel bersama dengannya. “Kayaknya anak kita sama Pak Agra udah saling terbuka satu sama lain ya.” Alvano mengangguk. “Kita jogging mau? Terus nanti sarapan diluar juga.” “Ayo, Mas.” Atalia mengecup sayang pipi sang suami. Apapun yang Alvano inginkan akan dia turuti, apalagi di masa sulit seperti sekarang. *** “Pak, kita berhenti dulu yuk. Saya mau sarapan.” “Harusnya tadi kamu diem aja di rumah, jangan ikut saya pulang.” “Lapar, Pak…,” Ucapnya pelan mengabaikan omelan Agra. “Pak?” Agra tetap diam, Inara menghela napas dalam akhirnya ikut diam. Sampai suara perutnya memecah keheningan. Inara mengusap, menatap dengan menyedihkan. “Sabar ya.” Berhasil membuat Agra membelokan mobil. Inara terkekeh senang sambil bertepuk tangan. “Yeayyy makan. Mau bubur yang disana, Pak.” “Mulai berani kamu ya.” “Berani dong, kan sekarang kita setara, Pak. Bekerja sama untuk keuntungan satu sama lain,” Ucapnya dengan percaya diri. Inara memilih tukang bubur langganan nya di salah satu lapangan tempat olahraga. Agra ikut memesan juga, tapi dia sibuk dengan ponselnya sambil sesekali berdecak. “Kenapa, Pak?” “Orangtua saya malah datang ke Jakarta bawa berkas nya.” “Wahhh, bagus dong. Suruh kesini aja buat makan bubur bareng. Terus kita nanti bisa acting.” “Udah gak takut sama fans saya?” Inara melihat sekeliling, ini masih sangat pagi. Dia menggeleng dengan percaya diri. “Kita dibawah pohon, sepi juga disini. Gak papa lah. Saya lagi pengen makan bubur soalnya. Sejak kecil ini menu favorit saya.” Agra pun menyuruh orangtuanya kesini saja supaya bisa langsung dia usir nantinya. “Shitttt!” “Bahasanya dijaga, Inara.” Agra kesal. Kenapa?” Perempuan itu menunjukan layar ponselnya, pengumuman kalau audisi untuk theatre akan dipercepat jadi nanti siang. “Saya belum persiapan, Pak. Aduhh, belum latihan.” “Peran kamu emangnya jadi apa?” “Selingkuhan Jendral.” Agra menahan tawa. “Cuma itu yang saya suka. Pemeran utama gak dibuka buat audisi.” Berucap dengan bibir bergetar, Inara tidak suka kalau melakukan sesuatu tanpa persiapan. “Pak, bantuin saya latihan ya.” “Latihan aja, saya mau makan.” Keputusan Agra itu membuat Inara berbicara sendiri mencoba masuk ke dalam tokoh yang akan diperankannya. Terus mengulang sampai bubur tidak disentuh. Menolak karena Inara belum merasakan dirinya bagus. Agra geram juga terus mendengar kalimat itu berulang kali, mana tidak ada lawan bicaranya. Inara seperti orang gila yang bicara sendiri. “Yaudah sini saya bantu.” “Beneran, Pak?” Mata Inara berbinar, dia mengirimkan teks percakapan pada Agra. Disisi lain, Ibu Sundari sampai di lapangan olahraga yang dimaksud sang anak. “Gak bisa dihubungi ini. Hapenya mendadak gak aktif,” Ucap Ibu Sundari berjalan lebih dulu. Dirinya hampir saja jatuh kalau tidak ditahan seseorang saat menaiki tangga. “Ya ampun, makasih banyak ya, Nak.” “Sama-sama, Ibu. Hati-hati jalannya. Ibu mau kemana?” “Ke sebelah sana. Ada tukang bubur, mau menemui anak saya.” “Mari saya antarkan ya.” Atalia memandang suaminya supaya mengikutinya. Alvano berbicara dengan pria yang lebih tua darinya yang ternyata adalah suami Ibu Sundari. “Hati-hati, Pak.” Sama-sama menolong juga. “Hati saya sakit, Pak. Cinta kita yang terlarang ini membunuh saya secara perlahan. Ingin mati rasanya kalau membayangkan saya tidak bisa bersama bapak di akhir nanti.” Agra berdehem. “Sayang, tunggulah saya mendapatkan kemenangan. Setelah itu, saya akan dengan jantan menemuimu dan mengumumkan pada dunia kalau kamu adalah milik pria gagah ini.” Empat orang itu terdiam memandang dua orang duduk bersebelahan sedang membelakangi menghadap bubur. “Sampai kapan, Pak? Sampai kapan saya harus menunggu. Beranilah hadapi semuanya sekarang. Hadapi orangtua saya." “Apa kamu tega melihat saya mati di tangan kedua orangtuamu? Mereka akan menggergaji saya, kemudian potongan tubuh saya akan diberikan pada ikan koi dibelakang rumahnya.” Alvano tersentak kaget disana. Membuat Adjie menoleh. “Iya, yang laki-laki itu anak saya namanya Agra. Dia menjalin hubungan dengan anak majikannya, namanya Inara. Masih sembunyi-sembunyi karena Agra ingin membuktikan pada kedua orangtua Inara kalau dia bisa membangkitkan lagi Yayasan.” Ibu Sundari mengangguk. “Orangtua Inara protective sekali. Sampai anak saya berfikir mau dimutilasi kalau sampai ketahuan.” Napas Alvano kembali tersendat. “Kata Inara dia sampai takut jadi perawan tua karena Papanya garang.” “Hah.” Alvano memegang daadanya yang berdetak kencang. “Garang, galak, dan bakalan memborbardir kisah cinta keduanya.” Alvano semakin sesak saja. Apa sejahat itu dirinya dimata sang anak? “Bapak…” kemudian Inara menjatuhkan kepalanya di bahu Agra. “Saya cinta bapak kalau bapak berani menghadapi kedua orangtua saya.” “Maafkan saya yang pengecut ini. Tapi saya ingin menguatkan cinta dulu dengan berperang, supaya monster itu bisa luluh dan merestui kita.” Kepala Alvano pusing seketika. Panas dingin dirasakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN